Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Puteri Gisyela

Tekan Angka Stunting Dengan Cegah Pernikahan Dini

Edukasi | Sunday, 28 May 2023, 22:00 WIB

Pernikahan dini masih menjadi fenomena yang marak terjadi di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari masih tingginya kasus pernikahan dini di Indonesia. Berdasarkan data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, sepanjang tahun 2021 tercatat ada 59.709 kasus pernikahan dini yang diberikan dispensasi oleh pengadilan. Menurut UNFPA (The United Nations Population Fund), pernikahan dini merupakan suatu pernikahan yang mana kedua mempelai ataupun salah satunya berumur dibawah 18 tahun. Dari data Susenas 2017 diketahui bahwa persentase perempuan usia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun dan usia hamil pertamanya sebelum usia 18 tahun ada sebanyak 63,08%. Artinya, hampir 2 dari 3 perempuan usia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun hamil pertama kali juga di bawah usia 18 tahun.

Ilustrasi stunting (Shutterstock)

Hal ini cukup memprihatinkan padahal pemerintah telah mengatur dengan jelas batas minimal perkawinan menjadi 19 tahun dan memperketat aturan dispensasi perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Langkah ini menguatkan fakta bahwa pernikahan dini membawa dampak buruk baik bagi ibu maupun balita. Salah satu yang tidak luput adalah permasalahan kesehatan terkait stunting. Stunting merupakan masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya (Kemenkes RI, 2013). Berdasarkan data dari Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), prevalensi stunting Indonesia menunjukan penurunan dari angka 24,4 % pada 2021 menjadi 21,6% di tahun 2022. Meskipun begitu, angka ini masih belum memenuhi standar WHO (World Health Organization), yaitu kurang dari 20%.

Stunting dapat terjadi sejak masa kehamilan ketika ibu hamil memiliki status gizi buruk dan menderita anemia, terlebih apabila sanitasi lingkungan tidak sehat. Pada tahun 2013, perempuan muda di Indonesia berusia 15-19 tahun yang berisiko mengalami kekurangan energi kronis (KEK) sebesar 46,6%. KEK pada ibu hamil dapat menyebabkan adanya beberapa resiko berbahaya pada anak. Tumbuh kembang bayi pada ibu hamil yang menderita KEK bisa terganggu akibat kekurangan nutrisi sehingga bayi bisa lahir prematur atau lahir dengan berat badan rendah dan akhirnya mengarah pada kondisi stunting.

Selain itu, pada saat kehamilan volume darah akan meningkat 30-50% dari kondisi sebelum hamil. Pada keadaan ini, yang meningkat adalah plasma darah sehingga sel darah merah akan tampak menurun. Dari data Kemenkes RI (2018), diketahui 37,1% wanita usia reproduksi (15-49 tahun) mengalami anemia. Padahal, dibutuhkan banyak asupan zat besi untuk menunjang pertumbuhan janin dan menyiapkan kebutuhan kekurangan darah akibat pendarahan pasca persalinan. Oleh karena itu, bayi yang lahir dari ibu hamil yang mengalami anemia beresiko mengalami kelahiran preterm dan berat badan rendah sehingga rentan terhadap permasalahan pertumbuhan, termasuk stunting.

Pasangan yang menikah pada usia yang masih masuk kelompok umur anak, secara mental juga masih belum siap untuk menghadapi kehidupan pernikahan dan sebagai orang tua. Hal ini juga terkait pengetahuan yang masih kurang mengenai kehamilan, pola makan gizi yang seimbang, dan pola asuh anak yang baik dan benar. Pola asuh ini terutama terkait pada praktik pemberian makan terhadap anak dalam rangka pemenuhan gizi pada awal kehidupan 1000 HPK (Hari Pertama Kehidupan) anak.

Pemenuhan asupan gizi anak pada 1000 hari pertama kehidupan (HPK) merupakan masa emas bagi perkembangan otak dan pertumbuhan fisik serta perkembangan mental dan kognitif anak. Periode HPK ini dimulai sejak masa kehamilan (270 hari) sampai anak berusia 2 tahun (730 hari). Bisa dibilang periode ini cukup krusial karena akibat yang ditimbulkan pada bayi bersifat permanen dan tidak dapat dikoreksi.

Dilihat dari cukup tingginya resiko dari pernikahan dini terhadap stunting, sudah cukup menjadi alasan bahwa pernikahan dini ini harus dicegah. Perlu adanya komitmen dari seluruh pihak baik dari pemerintah, lembaga, masyarakat, orang tua dan dari remaja sendiri. Kebiasaan atau pun dorongan yang mengharuskan adanya pernikahan dini hendaknya dipertimbangkan lagi jangan sampai merebut kebahagiaan anak dan mewariskan masalah seperti stunting ini ke generasi selanjutnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image