Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Senang dan Susah itu Bagian dari Irama Kehidupan, Kita Belajar Mampu Menikmatinya

Agama | Sunday, 28 May 2023, 16:41 WIB

Seorang guru bijak mengajak beberapa orang muridnya menemani suatu perjalanan. Kebiasaan Sang Guru, ia selalu mengusahakan berjalan kaki.

“Kalau suatu perjalanan masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki, mengapa kita harus naik kendaraan? Imam Suhrawardi salah seorang ulama sufi yang juga filsuf muslim selalu berpesan kepada murid-muridnya agar memperbanyak berjalan kaki.” Demikian nasihat yang sering diberikan Sang Guru kepada murid-muridnya.

Dengan berjalan kaki, kita bisa melaksanakan Sunnah Rasulullah saw yang selalu berzikir ketika berjalan kaki. Ketika mendaki ia bertakbir, ketika menurun ia bertasbih. Selanjutnya Sang Guru sedikit mengulas filosofi luka-liku berjalan kaki. Kita harus bahagia ketika mendapatkan jalan mendaki, dan harus siap-siap berduka ketika mendapatkan jalan yang menurun.

Murid-muridnya merasa heran. Untuk berzikir ketika berjalan kaki, mereka bisa memahaminya, namun mereka merasa heran dan belum mengerti dengan nasihat yang terakhir. Salah seorang dari mereka bertanya, “Mengapa harus bahagia ketika mendaki, dan siap-siap berduka ketika menurun, Guru?”

“Sederhana. Bukankah tidak ada jalan yang terus-menerus mendaki, dan tidak ada jalan yang terus-menerus menurun? Usai kita mendapatkan jalan yang mendaki, pasti kita akan mendapatkan jalan yang datar dan menurun. Karenanya, kita tak usah mengeluh ketika mendaki meskipun harus bermandikan peluh. Sebaliknya ketika kita sedang mendapatkan jalan yang menurun, berhati-hatilah! Jangan terlena. Jika kita berjalan tergesa-gesa kita bisa-bisa tergelincir dan jatuh, atau di depan kita sudah menyambut jalan yang mendaki dan terjal.” Jawab Sang Guru.

“Ketika duka-lara sedang melanda kehidupan kita, hadapilah dengan kesabaran, jangan putus asa. Suatu saat kita akan mendapatkan kelapangan dan kebahagiaan. Sebaliknya, ketika kita mendapatkan kelapangan dan kebahagiaan, kita jangan lupa diri, duka lara sudah siap-siap akan menggantinya. Karenanya, duka-lara, lapang, dan bahagia dalam kehidupan serahkan semuanya kepada Kuasa Allah.” Sang Guru melanjutkan nasihatnya.

Pada kesempatan lainnya, Sang Guru mendatangi tempat salah seorang muridnya yang pulang kampung. Meskipun baru beberapa hari tinggal di pondok Sang Guru, Sang Murid tersebut bergegas pulang karena dikabari kedua orang tuanya terkena musibah sampai keduanya meninggal dunia.

Sesampainya di kampungnya, ternyata kedua orang tuanya telah dimakamkan. Ia begitu menyesal tak dapat menyaksikan pemakaman kedua orang tuanya. Masih terngiang di telinganya, mereka berdua memintanya agar tinggal dulu di rumah beberapa hari lagi.

“Nak, jangan ke pondok dulu, Abah dan Emak masih ingin kamu tinggal di rumah beberapa hari lagi.” Demikian permintaan kedua orang tuanya.

“Tapi, aku harus segera ke pondok. Aku hanya meminta izin beberapa hari saja kepada Guru.”

Dengan berat hati kedua orang tuanya mengizinkannya pergi ke pondok. Mereka berdua mengantarkannya sampai ke ujung perkampungan.

Jika ia mengingat permintaan kedua orang tuanya ia begitu menyesal. Lebih menyesal lagi ketika ia mengingat kedua kakaknya yang juga meninggal dua bulan sebelum kedua orang tuanya meninggal, sebab ia pun tak menyaksikan pemakamannya.

“Jika aku memenuhi keinginan kedua orang tuaku, kemungkinan besar hatiku tak akan sehancur seperti hari ini. Mengapa aku tak memenuhi keinginan mereka? Ia marah terhadap dirinya sendiri yang memaksakan diri pergi ke pondok. Ia pun merasa kecewa kepada saudara-saudara dan tetangganya yang tidak menunggu kedatangannya untuk pemakaman kedua orang tuanya. Ya Allah! Mengapa semua ini Kau timpakan kepadaku? Mengapa kehidupan yang ramah tak mau menyapaku?” Demikian gejolak di hatinya

“Ya Allah, Kau Mahatahu, aku selalu berusaha mendekatkan diri kepada-Mu, berusaha mentaati-Mu, aku selalu berusaha melakukan kebaikan. Mana janji-Mu bahwa ketaatan akan dibalas dengan kebahagiaan, istighfar akan menghilangkan musibah, kebaikan akan dibalas berlipat ratusan kali dengan sesuatu yang lebih baik? Nyatanya balasan ketaatan, istighfar, dan kebaikanku hanya berbuah musibah dan kemalangan.” Demikian protes keras di hatinya.

“Muridku, aku mengetahui dan merasakan keadaan hatimu pada saat ini.” Suara lembut yang ia kenal benar-benar menempel di telinganya.

Ia segera menoleh, ternyata Sang Guru bijak sudah ada di sampingnya bersama murid-murid yang lainnya.

“Guru!” Ia segera mencium tangan Sang Guru dan merangkulnya penuh hormat seraya menyampaikan seluruh gejolak yang ada di hatinya.

“Muridku, camkanlah hidup ini penuh luka-liku. Masih ingat kan? Hidup ini merupakan perjalanan yang penuh onak dan duri, mendaki, dan menurun. Kau pun harus ingat, perjalanan kita tidak dalam kesepian, tapi langkah-langkah kita ditemani beragam suara yang menghasilkan irama yang indah. Kicau burung, lengkingan seruling angin yang bertiup, gemercik air, dan terkadang ada dentuman besar suara petir yang memekakkan telinga.”

“Pahamilah olehmu. Musik yang indah tak dihasilkan dari satu alat musik, tapi dari beragam alat musik yang menghasilkan beragam suara. Ada lengkingan suara seruling yang ditiup keras, ada dentuman suara kendang atau dram yang harus dipukul keras, dan ada juga suara dawai gitar yang harus dipetik dan dicubit-cubit.” Demikian nasihat Sang Guru.

Beragam kejadian dalam kehidupan harus kita jadikan sebagai ragam “alat musik” yang akan menghasilkan irama kehidupan. Ada duka-lara, musibah, kemudahan, kesulitan, dan kebahagiaan. Semuanya merupakan perpaduan yang akan menghasilkan irama kehidupan. Indah tidaknya irama yang dihasilkan, sangat tergantung kepada kita dalam menyikapi suara irama kehidupan tersebut. Selayaknya kita mampu menikmati melodi indahnya. Syukur dan sabar harus kita jadikan “tarian” yang bisa mengimbangi keindahan melodi irama kehidupan.

“Ingatlah. Kau jangan menyesal telah berbuat kebaikan dan ketaatan atas perintah-Nya. Sadarilah, bisa jadi musibah yang menimpamu itu merupakan resep obat yang jitu untuk menyembuhkan penyakit yang ada di hati-Mu. Sadarilah, meskipun obatnya terasa pahit dan tidak menyenangkan, kau harus tetap menerimanya dengan harapan dapat sesegera memulihkan kesehatanmu. Camkanlah, muridku! Hanya dengan cara seperti itu kehidupan kita akan bermakna.”

Ilustrasi : Perjalanan mendaki

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image