
ADAKAH GURU WUKA..! ?
Guru Menulis | Sunday, 28 May 2023, 07:39 WIB
ADAKAH GURU “WUKA..!” ?
Malu dong kalau harus jadi guru Wuka. Ilmu banyak di kepala, tetapi tidak pandai strategi menyampaikannya kepada murid. Atau bisa juga ilmu di kepala sangat minim dan mengambil jalan pintas serta aman yakni mengajar ala kadarnya dengan versi lama. Guru Wuka itu seperti apa?. Berikut nukilan cerita tentang Wuka dari buku A Tribute milik Jamil Azzaini :
Seiring bergulirnya masa reformasi, banyak kita jumpai para politisi mengais simpati para warga masyarakat demi mengemis suara mereka di ajang pilkada nantinya. Seorang politisi tengah bersemangat penuh percaya diri mendatangi perkampungan yang terasing untuk berkampanye. Di depan para warga suku tersebut, sang politisi menyampaikan orasi di hamparan ladang terbuka dengan penuh semangat empat-lima. “Saya jauh-jauh dan bersusah payah datang ke sini karena saya mencintai Anda semua”, teriak politisi tersebut dengan gaya khas retorikanya yang nyentrik. “Wuuukaaa!” teriak orang-orang yang hadir di lapangan itu sambil serentak mengepalkan tangannya ke udara.
Politisi itu menjadi lebih bersemangat menyampaikan orasinya. “Dengan sepenuh hati serta saya rela berkorban harta dan nyawa sekalipun demi memperjuangkan kemakmuran untuk Saudara-Saudara!” lanjutnya. Teriakan “wuuukaaaa” semakin menjadi-jadi dan lebih keras dari sebelumnya. Politisi itu menambahkan lagi, “Saya akan memberikan rumah yang layak untuk Anda semua!” Teriakan “wuuukaaa” kembali cetar membahana menambah meriahnya kampanye.
Setiap politisi itu mengatakan sebuah janji, suku pedalaman tersebut terus berteriak dengan penuh semangat, “Wuuukaaaaa!”. Politisi itu bahagia tiada terkira mendengar sambutan yang luar biasa dari suku pedalaman tersebut. jauh melebihi apa yang ia perkirakan sebelumnya. Usai kampanye, politisi itu ingin blusukan melihat perkampungan. Ditemani kepala suku, ia berjalan menuju perkampungan. Sang politisi tertarik dengan bangunan yang sangat unik berdiri megah dan kokoh di tengah perkampungan.
Ia bertanya, “Bangunan apa itu?” Kepala suku menjawab, “kandang kuda, kami menggunakan kuda-kuda itu untuk berburu dan alat transportasi. Semua kuda milik warga dikumpulkan disitu.”
Kebetulan politisi tersebut seorang penggemar kuda. Maka, dengan penuh semangat dan gairah, ia mohon izin kepada kepala suku dan berkata. “Saya ingin melihat kuda-kudanya.” Sang kepala suku segera mengiyakan, “Oh, silahkan, tapi hati-hati berjalan di kandang itu. Sepatu Bapak sangat bagus, sayang bila harus menginjak wuka.” Hehe..
________________________________
Guru, kapanpun masanya akan ada dua macam, guru pasif dan dinamis. Guru wuka lebih identik dengan guru pasif atau kuno bin jadul. Bila metode masa lalu dipakai untuk mendidik anak di masa sekarang sudah tidak akan efektif lagi dan yang muncul adalah ‘wuka’ atau bahkan lebih parah lagi. Guru yang pandai berorasi di depan murid-muridnya tanpa memperhatikan kondisi murid dengan berbagai karakternya tentu tidak akan mendapat sambutan hangat yang sebenarnya. Sambutan palsu akan diterima guru meskipun guru seolah-olah menyenangkan dari versinya sendiri. Memang kedengarannya kurang sopan, akan tetapi diperlukan refleksi diri, mengapa sampai hati para murid mengatakan wuka. Dibalik pemberontakan murid, wuka adalah statemen puncak yang diberikan kepada gurunya. Tidak sopan. Tapi itulah kenyataannya, murid nyeletuk wuka sudah tidak asing lagi.
Montaigne (1580) beberapa abad yang lalu menumpahkan isi hatinya tentang guru. Ia menuliskan bahwa “Para guru kita tidak pernah berhenti berteriak ke telinga kita, seolah-olah mereka sedang mengisi air ke dalam pipa; dan tugas kita hanyalah mengulangi apa yang dikatakan kepada kita. Saya ingin para guru menghentikan praktik ini, dan sejak dari awal, sesuai dengan kapasitas pikiran yang ia miliki, mulai merasakan sendiri, membuat, mencicipi segala sesuatu, memilihnya, memahaminya sendiri; terkadang memberi jalan kepada (muridnya); di lain waktu membiarkan dan muridnya mencari jalannya sendiri. Saya tidak ingin (para guru) berpikir dan berbicara sendiri, saya ingin mereka mendengarkan muridnya ganti bicara.”
Konfisius juga mengatakan “yang saya dengar, saya lupa, yang saya lihat, saya ingat, yang saya kerjakan, saya paham”. Kadangkala kita menggebu-gebu menyampaikan materi kepada murid bahkan dengan gaya bahasa bangku kuliahan menyampaikan materi dengan super cepat. Namun sayangnya murid kita juga akan cepat pula melupakan aksi retorika guru di depan kelas.”
Wuka adalah kehalusan penyampaian makna atas respon peserta kampanye ataupun murid terhadap orang yang pasif dalam mengais perhatian namun minim cara serta mengandalkan satu metode saja, kesalahan metode maupun kegagalan mengenali audience akan berakibat wuka. Tidakkah kita sadari bahwa murid kita juga ingin berekspresi dengan gaya mereka sendiri?. Sedangkan guru yang dinamis adalah guru yang tidak hanya menggunakan satu metode saja dalam mengajar (ceramah). Guru akan terus bereksplorasi mencari cara maupun metode-metode termutakhir dalam rangka delivery materi pelajaran serta melibatkan murid di dalamnya. Guru dinamis akan lebih langgeng dan disukai oleh murid serta di cap sebagai guru favorit karena tidak mudah ditebak gaya mengajarnya. Sedangkan guru pasif akan mudah dikenali oleh murid dan bahkan setelah lulus, mereka memberikan label masing-masing guru pasif tersebut dengan label yang terkadang kita para guru tidak mau mendengarnya karena bermakna negatif.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.