Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hasan Albana

Guru Organik

Pendidikan dan Literasi | Sunday, 28 May 2023, 07:35 WIB

GURU ORGANIK

Gerakan yang digalakkan oleh pemerintah seperti gerakan ayo mondok adalah salah satu bentuk akumulasi kekhwatiran para orang tua saat ini terhadap masa depan anak-anaknya. Fenomena-fenomena dampak globalisasi seperti tawuran, seks bebas usia remaja, narkoba, serta tayangan televisi maupun internet yang berperan sebagai racun moral nampaknya agak tidak mudah untuk dicegah maupun diobati. Ustadz Yusuf masnyur memberikan gambaran globalisasi seperti kita tinggal di tepi pantai dan ombak lautan adalah arus globalisasi yang semakin tinggi, karena sebuah keadaan yang niscaya maka ombak tersebut akan terus menghempas tepian laut.

Tiga gambaran masyarakat kita saat ini dalam menghadapai globalisasi atau ombak lautan tersebut adalah pertama, dengan menutup rapat dengan pagar yang tinggi di tepi pantai supaya rumah tidak terkena ombak globalisasi, sehingga warga rumah aman dari ombak dan tidak tahu menahu tentang perkembangan yang dibawa oleh globalisasi. Kedua, pindah rumah yang jauh dari arus ombak atau globalisasi supaya tidak terpengaruh dan hidup konservatif jauh dari perkembangan jaman, dan yang ketiga, membiarkan posisi rumah seperti sedia kala akan tetapi mengajari para penghuni rumah maupun warga sekitar untuk pandai-pandai menangkap ikan atau hewan laut yang terkandung dalam laut.

Globalisasi membawa manfaat dan mudharat atau dampak buruk bagi siapapun yang hidup di era saat ini. ketiga pilihan diatas adalah solusi bagi siapapun yang harus diambil oleh setiap orang. Dalam konteks pendidikan anak atau generasi muda saat ini, umumnya para orang tua cenderung mengalami ketakutan atau kekhawatiran akan adanya arus globalisasi ini, didukung juga ketidakmampuan mereka dalam membina putra-putrinya dirumah serta mengajari mengail manfaat dari ombak laut. Ketiga solusi diatas masing-masing memilliki resiko. Solusi pertama dan kedua tentu resikonya adalah akan tertinggal jaman. Solusi yang ketiga mungkin menjadi solusi yang perlu diambil oleh para orang tua. Mengajari anak-anak mereka pandai menangkap manfaat dari ombak globalisasi. Pusat-pusat belajar menangkap manfaat globalisasi adalah di rumah, sekolah, dan masyarakat .

Bila dari rumah para orang tua belum mampu mengedukasi putra-putrinya maka umumnya mereka melimpahkan tugasnya kepada sekolah. Bermunculannya sekolah-sekolah berlabel agama di kota-kota maupun di pinggiran merupakan kabar gembira bagi dinamisasi pembentukan akhlaq penerus bangsa yang setapak demi setapak mengalami dekadensi moral saat ini. Namun perlu diketahui bahwa Prof. Imam Suprayogo menemukan bahwa kota bukanlah tempat yang tepat untuk membina akhlak peserta didik, karena kota adalah tempat untuk bersaing. Lalu bagaimana solusinya dalam membina akhlak peserta didik?. Prof Imam mengatakan bahwa tempat yang tepat untuk membina akhlak adalah di desa. Kenapa di desa? Karena desa masih steril dari arus negatif.

Bagaimana dengan sekolah di kota yang bervisi memperbaiki akhlaq peserta didik? Solusinya adalah ada pada gurunya, setiap guru adalah ustad. Masyarakat kita lebih mengenal guru yang ustad adalah guru agama, padahal sejatinya semua guru baik itu guru penjaskes, kesenian, tematik, maupun kepala sekolah adalah ustad, bila guru berperan sebagai ustad, maka guru tersebut akan berfokus pada akhlaq peserta didik, guru yang ustad akan menyuguhkan diri sebagai sosok yang religius, guru yang ustad akan menyuguhkan diri yang memiliki pribadi berkarakter dan santun serta lebih menjaga diri dari arus negatif globalisasi, sehingga kekhawatiran orang tua terhadap arus globalisasi dapat teredam karena ada pada diri guru di sekolah sebagai ‘pawang’ globalisasi.

Guru yang ustad ibarat petani, senantiasa menyayangi segenap jiwa serta merawat tanaman (peserta didik) dari bibit hingga tumbuh besar. Setiap kali ada hama yang mendekat maka guru tersebut sigap mengambil tindakan untuk menghindarkan tanaman dari hama, guru juga ketika merawat tanaman tidak akan memberikan tanamannya dengan bahan kimia atau pupuk kimia, guru lebih memilih pupuk-pupuk organik yang sehat dan aman. Guru organik akan menghasilkan tanaman organik karena lebih mengutamakan kualitas dari pada hasil yang kamuflase. Sehingga pada puncak panennya peserta didik organik yang dilepas di pasaran akan dihargai mahal, bentuknya sama dengan yang lainnya akan tetapi kualitasnya yang berharga mahal dan menyehatkan.

Guru-guru organik umumnya kita dapat jumpai di pondok-pondok pesantren sehingga gerakan ayo mondok menjadi solusi. Namun, guru organik mulai nampak pada sekolah-sekolah berlabel agama seperti sekolah islam maupun katolik. Semua mulai berbenah diri untuk bertransformasi menjadi guru organik. Sehingga gerakan ayo mondok mungkin dapat ditambah lagi dengan gerakan ayo sekolah di sekolah berlabel agama. Gerakan tersebut dapat mewadahi para orang tua yang tetap ingin bersama buah hatinya tinggal di tepi pantai dan menikmati nyanyian ombak globalisasi tanpa harus termakan oleh ombak.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image