Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image

Fenomena Sudut Pandang Childfree

Eduaksi | Thursday, 25 May 2023, 15:43 WIB

Latar Belakang Masalah

Childfree adalah kesepakatan yang diambil oleh pasangan suami istri untuk tidak memiliki anak selama masa pernikahan. Tidak ada yang salah dengan konsep childfree ini, karena setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih dalam hidupnya. Bagi pasangan suami istri, keputusan childfree ini dapat membebaskan mereka dari beban biaya yang tinggi untuk mengasuh anak di zaman sekarang. Terlebih lagi, dengan kondisi dunia yang sudah menghadapi masalah overpopulasi, perubahan iklim, dan krisis pangan, konsep childfree dapat membantu mengurangi tekanan-tekanan tersebut.

Dalam dua tahun terakhir, konsep childfree telah menjadi perbincangan publik di Indonesia. Terdapat berita mengenai seorang influencer yang sangat dikenal di kalangan muda yang memutuskan untuk mengadopsi gaya hidup childfree. Berita ini telah menjadi topik utama di media sosial, namun tidak sedikit masyarakat yang menyayangkan dan menilai negatif terhadap keputusan childfree ini. Di Indonesia, praktik childfree masih dianggap tabu karena dianggap sebagai budaya barat dan menolak rezeki yang diberikan oleh Tuhan. Mayoritas masyarakat Indonesia masih meyakini pepatah "banyak anak banyak rezeki".

Faktor yang mempengaruhi praktik Childfree

Dalam praktiknya, konsep childfree sering kali menyoroti peran wanita karena secara alami, wanita yang mengandung, melahirkan, dan menyusui anak. Oleh karena itu, tidak sedikit orang yang menyalahkan wanita karena dianggap tidak memenuhi kodratnya. Namun, wanita yang memilih jalur childfree menganggap tubuh dan hidup mereka sebagai milik pribadi mereka sendiri. Mereka ingin dinilai sebagai individu yang tidak terikat oleh aturan orang lain.

Faktor Ekonomi

Salah satu alasan yang mungkin mendasari keputusan childfree bagi sebagian pasangan adalah faktor ekonomi atau keuangan dalam keluarga. Pasangan tersebut cenderung mempertimbangkan bahwa biaya yang diperlukan untuk membesarkan anak tidaklah sedikit, termasuk biaya persalinan, kebutuhan dasar, dan pendidikan. Sebagai orang tua, mereka harus siap menghadapi tanggung jawab finansial tersebut, namun pada saat ini biaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut dapat dikatakan cukup tinggi.

Faktor Kesetaraan Gender Dan Feminisme

Tidak dapat disangkal bahwa pandangan umum tentang kesetaraan gender dan feminisme dapat menjadi faktor yang mendukung meningkatnya praktik childfree. Gerakan feminisme muncul sebagai respons terhadap ketidakadilan dalam kehidupan bersama. Budaya patriarki yang mengutamakan laki-laki menghasilkan kurangnya kebebasan bagi perempuan. Perempuan sering diabaikan dalam segala hal. Di Indonesia, pada awalnya perempuan sering kali diarahkan untuk tinggal di rumah dan bertanggung jawab mengurus anak dan rumah tangga, sementara sekarang banyak wanita yang bekerja dan bahkan menjadi tulang punggung keluarga. Hal ini membuat waktu untuk mengurus anak atau rumah tangga menjadi terbatas. Selain itu, ada yang percaya bahwa kehadiran anak dapat mengganggu penampilan fisik dan rutinitas pribadi, terutama bagi wanita. Oleh karena itu, perempuan menjadi faktor penentu dalam pertimbangan childfree ini.

Fenomena Praktik Childfree Dalam Sudut Pandang Sosial Budaya, Ekonomi Dan Politik

Praktik Childfree Dalam Sudut Pandang Ekonomi dan Politik

Baru-baru ini, berita tentang Wakil Presiden Ma'ruf Amin menghadiri acara Musrenbangnas yang diselenggarakan oleh Kementerian PPN di Jakarta pada tanggal 16 Mei 2023 menjadi viral. Dalam acara tersebut, Wakil Presiden mendorong masyarakat untuk segera menikah dan memiliki anak, karena menurutnya jumlah populasi usia muda akan semakin berkurang pada tahun 2050 mendatang. Salah satu dampak negatif dari konsep childfree bagi suatu negara adalah jumlah penduduk usia produktif yang akan semakin sedikit di masa depan. Hal ini dapat berdampak pada masalah ketenagakerjaan dan masalah sosial lainnya, sehingga negara akan lebih terbebani dalam membiayai penduduk usia tua karena jumlah penduduk usia produktif yang semakin sedikit dibandingkan dengan yang tidak produktif.

Dalam perspektif ekonomi, keputusan childfree ini tidak selalu buruk bagi beberapa pihak. Misalnya, bagi wanita yang memilih untuk tidak memiliki anak, mereka dapat lebih fokus dan produktif dalam bekerja. Hal ini dapat menguntungkan perusahaan tempat mereka bekerja. Hal ini juga dapat menguntungkan pengusaha, karena jika tenaga kerja wanita tidak memiliki anak, maka pekerjaan dapat dilakukan dengan lebih efektif, dan perusahaan tidak perlu memberikan cuti melahirkan atau tunjangan anak. Sebenarnya, ada banyak solusi yang dapat dilakukan oleh wanita yang ingin tetap bekerja meskipun memiliki anak, seperti menitipkan anak di tempat penitipan anak atau meminta bantuan dari anggota keluarga terdekat. Namun, bagaimana dampak ekonomi yang akan dirasakan oleh negara akibat maraknya praktik childfree ini?

Pertumbuhan ekonomi suatu daerah juga dipengaruhi oleh jumlah penduduk. Jika pertumbuhan penduduk terlalu cepat, ini dapat menjadi modal untuk perekonomian, tetapi juga dapat menjadi beban karena negara harus menanggung banyak penduduk. Pertumbuhan penduduk yang lambat juga dapat menjadi beban karena pada suatu waktu, jumlah penduduk usia produktif akan lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduk yang tidak produktif. Oleh karena itu, lebih baik jika pertumbuhan penduduk dapat dikendalikan. Terlebih lagi, sumber pertumbuhan ekonomi terbesar di Indonesia masih berasal dari konsumsi oleh rumah tangga, yang mencapai 3,71% pada kuartal kedua tahun 2021. Mungkin saat ini dampak dari fenomena childfree belum terasa di Indonesia, karena negara masih menikmati bonus demografi.

Praktik Childfree Dalam Sudut Pandang Sosial Budaya

Pada era kontemporer, muncul sebuah budaya baru yang berasal dari pemikiran para wanita dan pasangan muda yang mempertimbangkan untuk hidup tanpa memiliki anak, atau yang dikenal sebagai Childfree. Fenomena ini sedang populer di kalangan masyarakat Indonesia dan menjadi topik perdebatan yang kontroversial. Artikel ini bertujuan untuk menggabungkan pemikiran individu yang memilih hidup Childfree dengan perspektif sosiologi, khususnya teori feminisme. Teori feminisme relevan dalam mengkaji berbagai masalah yang dihadapi oleh perempuan, termasuk aspek psikologi, identitas, kesadaran, etika, peran, posisi, dan sistem patriarki. Artikel ini bertujuan untuk membuka wawasan perempuan agar berani mengemukakan pendapat dan memilih jalan hidupnya.

Pada kenyataannya, memperjuangkan hak-hak perempuan memang sulit, terutama karena konstruksi sosial budaya yang ada membatasi dan mengatur tata nilai masyarakat berdasarkan gender. Hal ini seringkali menyebabkan hak-hak perempuan atau gerakan feminis disalahartikan oleh masyarakat karena tidak sejalan dengan konstruksi sosial budaya yang telah ada sejak zaman dahulu.

Kesimpulan

Memilih untuk memiliki atau tidak memiliki anak adalah bentuk tanggung jawab individu untuk mengejar kebahagiaan yang diinginkan. Setiap orang berhak menentukan apa yang membuat mereka bahagia, termasuk dalam hal memiliki atau tidak memiliki anak. Pilihan tersebut perlu dihormati, karena setiap pilihan memiliki konsekuensinya masing-masing.

Ketika seseorang memilih untuk memiliki anak, baik karena dorongan agama atau alasanlain, penting bagi anggota keluarga lainnya, terutama pasangan, untuk meringankan beban dan tanggung jawab perempuan dalam menjalankan peran kodratnya. Dalam hal ini, solidaritas dan dukungan dari pasangan menjadi sangat penting.

Selain itu, dampak dari keputusan untuk menjalani kehidupan childfree ini akan terasa di masa depan dan dapat mempengaruhi tidak hanya aspek sosial dan budaya, tetapi juga ekonomi dan politik. Konsekuensi tersebut perlu dipertimbangkan secara holistik untuk memahami implikasinya secara menyeluruh.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image