Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Secara Geografis, Religius, dan Filosofis, Kehidupan Kita itu di Tengah-Tengah Samudera

Agama | Thursday, 25 May 2023, 07:33 WIB

Secara geografis, lautan yang ada di permukaan bumi lebih luas daripada daratan. Menurut para pakar, dua pertiga dari permukaan bumi ini terdiri dari lautan, dan sisanya, satu pertiganya berupa daratan.

Apabila kita menelusuri Al Qur’an, secara isyarat telah menginformasikan jumlah luas lautan dan daratan. Lautan dalam bahasa Arab diistilahkan dengan bahrun, disebutkan sebanyak 41 kali dalam 29 surat, sedangkan kata darat, al barru disebutkan sebanyak 12 kali dalam 8 surat (Fuad Abdul Baqi, Al Mu’jmau al Mufahrasu li Alfadi al Qur’an, hal. 145; 149).

Jika kita membandingkan kata darat dan laut, (al barru dan al bahru) dalam Al Qur’an sama dengan 12 : 41 yang berarti luas daratan di muka bumi itu sebanyak hampir 30% (1/3) , dan sisanya 70% (2/3) merupakan lautan.

Rasulullah saw pun sering mengumpamakan kehidupan ini laksana samudra atau lautan yang luas lagi dalam. Kenikmatan yang ada di dunia ini laksana tetesan air laut yang jatuh dari jari telunjuk seseorang. “Demi Allah, tidaklah dunia ini dibandingkan dengan akhirat kecuali seperti seseorang dari kalian mencelupkan jarinya ke laut, maka lihatlah apa yang tersisa di jarinya jika ia keluarkan dari laut?” (H. R Muslim nomor 2.868).

Abu Dzar pernah mendapatkan nasihat dari Rasulullah sawa, “Wahai Abu Dzar, perbaikilah kapalmu, karena sesungguhnya lautnya dalam, dan bawalah bekal yang cukup, karena perjalananmu jauh, ringankanlah bebanmu, karena rintangan berat siap menghadang, ikhlaskanlah amalmu, karena sesungguhnya Yang Maha Meneliti, Maha Melihat.”

Para bijak bestari sering menggunakan samudra atau lautan sebagai filosofi kehidupan. Jika bumi yang kita pijak ini laksana samudra, kita laksana ikan yang berenang ke sana kemari di kedalaman samudra. Karenanya, kita harus jadi ikan laut hidup yang siap mengarungi ganasnya samudra.

Salah satu filosofi kehidupan dari ikan laut adalah dagingnya tidak terasa asin, padahal setiap saat ia berenang di air laut yang asin. Mengapa bisa demikian? Karena ia hidup dan terus bergerak, ia tidak mau tubuhnya terpengaruhi asinnya air laut.

Demikian pula dengan kehidupan kita. Tak dipungkiri, kehidupan kita sering terombang-ambing gelombang kehidupan yang dapat meruntuhkan keimanan dan moral yang baik. Layaknya ikan laut yang terus bergerak, kita harus bisa melawan gelombang tersebut agar keimanan kita semakin kokoh dan moral baik kita terpelihara.

Masih seputar filosofi luasnya samudra, suatu hari seseorang yang tengah dirundung beragam problema hidup yang berat mendatangi gurunya yang bijak bestari. Dengan agak putus asa, ia menceritakan segala keluh kehidupan dan meminta nasihat serta doa agar segera keluar dari keluh dan kemelut kehidupan yang dihadapinya.

Setelah memberikan nasihat yang agak panjang, Sang Guru yang kebetulan rumahnya berdekatan dengan pantai mengajak Sang Murid mengunjungi pantai. Meskipun belum mengerti akan maksud Sang Guru, ia mengikuti ajakannya. “Bisa jadi ia akan memberi azimat atau wirid di pinggir pantai.” Demikian prasangka yang ada di benak Sang Murid.

Sesampainya di pinggir pantai, Sang Guru menasihati kembali Sang Murid agar tidak putus asa atas beragam keluh yang tengah melandanya. “Sepahit apapun, kamu harus mampu menghadapi beragam keluh yang menimpamu. Tak ada yang abadi di dunia ini, semuanya datang silih berganti. Ingat, jika keluhmu kau anggap besar, kamu harus belajar meyakinkan diri ada Zat Yang Maha Besar. Jika kamu yakin akan kemahabesaran-Nya, beragam keluh yang tengah melandamu akan terasa kecil.” Demikian nasihat Sang Guru.

Sang Guru mengajak Sang Murid ke bibir pantai. Sesampainya di bibir pantai, Sang Guru mengeluarkan serbuk kopi seraya menyuruh Sang Murid mengambil segelas air laut dan memasukkan serbuk kopi sebanyak mungkin ke dalam gelas tersebut.

“Warnanya hitam pekat, Guru.” Jawab Sang Murid ketika ditanya tentang warna secangkir air laut yang dicampuri kopi tersebut.

Kemudian Sang Guru menyuruh muridnya menumpahkan air kopi pekat tersebut di bibir pantai bercampur dengan air laut yang terbentang luas di hadapannya. “Warna kopinya jadi tak kelihatan. Hanya air laut yang bening yang aku lihat.” Jawab Sang Murid ketika ditanya tentang warna secangkir air laut yang dicampuri kopi tersebut.

Itulah filosofi kehidupan yang haus kamu ambil. Di dalam jiwamu juga ada samudra yang bisa membentang luas seluas samudra yang ada di muka bumi, namun juga bisa menyempit lebih sempit daripada cangkir yang kamu isi kopi tadi. Samudra itu tiada lain adalah hati dan pikiranmu.

Jika beragam keluh yang menimpamu kau terima dengan kelapangan hati, meyakini sebagai bagian dari perjalanan hidupmu, dan kau yakin akan menemukan solusinya, maka keluh itu tidak akan memberatkan kehidupanmu. Kau akan dapat menjalaninya dengan penuh keyakinan, Zat Yang Menurunkan keluh kepadamu , Ia berkuasa pula untuk menghilangkannya dari kehidupanmu.”

Namun, jika hati dan pikiranmu sempit, putus asa dalam menghadapinya, berburuk sangka kepada Yang Maha Kuasa atas dirimu, maka kamu akan tersiksa dengan keluhmu tanpa mendapatkan solusi dan ujung dari keluhmu. Kehidupan dan hatimu akan lebih sempit daripada cangkir yang kamu isi kopi tadi yang berarti pula kamu sedang berusaha mengabadikan keluh dan penderitaanmu.

Perlu juga kamu ingat, ketika kamu hidup dalam kejayaan harta, pangkat, dan jabatan, janganlah dijadikan kesombongan. Kesenangan yang kamu dapatkan dalam kehidupan ini tak lebih dari setetes air samudra yang menempel di ujung telunjuk.

Seperti nasihat Rasulullah saw kepada Abu Dzar, kita harus mempersiapkan perahu yang kokoh agar dapat mengarungi ganasnya gelombang samudra kehidupan. Keimanan dan kelapangan hati merupakan modal utama dalam mengarungi kehidupan ini. Tanpa dua kekuatan, keimanan dan kelapangan hati, kita akan terhempas, tersapu ganasnya gelombang dan tenggelam ke kedalaman samudra kehidupan yang tak menentu arah dan tujuannya.

Ilustrasi : Laut (sumber gambar : republika.co.id)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image