Membongkar Alasan Psikologis dan Sosiologis Mengapa Orang Indonesia Senang berhutang ke Rentenir
Gaya Hidup | 2023-05-24 10:11:00Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang besar. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat, kebutuhan hidup pun menjadi semakin tinggi. Tak jarang, kebutuhan tersebut seringkali tidak dapat dipenuhi oleh pendapatan yang dimiliki. Akhirnya, orang Indonesia seringkali tergoda untuk berhutang untuk memenuhi kebutuhannya.
Seperti yang dijelaskan oleh Sunarto bahwa sebanyak 5 juta orang di antaranya memilih pergi ke Rentenir dengan bunga sampai 500 %, ungkap nya di artikel detikfinance, "Survei BRI: 5 Juta Orang Pinjam Uang ke Rentenir, Bunga Sampai 500% “. Apa yang sebenarnya menjadi alasan mengapa orang Indonesia terjebak dalam siklus Tersebut?
ALASAN PSIKOLOGIS
Menurut Dr. Alissa Qotrunnada Munawaroh, seorang psikolog dan peneliti di Universitas Indonesia menjelaskan bahwa salah satu alasan psikologis mengapa orang Indonesia suka berhutang adalah karena kecenderungan mereka untuk mengutamakan kepuasan instan dan lebih mengutamakan kebutuhan saat ini daripada merencanakan masa depan. Menurut Dr. Alissa, perilaku ini disebut sebagai “discounting the future” atau mengabaikan masa depan. Hal ini terkait dengan keinginan untuk memperoleh kepuasan atau pemenuhan kebutuhan saat ini yang terkadang sulit dicapai tanpa menimbulkan hutang. Selain itu, faktor budaya juga mempengaruhi perilaku keuangan masyarakat yang cenderung memiliki rasa solidaritas sosial yang kuat dan saling membantu dalam situasi keuangan yang sulit. Namun, dr. Alissa juga menegaskan, bukan berarti seluruh masyarakat Indonesia memiliki perilaku yang sama dalam mengelola keuangan dan utang. Masih banyak faktor lain yang mempengaruhi kecenderungan masyarakat Indonesia untuk berutang, seperti tingkat literasi keuangan, tingkat pendapatan, dan kebijakan pemerintah terkait perbankan dan perkreditan.
ALASAN SOSIAL
Kemudian menurut Dr. Iyanatul Islam, dosen sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, berpendapat bahwa salah satu alasan orang Indonesia menikmati utang adalah karena tekanan sosial. Menurutnya, dalam budaya Indonesia, individu sering dinilai dari kemampuannya memberikan bantuan keuangan kepada keluarga dan teman-temannya. Karena itu, individu dengan pendapatan rendah mungkin merasa tertekan untuk terus menghidupi keluarga dan teman mereka, dan berutang seringkali merupakan cara mudah untuk memenuhi kebutuhan keuangan ini. Selain itu, Dr Iyanatul Islam juga menegaskan bahwa budaya konsumtif juga bisa menjadi faktor yang mempengaruhi kecenderungan masyarakat Indonesia untuk berutang. Masyarakat Indonesia seringkali tergiur dengan iklan-iklan konsumen yang menawarkan produk-produk baru dan terkini. Hal ini dapat membuat individu merasa terdorong untuk memiliki barang-barang tersebut, bahkan jika mereka tidak mampu membelinya secara tunai.
Selain itu, budaya konsumtif yang berkembang di Indonesia juga turut mempengaruhi keputusan seseorang untuk berutang pada rentenir. Media sosial dan iklan yang semakin marak di Indonesia seringkali membuat tuntutan untuk selalu tampil fashionable dan stylish. Orang Indonesia sering merasa terdorong untuk membeli barang yang tidak mereka butuhkan hanya untuk terlihat keren dan mengikuti tren terkini. Di sisi lain, literasi keuangan yang rendah juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan seseorang untuk berutang pada rentenir. Banyak masyarakat Indonesia yang belum memiliki pemahaman yang cukup tentang konsep hutang dan pengelolaan keuangan.
Istilah-istilah seperti bunga, jaminan dan cicilan seringkali tidak dipahami oleh masyarakat. Akibatnya, mereka lebih mudah terjebak dalam perangkap rentenir yang kerap memanfaatkan ketidaktahuan tersebut untuk memberikan pinjaman dengan bunga tinggi dan jaminan yang merugikan. Selain itu, rendahnya tingkat pendidikan juga mempengaruhi kecenderungan berutang kepada rentenir di Indonesia. Banyak masyarakat Indonesia yang hanya berpendidikan rendah atau kurang berpendidikan tentang pentingnya menabung dan menghitung pengeluaran. Hal ini menyebabkan mereka kurang memiliki kesadaran dalam mengelola keuangan dan lebih mudah terjebak dalam lingkaran hutang kepada rentenir.
SOLUSI
Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah dan instansi terkait harus meningkatkan literasi keuangan dan memberikan edukasi kepada masyarakat terkait pengelolaan keuangan yang baik dan benar. Selain itu, perlu adanya program pengentasan kemiskinan yang dapat membantu masyarakat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pokoknya tanpa harus berhutang kepada rentenir. Program-program tersebut dapat berupa bantuan modal usaha, pelatihan keterampilan, dan subsidi biaya pendidikan. Selain itu, penting juga mengubah budaya konsumtif yang ada di masyarakat Indonesia. Pemerintah dan instansi terkait sebaiknya melakukan kampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menabung dan mengutamakan kebutuhan jangka panjang daripada keinginan jangka pendek yang tidak penting.
Terakhir, perlu ada upaya untuk memberikan akses pembiayaan yang lebih mudah dan terjangkau bagi masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan lembaga keuangan mikro dan keuangan inklusif. Dengan akses keuangan yang mudah, masyarakat Indonesia dapat meminjam dengan bunga yang lebih rendah dan jaminan yang lebih baik, sehingga terhindar dari rentenir yang merugikan.
Secara keseluruhan, permasalahan hutang kepada rentenir di Indonesia tidak lepas dari faktor psikologis dan sosial yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang holistik dari berbagai pihak untuk mengatasi masalah tersebut. Dengan upaya yang serius dan terkoordinir, diharapkan masalah utang kepada rentenir di Indonesia dapat teratasi dan masyarakat Indonesia dapat hidup lebih sejahtera dan mandiri secara finansial.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.