Sejarah Perkembangan Teknologi Kecerdasan Buatan
Teknologi | 2023-05-23 10:40:06Konsep kecerdasan buatan pada zaman Yunani kuno
Jika ditelusuri terkait jejak konsep kecerdasan buatan atau artificial intelligence maka akan kita temukan hingga zaman Yunani Kuno, sekitar 2.700 tahun yang lalu. Dalam kisah mitologi Yunani, diceritakan bahwa Dewa Hephaestus menciptakan patung perunggu berbentuk manusia raksasa yang diberi nama Talos. Patung itu kemudian diberi jiwa dan kecerdasan, disebut ichor, yang membuat patung tersebut menjadi hidup. Ribuan tahun imajinasi tentang AI terus berjalan di ranah fiksi.
Terwujudnya kecerdasan buatan
Baru pada dekade 1950-an AI mulai dapat diwujudkan. Mewujudnya AI salah satunya dirintis oleh matematikawan asal Inggris yang bernama Alan Turing. Alan Turing berusaha keras menjawab pertanyaan ”apakah mesin bisa berpikir”. Pertanyaan itu lantas membawanya pada penemuan uji coba kemampuan mesin dalam meniru kecerdasan manusia, yang kemudian diberi nama sebagai Turing Test.
Inti dari uji coba tersebut adalah, apabila sebuah teknologi dapat lulus Turing Test, teknologi tersebut dapat dianggap memiliki kecerdasan seperti manusia. Metode uji coba Turing Test hingga kini menjadi landasan teoretis bagi para ilmuwan selanjutnya dalam mengembangkan teknologi AI.
Munculnya program baru dan istilah Artificial Intelligence (AI)
Kemajuan ilmuwan dalam mengembangkan AI semakin terasa dengan berhasil diciptakannya program Logic Theorist oleh Allen Newell, Herbert A Simon, dan Cliff Shaw pada 1955. Program tersebut dirancang untuk dapat membuktikan teori-teori dalam Principia Mathematica. Banyak pihak mengakui bahwa trio ilmuwan tersebut telah melakukan sesuatu yang sampai saat itu belum pernah dilakukan oleh seorang pun, yaitu menciptakan mesin yang bisa berpikir.
Tahun berikutnya, pada 1956, Marvin Minsky, John McCarthy, dan sejumlah ilmuwan komputer Amerika Serikat lainnya mengadakan konferensi di Darmouth, New Hampshire. Dalam konferensi tersebut, McCarthy mengajukan istilah artificial intelligence untuk menyebut bidang ilmu baru mengenai kecerdasan buatan. Karena sangat pentingnya istilah tersebut, Konferensi Darmouth dianggap oleh banyak pihak sebagai momentum kelahiran AI.
Akselerasi inovasi AI
Pada dekade 1960-1970-an, Sejumlah inovasi berhasil diciptakan oleh para ilmuwan komputer. Salah satunya adalah ELIZA, chatbot pertama di dunia, oleh ilmuwan bernama Josep Weizenbaum. Chatbot ini dianggap menjadi terobosan terbaru AI karena dinilai mampu memahami bahasa manusia dan memberikan respons yang sesuai.
Akan tetapi, ternyata penemuan ELIZA menghadapkan manusia pada tantangan yang lebih besar selanjutnya, yaitu belum ditemukannya teknologi yang dapat menyimpan memori dan mengaksesnya dalam skala besar dan cepat. Akibatnya, perkembangan teknologi AI sempat melambat selama satu dekade lebih.
Teknik deep learning
Gairah pengembangan AI baru terasa kembali pada medio 1980-an. David Rumelhart dan John Hopfield berhasil mengenalkan teknik deep learning yang memungkinkan komputer untuk belajar berdasarkan pengalaman. Teknik ini kemudian diaplikasikan dalam teknologi Expert System. Expert System adalah teknologi yang dapat mempelajari segala keputusan yang dilakukan oleh seorang ahli di bidang tertentu. Setelah mempelajarinya, teknologi itu memberikan arahan atau jawaban apabila diberikan pertanyaan permasalahan pada bidang tersebut.
Perkembangan terkini
AI juga mengalami kemajuan teknologi dalam kemampuan memahami bahasa manusia. Hal ini dibantu oleh ledakan popularitas smartphone oleh pada medio 2010-an. Ini karena para produsen menyertakan program asisten pribadi digital yang dikenal dengan berbagai nama, seperti Siri dari Apple, Google Assistant dari Google, Cortana dari Microsoft, dan Alexa dari Amazon. Program tersebut dapat membantu pengguna mengakses berbagai fitur smartphone hanya dengan perintah suara saja.
Ambisi untuk menyempurnakan AI dalam kemampuan memahami bahasa manusia semakin nyata terwujud pada tahun 2020. Pada tahun tersebut, Open AI, sebuah perusahaan rintisan yang fokus dalam bidang pengembangan AI, mengumumkan rilis GPT-3. Teknologi tersebut diklaim tidak hanya mampu memahami bahasa manusia, tetapi juga memberikan respons balik yang hampir sempurna layaknya manusia.
Dengan banyaknya kemajuan teknologi tersebut, eksistensi manusia seperti dipertanyakan kembali. Dapatkah teknologi AI menggantikan peran manusia di dunia ini? Sejauh ini, jawabannya adalah tidak. Ini karena, meskipun mampu memenangkan juara dunia atau membuat karya seni yang indah, pengembangan AI masih berkutat di ranah artificial narrow intelligence. Artinya, kemampuan teknologi AI hanya terbatas di tugas-tugas tertentu dan belum mampu memahami dunia beserta isinya seperti layaknya manusia.
Mencermati perkembangan sejarah teknologi AI, pada setiap fase selalu saja diiringi lonjakan-lonjakan yang besar. Untuk menjaga keseimbangan perkembangan tersebut, kemajuan teknologi harus diimbangi dengan adaptasi menjadi manusia cerdas sebagai bagian dari dinamika kehidupan yang terus berkembang dan berinovasi.
Muhamad Akbar Syah, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.