Kontekstualisasi Mahar dalam Pernikahan Berasaskan Pandangan 4 Mazhab
Agama | 2023-05-23 08:07:33Dalam pandangan Agama Islam, selain sebagai perbuatan Ibadah, pernikahan juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasulullah. Datangnya agama Islam membersihkan aib kebodohan yang melekat pada diri seorang wanita, berbeda jauh dengan masa Jahiliyyah yang penuh kezaliman, di mana pada masa itu hak seorang wanita dihilangkan, sehingga walinya dengan semena-mena dapat menggunakan hartanya dan sama seklai tidak memberikan kesempatan untuk mengurus hartanya itu.
Lantas Islam datang dan mengembalikan hak-haknya untuk menikah, pun bercerai. Juga mewajibkan seorang laki-laki membayar mahar kepada mereka (wanita). Mahar dalam agama Islam menggunakan nilai uang sebagai acuan. Hal ini dikarenakan mahar merupakan harta dan bukan semata-mata hanya sebuah simbol.
Seringkali kita mendengar sebuah nasihat, "Sebaik-baik mahar adalah yang paling murah." Hal ini benar adanya sebab mahar yang mahal dapat membuat seorang laki-laki kesulitan hingga enggan untuk menikahi seorang wanita. Selain itupun diharamkan ukuran mahar yang berlebih-lebihan hingga memberatkan pihak laki-laki sehingga perlu meminjam atau meminta-minta.
Berkenaan dengan hal tersebut, pada tulisan kali ini akan diuraikan sedikit banyaknya mengenai "Kontekstualisasi Mahar dalam Pernikahan yang Bersendikan pada Pandangan para Imam Mazhab; Imam Abu hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam ahmad bin Hambal."
Definisi Mahar Menurut Ulama 4 Mazhab
1. Mazhab Hanafi
Harta yang diwajibkan atas suami ketika berlangsungnya akad nikah sebagai imbalan dari kenikmatan seksual yang diterimanya.
2. Mazhab Maliki
Mahar adalah segala sesuatu yang menjadikan istri halal untuk digauli.
3. Mazhab Syafi'i
Mahar adalah sesuatu yang wajib dibayarkan disebabkan akad nikah atau senggama.
4. Mazhab Hambali
Mahar yaitu sebagai imbalan suatu perkawinan, baik disebutkan secara jelas dalam akad nikah, ditentukan setelah akad dengan persetujuan kedua belah pihak, maupun ditentukan oleh hakim.
Hukum Mahar dalam Pandangan Ulama 4 Mazhab
Lebih lanjut mengenai hukum mahar, para ulama sepakat bahwasannya Mahar termasuk salah satu syarat sahnya pernikahan, maka hukumnya dalah wajib. Tidak akan sah sebuah pernikahan apabila di dalamnya tidak ada suatu mahar. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT yang secara eksplisit diungkap dalam Q.S. An-Nisa' ayat 4 yang berbunyi:
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Pendapat Para Ulama Berkaitan dengan Ukuran Mahar
Setelah kita mengetahui dan memahami definisi dan juga dasar hukum dari pada mahar itu sendiri, sampailah kita pada point utama dalam pembahasan kita kali ini, yaitu pendapat para ulama berkaitan dengan ukuran mahar.
Para ulama sepakat bahwasanya ukuran mahar tidak memiliki batas maksimalnya, maka selama pihak laki-laki mampu dan tidak keberatan, mereka bebas memberikan mahar sebanyak apa pun.
Menyampingkan hal tersebut, para ulama berbeda pendapat mengenai minimal ukuran mahar.
· Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hambali: berpendapat bahwa semua yang bisa menjadi mahar, tidak ada batas tentang minimal suatu mahar.
· Mazhab Maliki: Imam Malik berkata, " Minimalnya seperempat dinar berupa emas atau tiga dirham berupa perak atau yang senilai dengan tiga dirham (maksudnya dirham takaran saja, menurut riwayat yang terkenal) dan dikatakan: atau yang senilai dengan salah satu dari keduanya."
· Mazhab Hanafi: Imam abu Hanifah berkata, "Minimalnya sepuluh dirham. Dikatakan, lima dirham. Dan dikatakan, empat puluh dirham."
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.