Bahasa Daerah Kampungan ?
Sastra | 2021-12-24 10:58:10“Bhineka Tunggal Ika” Memiliki arti berbeda-beda tetap satu. Semboyan yang menjadi ciri khas negara kita. Berbeda-beda menunjukan sebuah bukti Indonesia memiliki keragaman budaya, agama, suku bangsa, bahasa.
“kumaha kabarna?”, “piye kabare?”, “gimane kabarnye?”. Ragam bahasa daerah di Indonesia dan itu beberapa diantara ratusan bahasa daerah yang ada. Anda mungkin memiliki bahasa daerahnya masing-masing. Keberagaman itu menunjukan begitu kaya budaya terutama bahasa di Indonesia. Bagaikan Pelangi yang akan terlihat indah apabila terdiri dari berbagai macam warna, begitu juga dengan Indonesia yang terasa sangat indah dengan keanekaragamannya. Akan terasa hampa dan disayangkan apabila kita tidak memperlihatkan keindahan yang kita miliki.
Orang yang mengaku berwarganegara Indonesia sering kali merasa malu memperlihatkan budaya daerah mereka masing-masing, termasuk malu untuk menggunakan bahasa daerahnya. Akan terasa miris apabila kecintaan kita terhadap bahasa ibu semakin menurun.
Melihat fenomena saat ini, kita cenderung lebih bangga menggunakan Bahasa Inggris atau bahasa asing yang sedang menjadi trending topik di media sosial. Pergerakan informasi semakin cepat dan tidak dapat dikontrol. Informasi silih berganti dari belahan dunia lain dengan begitu cepat. Hal itu memicu proses akulturasi budaya dan bahasa yang menjadikan bahasa daerah akan semakin tersisihkan.
Mari kita lihat ekosistem bahasa di kota besar yang menjadi pusat kehidupan. Kota menjadi magnet untuk menarik orang-orang yang berasal dari berbagai latar belakang wilayah, budaya dan bahasa. Lambat-laun, dengan hidup berdampingan satu sama lain dalam jangka waktu yang lama, secara tidak sadar melunturkan budaya bahasa asal mereka dan kita tidak bisa menghindari hal tersebut.
Kita mungkin pernah mendengar isitlah “yang kuat yang akan akan bertahan”. Hukum rimba itu tidak hanya berlaku untuk kehidupan hewan di alam liar. Hukum rimba juga berlaku dalam kehidupan manusia salah satunya dalam aspek bahasa dan budaya. Semakin sering kita menggunakan bahasa daerah, maka eksistensi bahasa akan tetap bertahan. Sebaliknya, semakin jarang bahasa daerah digunakan, maka semakin mudah dan semakin rentan bahasa itu punah. Maka dari itu, melihat keadaan di kota besar saat ini, bukan hal yang tidak mungkin bahasa daerah semakin tidak terdengar.
Media memilki andil untuk melestarikan bahasa-bahasa daerah. Namun yang dirasakan justru sebaliknya. Promosi budaya bahasa melalui media seperti televisi, internet, film, sinetron dan lainnya justru mengemas bahasa asing dengan tampilan yang terkesan “lebih baik” dibandingkan bahasa daerah kita sendiri. Dengan karakteristik orang Indonesia yang mudah terbawa arus, terbawa suasana, terbawa hal-hal yang sedang ramai dibicarakan, maka pudarnya bahasa daerah akan semakin cepat.
Film atau tontonan di media Indonesia seharusnya dapat mengangkat keberadaan bahasa daerah di Indonesia, bukan sebaliknya. Sering terjadi pada tontonan di televisi yang menggambarkan orang yang superior, berpengaruh, modern itu dengan berbahasa bahasa asing yang dalam penggunaannya dicampurkan dengan bahasa Indonesia gaul. Sedangkan orang yang menggunakan bahasa daerah selalu digambarkan dengan peran yang lugu, polos, tidak tahu apa-apa. Fenomena seperti itu sering terjadi dalam tontonan di Indonesia. Apakah mereka menggunakan Bahasa Indonesia yang baik? Tentu saja tidak, mereka menggunakan bahasa-bahasa Indonesia gaul dicampur dengan bahasa dan istilah-istilah asing yang sedang tren.
Terdapat kesenjangan antara bahasa daerah dengan bahasa asing gaul. Kesenjangan itu yang menjadikan masyarakat yang menggunakan bahasa daerah dalam berkomunikasi dianggap “norak” dan kampungan. Ketika seseorang berbicara menggunakan bahasa daerah jawa yang memiliki logat yang khas “medhok”, secara spontan kita menertawakan. Begitu juga yang terjadi dengan orang Sunda yang sering kali menggunakan kata “atuh” atau “teh” saat berbicara.
Perlakuan atau respon yang seolah merendah itu menjadikan orang berusaha untuk menghilangkan unsur-unsur bahasa daerahnya. Akibatnya mereka lebih menggunakan bahasa yang sama dengan lingkungan sosialnya dan menghindari menggunakan bahasa daerah karena mereka tidak merasa bangga dengan bahasa daerah mereka sendiri.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.