Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Oktaviana Lestari (IAIN PEKALONGAN)

Peristiwa Mihnah dalam Konsep Mu'tazilah

Agama | Friday, 24 Dec 2021, 09:37 WIB

Pengertian Mihnah secara bahasa kata Mihnah adalah kata jamak dari mahana, yumhinu yang artinya cobaan, ujian atau bala. sedangkan secara istilah mihnah adalah ujian keyakinan yang ditujukan kepada para ulama, ahli hadist dan hukum sehubungan dengan permasalahan pencipta al-Qur'an.

Peristiwa mihnah tersebut terjadi selama tiga periode pemerintahan yaitu al-Ma'mun, al-Mutasim (W 227 H) dan al-Watsiq ( 232 H). Peristiwa Mihnah terjadi pada masa khalifah al-Ma'mun itu karena perbedaan pendapat sehubungan dengan paham khalq al-Qur'an. Mu'tazilah berpendapat bahwa al-Qur'an adalah baru karena kalam Allah SWT yang tersusun dari suara dan huruf-huruf. Al-Qur'an itu makhluk dalam arti diciptakan Tuhan. Karena ada sesuatu yang baru, jadi tidak qadim. Jika al-Qur'an dikatakan qadim maka akan timbul kesimpulan bahwa ada qadim selain Allah dan ini hukumnya musyrik.

Mu’tazilah menafikan sifat al-Kalam dari Allah karena menurut mereka sifat itu termasuk sifat yang baru. Apa yang dihubungkan kepada-Nya , yaitu bahwa Dia berkata-kata, adalah karena Dia yang menciptakan kata-kata itu pada suatu tempat. Jadi, Allah berkata-kata kepada Musa ialah dengan menciptakan kata-kata di pohon tertentu. Sedangkan para fuqaha dan muhadditsin menetapkan sifat al-kalam kepada Allah. Atas dasar itu, menurut mereka, al-Qur’an adalah kalam Allah, dan karena itu al-Qur’an bukan makhluk sebagaimana makhluk-makhluk yang lain. Demikianlah pandangan kedua belah pihak yang masing-masing berawal dari sudut pandang yang berbeda.

Ketika al-Ma’mun didekati oleh kalangan Mu’tazilah dan secara terang terangan menyatakan bahwa dirinya menganut paham Mu’tazilah. Ia mengagungkan Mu’tazilah secara berlebihan, Mu’tazilah menyadari kedudukan mereka dalam pandangan al-Ma’mun, khususnya ketika ia memilih Ahmmad ibn Abi Dawud menjadi teman dekat dan keluarganya. Dengan adanya hubungan antara al-Ma’maun dan Mu’tazilah dalam bidang pemikiran dan kekeluargaan, kemudian Mu’tazilah menggunakan kesempatan tersebut untuk menyebarluaskan pendapat bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Al-Ma’mun mengumumkannya pada tahun 212 H. Walaupun demikian ia masih memberikan kemerdekaan kepada rakyatnya dalam beraqidah dan berpendapat, dan tidak memaksa mereka untuk menganut pendapat yang tidak sejalan dengan pendapat mereka.

Peristiwa mihnah yang digagas oleh tokoh Mu’tazilah dengan memanfaatkan kekuasaan yang ada di masa itu ternyata menjadi bencana bagi Mu’tazilah. Mihnah yang sebenarnya lebih dimaksudkan untuk makin memperkuat dominasi dan meningkatkan popularitas Mu’tazilah, ternyata justru semakin memperburuk posisi Mu’tazilah dan sebagai titik awal bagi kemundurannya. Tindakan politisasi kekuasaan untuk memaksakan faham Mu’tazilah, terutama faham ke-makhlukan al-Qur’an, kepada para pejabat dan tokoh masyarakat masa itu, bahkan diikuti dengan kekerasan dan penyiksaan terutama terhadap fuqaha’ dan ahli hadis, telah memperburuk citra Mu’tazilah dan sebaliknya mengundang munculnya simpati terhadap fuqaha’ dan dan ahli hadis. Mu’tazilah menuai banyak kecaman keras dari banyak kalangan, terutama dari fuqaha’ dan ahli hadis, sehingga keberadaan Mu’tazilah semakin ditinggalkan oleh masyarakat. Terjadinya mihnah sebagai dukungan untuk melanjutkan ajaran mu’tazilah tentang menafikan sifat Allah karena bagi mereka masalah kalam Allah sangat rentan dengan pemahaman mereka, dan mendekati berbilangnya Tuhan. Maka dari itu mereka berusaha menghapus pernyataan bahwa kalam Allah itu qodim. Sangat disayangkan diskusi-diskusi ilmiah zaman al-Ma’mum tersebut berubah secara drastis menjadi tindak pemaksaan untuk mengikuti doktrin Mu’tazilah tentang kemakhlukan al-Qur’an lewat kebijakan politik uji keyakinan yang dinamakan Mihnah. Kebijakan al-Ma’mun tentang mihnah ini adalah atas saran menteri dan sekretarisnya dari kalangan Mu’tazilah yakni Ahmad bin Abi Daud al-Mu’tazili, yang tampaknya setelah ia sadar hubungan dekatnya dengan al-Ma’mun, ia bermaksud memanfaatkan kekuasaan yang ada menjadi alat memaksakan ajarannya Mu’tazilah tentang al-Qur’an itu baru (makhluk). Setuju terhadap saran itu, al-Ma’mun pada tahun 212 H memberlakukan kebijakan mihnah itu dengan sasaran utamanya para pejabat pengadilan dan sejumlah tokoh masyarakat. al-Ma’mun hanya menetapkan sanksi berupa pencopotan jabatan bagi yang tidak mengakui kemakhlukan al-Qur’an, tetapi akhirnya sanksi itu ditingkatkan hingga dalam bentuk hukuman penjara dan bahkan mati.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image