Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ni Nyoman Benedicta Avrilia Griselda

Lawan Hustle Culture dengan Self-Compassion

Gaya Hidup | Thursday, 18 May 2023, 09:07 WIB
Image by redgreystocks on Freepik

Kutipan populer oleh Joko Widodo pada pidato pertamanya sebagai Presiden Indonesia: “kerja, kerja, kerja!”, rupanya kini menjadi tren. Budaya “gila kerja”, akrab disebut sebagai hustle culture telah menjadi gaya hidup terutama di kalangan anak muda saat ini. Budaya ini dimaknai dengan bekerja terlalu keras dan mendorong diri melampaui batas. Tidak jarang hustle culture menjadi parameter akan produktivitas dan kinerja seseorang.

Seringkali dijumpai mereka yang bekerja hingga larut malam, melebihi batas jam kerja tanpa dibayar upah, tetap bekerja di hari libur, alhasil akan mudah stress, tidak ada waktu untuk diri sendiri, hingga melalaikan kesehatan diri sendiri. Seolah-olah, manusia hidup untuk kerja dan bukan sebaliknya. Bagaimana pola hidup yang kelewat ambisius ini bisa digemari oleh banyak orang? Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk “bertahan” dalam hustle culture?

Kehidupan manusia dewasa ini yang tidak bisa lepas dari teknologi mengambil peran dalam hal ini. Perkembangan transformasi digital yang sangat pesat, membantu pekerjaan manusia dalam hampir setiap aspek kehidupan membuat pekerjaan manusia dapat terselesaikan secara instan; diikuti dengan kehidupan “sempurna” yang ditampilkan di media sosial turut memicu seseorang untuk merasa insecure, kurang produktif, merasa dirinya tertinggal, dan ingin sukses. Studi yang dilakukan oleh Robinson (2019), sebanyak 45% pengguna media sosial gemar mengunggah post yang berkaitan dengan kesibukannya dalam pekerjaan, terutama saat harus lembur, dikejar target, dan deadline sebagai unjuk rasa bahwa mereka adalah pekerja keras dan berdedikasi tinggi. Akibatnya, pengguna media sosial lain yang melihat unggahannya akan merasa termotivasi, tidak mau kalah untuk menjadi sama produktifnya, dan kerap melakukan hal yang sama. Hal tersebut terus berulang dan membentuk siklus, hingga menjadi fenomena hustle culture.

Dalam dunia yang kompetitif ini, seseorang harus tetap “tenang” dengan dirinya sendiri agar tidak mudah stress dan survive. Salah satu caranya, adalah dengan menerapkan self-compassion. Dikenal sebagai “welas diri”, self-compassion merupakan sikap terbuka dan tergeraknya hati terhadap kekurangan dan kegagalan yang dialami diri sendiri (Neff, 2003). Dengan menerima kelebihan dan kekurangan diri, memahami dan peduli terhadap diri sendiri, self-compassion dapat menjadi jalan untuk memperoleh kehidupan yang lebih positif dan bahagia sekalipun di masa sulit.

Studi yang dilakukan oleh Yuningsih, et. al. tahun 2023 menyatakan bahwa self-compassion dapat mengurangi stress yang ditimbulkan dari hustle culture. Individu dengan self-compassion yang tinggi cenderung memiliki obsesi yang lebih rendah mengenai hal materiil dan duniawi dibanding individu dengan self-compassion rendah. Dengan self-compassion, individu dapat sadar dan paham akan sisi positif dalam suatu kegagalan atau kesulitan. Sehingga, individu tidak akan terlalu larut dalam “gila kerja” tanpa mengurangi kemampuan dan produktivitasnya dalam bekerja. Sikap menyayangi diri sendiri ini tidak hanya membantu mengurangi rasa stress, tetapi juga membantu seseorang untuk bertahan dan terhindar dari kondisi yang lebih mengkhawatirkan (kecemasan berlebihan, depresi) di tengah kehidupan hustle culture yang toxic ini.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image