Akibat Perkawinan Campuran, Banyak WNI Kehilangan Kewarganegaraannya
Info Terkini | 2023-05-16 19:34:43Semakin berkembangnya kehidupan manusia saat ini harus pula diikuti dengan melengkapinya dengan perangkat hukum yang telah ada untuk dapat mengatur semua segi kehidupan dalam masyarakat baik masyarakat nasional maupun masyarakat internasional dan untuk mendapat kepastian hukum bagi orang Indonesia yang hendak melaksanakan perkawinan dengan orang asing. Saat ini banyak warga negara Indonesia yang melaksanakan perkawinan campuran dengan orang asing, sejalan dengan era globalisasi dan dengan semakin cepatnya arus informasi dari luar ke dalam, keadaan inilah yang merupakan salah satu penyebab banyaknya orang Indonesia yang menikah dengan orang asing (Sasmiar, 2011).
Sebelum membahas perkawinan campuran menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perlu diketahui terlebih dahulu mengenai pengertian perkawinan, menurut Undang-Undang Perkawinan pengertian tentang perkawinan yang diatur dalam Pasal 1 yang berbunyi “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Widanarti, 2019).
Berdasarkan banyaknya kasus perkawinan campuran banyak akibat-akibat atau dampak yang didapatkan karenanya. Beberapa akibat hukum yang ditimbulkan atas perkawinan campuran adalah hubungan hukum antara suami dan istri, akibat hukum terhadap harta perkawinan, dan hubungan hukum antara orang tua dengan anak (Widanarti, 2019). Selain itu, dalam opini ini saya akan menyampaikan lebih lanjut mengenai akibat perkawinan campuran yaitu seorang WNI yang kehilangan kewarganegaraannya.
Pengertian perkawinan campuran dalam UU Perkawinan diatur dalam Pasal 57, yang berbunyi ”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antar dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”. Dari definisi Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan ini dapat diuraikan unsur-unsur perkawinan campuran itu sebagai berikut:
1. Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita
2. Di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan
3. Karena perbedaan kewarganegaraan
4. Salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia
Perkawinan campuran dapat dilangsungkan di luar Indonesia (luar negeri) dan dapat pula dilangsungkan di Indonesia. Apabila dilangsungkan di luar negeri maka perkawinan tersebut sah bila perkawinan tersebut menurut hukum negara yang berlaku menurut di negara mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-Undang Pokok Perkawinan (Pasal 56). Apabila dilangsungkan di Indonesia, perkawinan campuran dilakukan menurut Undang-Undang Perkawinan ini (Pasal 59 Ayat (2)). Mengenai syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan harus dipenuhi syarat-syarat perkawinan materiil yang berlaku menurut hukum masing-masing pihak (Pasal 60 Ayat (1)) (Abdulkadir, 1993) dalam (Dewi & Syafitri, 2022).
Berdasarkan Pasal 19 UU No.12 tahun 2006, warga negara asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia dapat memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi Warga Negara Indonesia di hadapan pejabat, pernyataan tersebut dilakukan apabila yang bersangkutan sudah bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut.
Selanjutnya Pasal 26 UU No.12 Tahun 2006, mengatur bahwa perempuan warga negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara asing kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut (Dewi & Syafitri, 2022). Laki-laki warga negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga negara asing kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut. Jika ingin tetap menjadi warga negara Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada pejabat atau perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut.
Akibat dari perkawinan campuran menyebabkan kedudukan suami atau istri yang warga negara Indonesia menjadi kehilangan salah satu hak perdatanya karena adanya unsur asing dari pasangannya. Perkawinan campuran berbeda dengan perkawinan di luar Indonesia. Pada perkawinan campuran, pasangan yang akan kawin tersebut berbeda kewarganegaraannya sehingga ada kemungkinan terdapat lebih dari satu sistem hukum yang berlaku dalam perkawinan tersebut setelah perkawinannya dilangsungkan. Sedangkan pada perkawinan di luar Indonesia, pasangannya yang melangsungkan perkawinan adakalanya sama-sama merupakan warga negara Indonesia tetapi bisa pula berbeda kewarganegaraannya. Pada perkawinan campuran, suami atau istri yang berbeda kewarganegaraannya tidak diwajibkan untuk menggantikan kewarganegaraannya agar sama dengan pasangannya, sehingga anak yang lahir memiliki 2 kewarganegaraan karena mengikuti kewarganegaraan ayah dan ibunya yang berbeda (Liman, 2021).
Berdasarkan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan tentang bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku (Kalagison, 2018). Perkawinan campuran yang dilakukan oleh tiap pasangan dapat menyebabkan mereka kehilangan kewarganegaraannya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.