Membedah Rasionalitas Kebijakan Subsidi Kendaraan Listrik
Politik | 2023-05-13 13:03:39Mantan Gubernur DKI Jakarta sekaligus calon kandidat presiden dari koalisi perubahan, Anies Baswedan, kembali meramaikan jagat pemberitaan media massa tanah air. Pro kontra mengiringi opini Anies yang mengkritisi kebijakan subsidi kendaraan pribadi berbasis listrik oleh Kementerian Perindustrian.
Dalam pidatonya Minggu, 7 Mei 2023 di Tennis Indoor Senayan, Anies mengungkapkan bahwa solusi menghadapi polusi udara bukan terletak pada subsidi kendaraan pribadi berbasis listrik atau electric vehicle. Ada beberapa fakta yang ia paparkan di hadapan relawan tersebut.
Pertama, pemilik kendaraan pribadi berbasis listrik bukanlah sosok yang membutuhkan subsidi. Hal itu ia simpulkan dari fakta yang ada di Jakarta, bahwa kecenderungan konsumen adalah membeli motor atau mobil listrik sebagai kendaraan kedua setelah kendaraan berbahan bakar minyak bumi.
Kedua, emisi karbon mobil listrik per kilometer per kapita lebih besar dibandingkan emisi karbon bus listrik. Hal itu karena penumpang bus jauh lebih banyak dibandingkan penumpang mobil pribadi.
Prediksi Anies, selain menghabiskan dana besar untuk subsidi yang tidak tepat sasaran, pemerintah juga akan menghadapi kenyataan bahwa jalanan akan semakin macet dipenuhi kendaraan pribadi berbasis listrik plus kendaraan konvensional.
Kebijakan subsidi kendaraan listrik tersebut dikeluarkan bulan Maret 2023, berupa subsidi sejumlah 7 juta rupiah untuk motor dan subsidi di kisaran 70 juta rupiah untuk mobil listrik. Kuota motor listrik yang mendapatkan subsidi sebanyak 200 ribu unit, sementara kuota mobil listrik sebanyak 50 ribu unit.
Selain itu, pemerintah juga menanggung PPN 10% untuk mobil listrik dengan kuota 35.900 unit, serta PPN 5% untuk bus listrik. Kebijakan dari Kementerian Perindustrian ini langsung mendongkrak pembelian mobil listrik di bulan April sebesar 44%.
Argumentasi Para Menteri
Menghadapi kritikan Anies Baswedan, para menteri kompak memberikan sanggahan. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan bahwa subsidi electric vehicle sudah melalui studi yang komprehensif dan banyak dijalankan oleh negara-negara besar di dunia. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, berpendapat serupa. Menurutnya subsidi electric vehicle tidak perlu dipertanyakan lagi karena hampir seluruh negara menerapkan kebijakan tersebut.
Menurut William S. Howell dalam jurnal Communication in Bussiness (Rosenblatt et all, 1977) retorika yang diungkapkan kedua menteri tersebut merupakan bagian dari bandwagon technique. Publik diajak untuk membenarkan sebuah kebijakan, hanya karena hampir seluruh negara menerapkan kebijakan serupa. Pihak yang menentang kebijakan tersebut akan dianggap salah.
Sementara itu sang empunya kebijakan yakni Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, lebih memilih red-herring technique. Teknik ini memungkinkan seorang komunikator mengelak dari argumentasi yang lemah, dengan cara mengalihkan ke topik yang lebih ia kuasai.
Dalam wawancara kepada wartawan, ia menyebutkan bahwa dampak positif subsidi electric vehicle ini tidak boleh dilihat dari satu sisi saja. Selain mengurangi emisi karbon, kebijakan tersebut juga membantu membuka lapangan pekerjaan baru dengan memanfaatkan hilirisasi nikel.
Alasan hilirisasi nikel ini juga dikemukakan oleh Direktur Eksekutif for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa di acara Closing Bell CNBC Jumat (12/5/2023). Menurutnya pemberian subsidi dan insentif electric vehicle penting untuk membuka serta mengembangkan ekosistem kendaraan listrik di dalam negeri, karena pemerintah memiliki kebijakan hilirisasi bijih nikel.
Hilirisasi Nikel, Sebuah Arena Diskusi Baru
Topik hilirisasi nikel mengalihkan perhatian publik dari potensi masalah polusi udara dan kemacetan akibat subsidi EV. Ruang publik pun mulai dipenuhi narasi tentang pentingnya pembentukan ekosistem industri electric vehicle. Terlebih, KTT ASEAN yang baru saja digelar di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, menghasilkan kesepakatan pengembangan ekosistem mobil listrik se-ASEAN.
Pemerintah Indonesia memang telah menerapkan kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel sejak awal tahun 2020. Kebijakan itu mendapat protes keras dari Uni Eropa dengan cara mengugat Indonesia melalui World Trade Organization (WTO) pada awal tahun 2021. Indonesia harus menelan pil pahit, karena WTO memenangkan gugatan Uni Eropa tersebut. Penyebab kekalahan adalah karena WTO menganggap Indonesia belum memiliki industri hilir terkait nikel yang cukup berkembang.
Meski kalah di meja perundingan, Jokowi mengklaim bahwa kenaikan pendapatan dari hilirisasi bijih nikel tetap berjalan. Tahun 2021 pendapatan dari ekspor produk nikel sebesar Rp360 triliun dan di tahun 2022 meningkat jadi Rp512 triliun. Sebelumnya, pendapatan dari ekspor bijih nikel hanya di kisaran Rp17 triliun.
Meski begitu, fakta lain menyebutkan bahwa andil sektor industri terhadap perekonomian hingga kuartal I 2023 hanya tinggal 18,57%. Padahal di awal 2020 angkanya masih di kisaran 19,8%. Hal itu diduga karena devisa hasil ekspor bahan baku industri -termasuk nikel- disimpan di luar negeri. Hal tersebut membuat Presiden semakin gencar menyerukan pengembangan ekosistem industri electric vehicle. Dalam Muktamar XVII PP Pemuda Muhammadiyah (22/02/2003), Presiden secara gamblang menyebutkan harus ada upaya membuat produk industri baterai kendaraan listrik, dan membuat ekosistem industrinya.
Dukungan negara-negara ASEAN dalam pengembangan ekosistem industri EV nampaknya jadi harapan pemerintah untuk bisa mengajukan banding di tahun 2024, atas keputusan WTO terkait kebijakan larangan ekspor nikel.
Rasionalitas Narasi Kebijakan Kendaraan Listrik
Pernyataan Anies Baswedan tentang subsidi kendaraan listrik yang seharusnya lebih diprioritaskan ke kendaraan umum, sejatinya bukan barang baru. Sejak tahun 2011 pemerintah telah memetakan kebijakan penurunan emisi karbon yang tertuang dalam Perpres No 61 tahun 2011. Kementerian Perhubungan lantas menurunkannya ke dalam Keputusan Menteri Perhubungan No.KP 201 tahun 2013. Khusus untuk kebijakan sub sektor transportasi darat, Kemenhub fokus pada manajemen lalu lintas dan pengembangan transportasi umum.
Ada tiga aspek keberlanjutan yang jadi perhatian utama dalam pembuatan roadmap kebijakan hingga tahun 2030. Keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan lingkungan dan keberlanjutan sosial. Integrasi transportasi umum dipercaya mampu memberikan banyak manfaat, mulai dari aksesibilitas untuk semua orang, terjalinnya kesetaraan sosial, keberlanjutan lingkungan, kesehatan dan keselamatan, hingga nilai keekonomian yang lebih terjangkau.
Dalam praktiknya, Kepala Pusat Pengelolaan Transportasi Berkelanjutan (PPTB) Kemenhub, Raden Ari Widianto, memaparkan dalam Sosialisasi Konservasi Energi di Sektor Transportasi (15/8/2019) bahwa potensi penghematan energi sebesar 15-35% dapat terwujud melalui program transportasi massal (BRT/MRT/LRT), fuel switching dari BBM dan penerapan sistem manajemen transportasi terpadu.
Karena itu, keputusan pemerintah membentuk Tim Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (PKBLBB) untuk Transportasi Jalan di tahun 2019, seolah lepas dari keberlanjutan kebijakan penurunan emisi karbon. Alih-alih menyertakan Perpres No 61 tahun 2011 yang lebih komprehensif, pemerintah malah menyertakan PP Nomor 70 Tahun 2OO9 tentang Konservasi Energi sebagai bahan rujukan pembuatan Perpres baru. Yakni Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019, yang menjadi landasan hukum terbentuknya Tim Percepatan PKBLBB untuk Transportasi Jalan.
Bukan hanya itu, tampuk kepemimpinan Tim Koordinasi Percepatan Program KBL Berbasis Baterai, justru dipegang oleh Kementerian Koordinasi bidang Kemaritiman dan Kementerian Koordinasi bidang Perekonomian. Sementara itu, Menteri Perhubungan, Menteri ESDM dan Menteri KLHK bertugas sebagai anggota, bersama Menteri Keuangan, Menristek, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Dalam Negeri dan Kapolri.
Kementerian ESDM bertugas menentukan tarif tenaga listrik KBL berbasis baterai. Lalu Kementerian Perhubungan melaksanakan uji berkala KBL berbasis baterai. Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup hanya terbatas mengawasi aturan terkait pengelolaan limbah baterai. Menjadi pertanyaan besar, jika tetap ingin merujuk kebijakan subsidi kendaraan pribadi listrik berbasis baterai sebagai bagian dari upaya penurunan emisi karbon.
Dalam paradigma naratif Walter Fisher (1985) situasi itu disebut sebagai inkoherensi narasi. Fisher percaya bahwa kebenaran sebuah narasi tidak bisa hanya dilihat dari kebenaran logis, tapi juga rasionalitas yang ditunjang oleh koherensi berbagai elemen. Koherensi struktural mengacu pada alur cerita, koherensi material mengacu pada kongruensi satu cerita dengan cerita lain yang berkaitan, dan koherensi karakterologis terkait dengan tingkat kepercayaan terhadap karakter-karakter dalam narasi.
Inkoherensi struktural terlihat pada penggunaan bandwagon technique dan red-herring technique oleh para menteri. Hal itu menyiratkan adanya upaya pengalihan isu dari lingkungan ke ekonomi, sekaligus mengindikasikan lebih beratnya bobot pertimbangan ekonomi dalam kebijakan ini. Putusnya keterhubungan antara kebijakan baru dengan roadmap kebijakan pengurangan emisi karbon hingga 2030, menunjukkan indikasi inkoherensi material. Sementara itu, penunjukkan ketua dan wakil ketua tim yang bukan berasal dari bidang perhubungan atau lingkungan hidup menunjukkan adanya inkoherensi karakterologikal.
Mencari Pembanding yang Seimbang
Pada Muktamar XVII PP Pemuda Muhammadiyah, Presiden Joko Widodo menyebut tiga negara yaitu Taiwan, Korea Selatan dan Jepang sebagai benchmark kebijakan subsidi electric vehicle. Ketiganya merupakan negara maju yang telah menginisiasi kebijakan reduksi emisi karbon pada alat transportasi sejak puluhan tahun silam.
Jauh sebelum itu, ketiga kota tersebut telah lebih dulu membuat kebijakan peralihan dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum. Saat ini Korea Selatan bahkan berani mengklaim negaranya sebagai surga angkutan umum. Begitu juga dengan Jepang dan Taiwan. Integrasi transportasi umum membuat tingkat kemacetan di negara ini terhitung rendah. Dalam website tomtom.com per 12 Mei 2023, dari lima kota besar di Taiwan hanya Taichung City saja yang menempati peringkat 20 besar kota termacet, tepatnya di peringkat 17. Sementara itu di Jepang, hanya kota Sapporo saja yang masih masuk ke dalam 10 besar kota termacet di dunia.
Subsidi kendaraan listrik merupakan langkah kedua setelah program integrasi angkutan umum berhasil dituntaskan. Itupun masih melewati fase jatuh bangun. Indonesia bisa belajar dari pil pahit yang harus ditelan Taiwan dalam menerapkan kebijakan subsidi EV. Antara tahun 1998 hingga 2002, EPA Taiwan menghabiskan dana USD $60 juta untuk subsidi skuter listrik. Namun ketika subsidi dicabut, penetrasi pasar EV domestik berjalan lambat karena kurangnya kepercayaan konsumen terhadap keandalan baterai, serta infrastruktur pengisian daya yang tidak memadai. Akhirnya di tahun 2009 diperkirakan hanya 12 ribu skuter listrik yang digunakan, dari hampir 22 juta kendaran bermotor yang terdaftar di Taiwan.
Sebagai solusi, pemerintah Taiwan mendorong pembangunan stasiun pengisian baterai yang terus diperpanjang hingga 2026, beriringan dengan subsidi skuter listrik. Targetnya adalah peralihan 100% ke skuter listrik di tahun 2040.
Yang juga menarik untuk dipelajari adalah negara Cina. Pemerintahnya menangguk peningkatan signifikan penggunaan skuter listrik sejak penerapan kebijakan subsidi tahun 2010. Pasar skuter listrik Cina tumbuh 11 persen per tahun, mencapai 31,6 juta kendaraan di tahun 2014. Pertumbuhan tersebut hampir tiga kali lipat dari sepeda motor berbahan bakar bensin. Fakta tersebut diduga justru karena celah kebijakan yang dibuat pemerintah Cina. Saat itu, hampir setiap kota besar di Cina telah melarang penggunaan sepeda motor berbahan bakar bensin. Namun, skuter listrik masih diklasifikasikan sebagai transportasi tidak bermotor. Karena itu pemilik skuter listrik terbebas dari aturan terkait sepeda motor termasuk aturan perpajakan.
Karena pertumbuhan EV yang signifikan, pemerintah Cina akhirnya menghentikan subsidi EV per 1 Januari 2023 dan menggantinya dengan penerapan insentif pajak. Para pembeli EV akan mendapatkan pembebasan pajak pembelian sebesar 10% hingga tahun akhir 2023. Provinsi Hainan bahkan mengusulkan larangan total penjualan kendaraan berbahan bakar bensin di tahun 2030.
Penutup
George Edward III dalam Widodo (2010:96) menyebutkan empat faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan publik, pertama faktor komunikasi, kemudian sumberdaya, disposisi dan terakhir struktur birokrasi. Koherensi narasi kebijakan menjadi penguat keempat elemen tersebut.
Komunikasi internal dan eksternal akan berjalan lancar jika pesan yang disampaikan koheren. Penggunaan sumberdaya juga akan efisien jika fokus pada tujuan utama yang tidak ambigu. Disposisi berupa karakter implementator kebijakan juga harus kongruen satu sama lain agar implementasi kebijakan berjalan lancar. Lalu, koherensi narasi mampu menghasilkan struktur birokrasi yang efektif dan profesional sesuai bidang kerjanya.
Dalam bahasa awam, koherensi narasi ini merupakan keselarasan antara perkataan dan tindakan, antara perencanaan dan implementasi. Apalagi permasalahan lingkungan hidup dan perubahan iklim sudah tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Meski tidak mengalami gelombang panas, tapi Indonesia telah merasakan hawa panas yang terus bertahan di bulan-bulan ini. Ancaman kekeringan, gagal panen, penyakit akibat polusi udara dan kerugian ekonomi akibat macet mengintai kita.
Karena itu sudah semestinya sebuah kebijakan publik memberi porsi seimbang terhadap pertimbangan ekonomi dan lingkungan hidup. Karena bukan hanya sejumlah besar uang pajak rakyat yang dipertaruhkan di sana, tetapi juga keberlangsungan hidup masyarakat di tengah ancaman perubahan iklim.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.