Penerapan Filsafat Bahasa dalam Berbahasa Sehari-hari
Sastra | 2023-05-11 14:44:39Dewasa ini, khususnya bagi kami yang sedang menempuh pendidikan strata satu atau sarjana tentu selalu dihadapkan dengan berbagai motif berbahasa yang beragam. Motif berbahasa tersebut muncul karena adanya interaksi antarsesama baik mahasiswa dengan mahasiswa, mahasiswa dengan dosen, mahasiswa dengan staff atau civitas akademika. Oleh karena itu, berbahasa menjadi sangat menarik dan patut digali asal usul penggunaannya.
Bahasa merupakan sebuah sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer atau mana suka dan konvensional, yakni buah dari kesepakatan suatu kelompok. Antara bahasa dan filsafat erat kaitannya dalam pencapaian keberagaman berbahasa. Seperti contoh, mengapa penyebutan warna hijau dimasing-masing wilayah itu berbeda-beda? Atau mengapa ada penyebutan yang sama namun berbeda maknanya? Kasus tersebut tentu sangat menarik bagi seorang filsuf untuk membedahnya dengan teori filsafat bahasa sebagai pisaunya.
Langeveld (1959), mengatakan bahwa jika menginginkan belajar berfilsafat, mulailah berfilsafat, ialah memikirkan segala hal secara mendalam. Maksud berpikir mendalam di sini adalah berpikir yang tidak terbatas pada asumsi-asumsi ilmu pengetahuan yang mendasarinya, tetapi sampai pada konsekuensi-konsekuensinya yang terakhir. Immanuel Kant juga menyebutkan bahwa yang datang kepadanya bukanlah untuk belajar filsafat, melainkan belajar berfilsafat. Hal ini dapat menjadi acuan bahwa tidak semua manusia berfilsafat meskipun mereka berpikir. Namun siapa pun dapat berfilsafat asalkan berminat dan memiliki kecerdasan yang cukup untuk mendalami sesuatu hal dalam upaya menggali kemampuan berpikir.
Berangkat dari kasus di atas bahwa setiap orang secara sadar maupun tidak sadar dalam berinteraksi di kehidupan sehari-hari telah menerapkan filsafat bahasanya. Seperti penyebutan warna di berbagai lapisan masyarakat tentu sangatlah beragam bahasanya. Warna hijau dalam bahasa Indonesia yaitu hijau, dalam bahasa sunda yaitu hejo, dalam bahasa inggris yaitu green dan masih banyak lagi penyebutan lainnya tergantung pada konvensional wilayah tertentu.
Penerapan filsafat bahasa juga dapat dicapai dengan meninjau bahasa yang digunakan masyarakat sekitar dalam berbagai aspek. Kurangnya pengetahuan dapat menyebabkan kesalahpahaman arti atau makna dari ujaran bahasa tersebut. Sebagaimana bahasa yang mempunyai penyebutan yang sama namun berbeda maknanya, seperti kata amis dalam bahasa Indonesia mempunyai makna bau yang tidak sedap atau bau amis sedangkan kata amis dalam bahasa sunda mempunyai makna rasa yang manis. Penyebutan kata gedang dalam bahasa Jawa bermakna buah pisang, sedangkan kata gedang dalam bahasa Sunda bermakna buah papaya.
Suatu pemikiran yang mendalam dan jernih terkait suatu aspek sangat mungkin mencapai kebenaran tertinggi, bahkan lebih tinggi dari pengukuran di lapangan. Namun, dalam filsafat bahasa kebenaran yang hakiki itu bersifat subjektif yakni tergantung pada sudut pandang masing-masing. Tidak untuk dijadikan perbedaan atau perlawanan dalam penerapannya. Lebih kepada mengetahui indahnya berfilsafat dan mudahnya berinteraksi dengan sesama di berbagai pelosok daerah. Sebab filsafat bahasa adalah menikmati bahasa sebagai ilmu pengetahuan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.