Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Adhyatnika Geusan Ulun

Selalu Ada Solusi Bagi Anak Putus Sekolah

Edukasi | 2023-05-11 09:36:09
Guru Bahasa Inggris SMPN 2 Tayu Kab. Pati Jawa Tengah. (istimewa)

Oleh: Dian Savitri, S.Pd
(Guru Bahasa Inggris SMPN 2 Tayu Kab. Pati Jawa Tengah)

Menghadapi siswa malas mungkin sudah menjadi santapan hampir semua guru. Mulai dari malas mengerjakan pekerjaan rumah, malas berkegiatan di sekolah, bahkan malas masuk sekolah. Poin terakhir adalah masalah yang cukup mengganggu. Bagaimana tidak, penulis sendiri merasakan kebingungan luar biasa ketika ada siswa yang sering tidak masuk dan bisa sampai berhari-hari tanpa alasan yang jelas. Kunjungan ke rumah siswa menjadi jalan yang sering ditempuh. Jadi, bagaimana cara mengatasi siswa seperti itu?

Tidak dipungkiri banyak faktor yang memengaruhi sifat malas pada siswa. Pertama, lingkungan tempat tinggal. Keluarga memegang peranan penting pada tumbuh kembang anak. Ketika dukungan penuh diberikan untuk bersekolah, tentunya anak memiliki motivasi dalam diri untuk belajar. Sebaliknya, jika orang tua tidak terlalu mendukung anak sekolah, seperti misalnya pemikiran, ‘untuk apa anak perempuan sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya masuk dapur juga’, otomatis anak pun berpikiran sama. Sering ditemukan orang tua yang meminta anak untuk membantu di kebun, mengantar ke pasar, atau menjaga adik ketimbang pergi ke sekolah.

Faktor ke dua, lingkungan sekolah. Sudahkah anak merasa nyaman di sekolah? Indikator nyaman bukan berarti harus merasakan fasilitas lengkap. Aktivitas monoton di sekolah dapat memicu kebosanan anak sehingga dia berpikir untuk membolos daripada berada di dalam lingkungan sekolah. Tidak sedikit siswa yang pergi ke sekolah, nyatanya tidak sampai di sekolah.

Bagaimana dengan anak yang tidak ingin melanjutkan sekolah? Setamat SMP mereka memilih bekerja. Baik anak laki-laki maupun perempuan, lebih memilih tidak melanjutkan sekolah. Apa yang mereka kerjakan? Menjadi asisten rumah tangga, ikut saudara di proyek bangunan. Menurut saya tidak ada yang salah dengan keputusan tersebut. Kembali pada dukungan keluarga, itu pun bukan murni kesalahan mereka. Tentu jika Anda mengetahui atau menghadapi hal seperti ini, penulis yakin konseling akan dilakukan kepada mereka. Namun masih saja ada anak yang tidak tertarik sekolah. Bukan tidak mungkin mereka kembali bersekolah setelah lama vakum di dunia kerja.

Inilah perlunya mengenalkan berbagai macam keterampilan kepada anak sejak dini. Fungsinya adalah agar mereka memiliki daya saing tinggi. Di sisi lain juga sangat bermanfaat bagi anak yang sisi kognitifnya tidak cukup baik. Bukankah tidak ada anak bodoh di dunia ini? Setiap anak memiliki kelebihan masing-masing. Contoh sederhananya, seorang anak memilih tidak bersekolah dan bekerja sebagai tukang bangunan. Nah, bagaimana caranya agar ia menjadi seorang tukang bangunan yang berbeda dari orang lain? Misalnya ia mampu memasang paving block lebih cepat dari yang lain dengan akurasi dan presisi yang sesuai, tidak miring dan bergelombang. Penulis ungkapkan demikian karena profesi ini nyata, dan memiliki standar upah yang tinggi.

Kemudian bagi siswa putus sekolah yang benar-benar tidak mau menempuh pendidikan formal, pemerintah perlu hadir, misalnya melalui Balai Latihan Kerja (BLK). Penulis katakan tidak mau bersekolah formal adalah bagi mereka yang tidak memahami pentingnya pendidikan. Berapa kalipun guru memotivasi dan berdiskusi dengan orang tua, tetap saja mereka tidak mengacuhkan. Nah, BLK sangat mungkin dilaksanakan di kecamatan atau desa ketika jarak ke ibukota kabupaten terlampau jauh. Di sini, akan ada banyak tenaga muda terampil yang dapat dilatih. Bukan tidak mungkin mereka bisa membuka lapangan kerja bagi orang lain.

Menurut hemat penulis, mengintegrasikan keterampilan di dalam setiap mata pelajaran merupakan poin penting di era ini. Guru bisa memotivasi dan mengarahkan siswa untuk menjadi seperti apa, namun jalan kehidupan tetap ada pada genggaman mereka sendiri. Namun, bukan berarti kita lepas tangan terhadap masa depan penerus bangsa. Selalu ada solusi untuk setiap masalah, dan pendidikan non-formal pun layak diperhitungkan.***

Profil Penulis

Dian Savitri, guru Bahasa Inggris SMPN 2 Tayu Kab. Pati Jawa Tengah sejak 2022. Lahir di Kudus. Dari 2017 hingga 2022 ditugaskan sebagai Guru Bahasa Inggris di SMPN 5 Cipongkor Bandung Barat. Pernah berkelana ke Ende, Nusa Tenggara Timur sebagai guru Bahasa Inggris (juga) di SMKN 6 Ende. Peran reporter kampus pun pernah dilakoni ketika masih berstatus mahasiswa, dan beberapa kali mengirim liputan kegiatan ke Harian Kompas. Penerjemah (freelance) sejak 2015 sampai sekarang.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image