Strategic Command Center (SCC): Pengawasan Distribusi BBM Subsidi Tepat Sasaran
Politik | 2023-05-10 17:59:54Proposal pemerintah dalam melakukan pengurangan kuota subsidi sudah menjadi diskursus publik sejak beberapa tahun ini. Pemerintah menganggap bahwa pemberian kuota subsidi di Indonesia terlalu tinggi bahkan di tahun 2022 anggaran subsidi dan kompensasi Bahan Bakar Minyak (BBM) mencapai 3 kali lipat lebih besar dari tahun sebelumnya yakni dari Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun yang mana adanya kenaikan ini dikarenakan banyaknya kuota subsidi yang tidak tepat sasaran di dalam pengaplikasiannya. Pasca dikeluarkannya kebijakan kebijakan pengurangan kuota subsidi, kenaikan BBM-pun terjadi pada akhir September 2022 lalu, dan mengakibatkan instabilitas sosial di kalangan Masyarakat. Hal ini dikonfirmasi oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, bahwa adanya kenaikan BBM tahun ini didasari pada proposal pemerintah dalam melakukan pengurangan kuota subsidi secara besar dengan tujuan untuk mengantisipasi adanya kebocoran subsidi yang tidak tepat sasaran. Penulis sendiri mengapresiasi adanya kebijakan pengurangan kuota subsidi yang dilakukan oleh pemerintah pasalnya subsidi yang terlalu tinggi dapat berpotensi menciptakan inflasi dan menciptakan krisis nasional, akan tetapi kebijakan pengurangan kuota subsidi dengan tujuan meminimalisasi distribusi BBM subsidi yang tidak tepat sasaran, dianggap salah alamat pasalnya masalah distribusi subsidi BBM yang terjadi sekarang ini adalah permasalahan holistik yang harus dianalisis dari berbagai macam aspek dan tidak hanya bisa diselesaikan dengan hanya melakukan pengurangan kuota subsidi saja. Ditambah lagi adanya pengurangan kuota subsidi tanpa menyelesaikan permasalahan distribusi subsidi tentunya akan memberi dampak yang buruk bagi perekonomian baik secara makro maupun mikro. Pada sisi Mikro, adanya pengurangan subsidi tentunya akan menimbulkan trickle down effect bagi seluruh sektor yang berkaitan langsung dengan kebutuhan masyarakat, misalnya kebutuhan pangan yang juga mengalami kenaikan harga tentunya berpotensi mematikan usaha kecil dan menengah. Pada sisi makro, pengurangan kuota subsidi yang tidak dibarengi dengan perbaikan target penyaluran BBM yang tepat akan melahirkan fenomena generous transfers of taxpayer money to the rich sehingga terjadi inefisiensi penggunaan anggaran yang mana ini sama saja menyelesaikan permasalahan dengan tidak tepat sasaran. Oleh karena itulah perlu adanya analisis yang lebih tepat dalam mengkaji permasalahan distribusi subsidi yang tidak tepat sasaran dibandingkan langsung memotong kuota subsidi itu sendiri.
Permasalahan terbesar Distribusi BBM di Indonesia secara garis besar diakibatkan oleh dua aspek yakni pengawasan yang tidak terintegrasi dan penyelewengan administrasi. Adapun permasalahan-permasalahan tersebut yakni, Pertama Panjangnya Birokrasi Administratif yang berpotensi menciptakan Praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Menurut Mohtar Mas’oed dalam kajian politiknya menjelaskan bahwa birokrasi, kekuasaan, dan korupsi tidak terpisahkan satu sama lainnya. Dengan kata lain, birokrasi yang panjang tentunya berpotensi untuk membuat ruang praktik KKN yang besar. Apabila dikaitkan dengan birokrasi distribusi BBM Bersubsidi, ditinjau dari Instrumen pengendali yang dikeluarkan pemerintah memiliki rantai proses penerbitan yang panjang dan berpotensi menciptakan penyelewengan kekuasaan contohnya, Surat Rekomendasi yang diterbitkan oleh perangkat daerah yang dapat praktiknya sering diselewengkan, bukti nyatanya sebagaimana terjadi pada kasus korupsi di Kabupaten Jembrana, Bali yang telah diputus oleh Pengadilan Tinggi Denpasar dengan nomor 25/Pid.Sus.TPK/2014/PN.DPS. Dalam kasus ini, Kepala Disperindagkop Jembrana memberikan persetujuan untuk menerbitkan rekomendasi kepada Usaha Dagang skala besar yang padahal bukanlah penerima subsidi. Kedua, pegawai SPBU yang melakukan penyelewengan dengan menyalurkan BBM bersubsidi kepada masyarakat yang tidak berhak maupun penyaluran dengan volume yang melewati batas terhadap pelaku usaha tertentu. Ketiga, longgarnya pengawasan oleh BPH Migas. Pendekatan pengawasan oleh BPH migas masih menggunakan paradigma administratvie monitoring yang menekankan pada pemeriksaan berkas dan laporan data, bukan pengawasan aktual di lapangan. Keempat, Pelaporan data subsidi yang masih problematik, pasalnya data penyebaran BBM Subsidi di Indonesia pada tahun tertulis, masih menggunakan laporan data pada tahun sebelumnya untuk menentukan anggaran dan kuota subsidi tahun depan, padahal data tersebut adalah gabungan dengan data seluruh distribusi yang tidak tepat sasaran, sehingga alokasi subsidi pada tahun berikutnya mengalami pembengkakan bahkan di tahun 2022 mencapai 23%. Analisis di atas menunjukkan bahwa banyaknya permasalahan distribusi subsidi yang tidak tepat sasaran kebanyakan dikarenakan sistem pelaporan dan sistem pengawasan yang kurang sistematis, oleh karena itu perlu adanya pelaporan dengan memanfaatkan sistem digital agar pelaporan lebih akurat dalam melakukan pengawasan penyaluran BBM Bersubsidi.
Strategic Command Center Adalah sebuah sistem terpadu yang dapat melakukan pengawasan terhadap kinerja lapangan sebuah perusahaan dengan mengoptimalkan pelaporan yang sistematis dan kredibel. Adapun inovasi SCC sendiri berfokus pada agregasi data faktual dan aktual untuk menunjukkan adanya pendistribusian data yang real time. Mulai dari transaksi pembelian, jumlah pembelian, dan subsidi yang telah diterima akan tercatat oleh sistem tersebut. Apabila diaplikasikan pada sistem distribusi BBM Bersubsidi adanya sistem ini tentu akan membantu pelaporan penyaluran BBM bersubsidi secara faktual dan aktual, Dengan demikian, melalui sistem ini akan terwujud skema pengawasan yang mempermudah evaluasi distribusi subsidi secara berkala yang nantinya bisa menjadi acuan terhadap validitas data distribusi BBM Bersubsidi Nasional . Lebih lanjut, adanya SCC juga akan berdampak positif dari segi pengawasan distribusi BBM Bersubsidi, sebab pemerintah pusat bisa menentukan dan memantau langsung konsumen mana yang layak dan akan diberikan subsidi melalui sistem. Implikasinya, skema ini berjalan secara objektif dapat mengeliminasi mafia-mafia BBM subsidi tanpa berpengaruh pada kuota BBM Bersubsidi. Di sisi lain, pemerintah pusat tidak lagi bergantung pada data dari operator lapangan yang memberikan konsekuensi terjadinya human error, terbukanya celah KKN, dan kesalahan pencatatan data manual. Secara sederhana, SCC membangun suatu birokrasi pengawasan ramping, tidak melibatkan banyak pihak, dan akuntabel karena diolah secara digital. Meninjau banyak manfaat dari adanya skema ini sudah sebaiknya pengembangan SCC harus diaplikasikan secara menyeluruh di Indonesia demi mengantisipasi banyaknya penyelewengan administratif dan menjamin distribusi BBM Bersubsidi tepat sasaran. Sehingga penyelesaian permasalahan subsidi yang tidak tepat sasaran akan diselesaikan lebih cepat dengan skema ini tanpa terburu-buru mengurangi kuota BBM Bersubsidi. Sejauh ini penerapan SCC sendiri di Indonesia masih cukup minim bahkan hanya ada di Kilang Cilacap, pasalnya pemerintah masih melakukan test drive untuk memastikan keberadaan SCC dalam segi geopolitik dan geo sosial di Indonesia. Namun dengan adanya prospek SCC yang sangat berdampak bagi sistem pengawasan distribusi BBM Bersubsidi tentunya mengoptimalkan sistem ini akan sangat berdampak positif bagi Indonesia di kemudian hari.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.