Fast Fashion: Takut Ketinggalan Tren Sampai Melupakan Efeknya
Gaya Hidup | 2023-05-06 15:10:45Apakah Anda familiar dengan istilah fast fashion?
Hadirnya mode atau tren pakaian yang berselang-seling tidak lepas dari kebiasaan konsumtif yang berkembang di kalangan masyarakat. Tren tersebut diakomodasi oleh produsen garmen ternama yang berkompetisi dalam memproduksi pakaian musiman terbaiknya. Akan tetapi, masyarakat tampaknya belum menyadari terkait efek yang ditimbulkan dari fenomena fast fashion ini.
Fast fashion adalah model atau produk bisnis industri garmen yang berkualitas rendah, diproduksi dengan cepat dan murah agar mudah disirkulasikan di pasar. Istilah fast fashion pertama kali diperkenalkan oleh New York Times pada awal 1990-an untuk menggambarkan misi brand pakaian Spanyol, Zara yang hanya membutuhkan 15 hari dalam mendesain dan memproses pakaian hingga siap dijual di toko. Fenomena tersebut disebabkan oleh permintaan yang tinggi akibat perubahan tren pakaian yang sangat cepat diiringi pola konsumtif konsumen.
Industri fast fashion berfokus dalam menghasilkan produk pakaian dengan biaya serendah mungkin, tetapi tetap merauk omzet yang tinggi. Karena industri tersebut lebih memprioritaskan kuantitas dibandingkan kualitas, hal itu membuat produknya rentan mengalami kerusakan, bahkan hanya dengan pemakaian beberapa kali. Selain itu, ada beberapa ciri-ciri industri fast fashion menurut Tokatli (Dikutip dari jurnal yang ditulis Chanifathin Nidia dan Ratna Suhartini dari Universitas Negeri Surabaya):
- Berusaha memasarkan produk di pasar dengan segera sehingga meningkatkan jumlah pengecer/ritel dan lebih merengkuh banyak pelanggan.
- Ada kepentingan untuk menghubungkan permintaan konsumen dengan operasi hulu desain, pengadaan, produksi dan distribusi
- Memerlukan siklus pengembangan pendek, prototyping cepat, dari banyak variasi sehingga pelanggan ditawarkan model terbaru dalam jumlah terbatas, dan
- Rantai pasokan yang amat cepat dan responsif
Sistem produksi yang cepat dan murah membuat konsumen, produsen, hingga pekerja industri melupakan efek yang ditimbulkan dari fenomena fast fashion. Bagi konsumen, fenomena tersebut tentunya akan menimbulkan sifat boros dan konsumtif karena merasa tidak puas dan takut ketinggalan tren. fenomena ini juga menimbulkan budaya over-working pada produsen dan pekerja industri akibat permintaan dan tenggat waktu yang singkat. Selain itu, tanpa kita sadari, efeknya juga berhubungan langsung dengan kerusakan lingkungan. Hal tersebut dibuktikan dengan data yang didapat Direktur Asosiasi Daur Ulang Tekstil Inggris, Alan Wheeler. Menurutnya, industri pakaian telah berperan sebagai penyumbang polusi terbesar kedua di dunia dan sebanyak 1,2 miliar ton emisi gas rumah kaca dihasilkan oleh industri tekstil di dunia. Di Indonesia, berdasarkan data yang ditemukan oleh Co-Founder dari Our Reworked World, Annika Rachmat, sebanyak 33 juta ton tekstil yang diproduksi di Indonesia, satu juta ton di antaranya menjadi limbah tekstil.
Melihat banyaknya efek buruk yang ditimbulkan dari fast fashion, diperlukan sinergisme antara produsen garmen dengan masyarakat untuk bekerja sama menanggulangi efek tersebut. Dari sisi produsen, cara yang dinilai efektif yaitu dengan mengimplementasikan ethical fashion dan sustainable fashion untuk menekan laju perkembangan fast fashion. Ethical fashion adalah sikap etis suatu perusahaan atau industri garmen terhadap para pekerja dan perusahaannya dalam memproduksi tanpa memengaruhi keseimbangan lingkungan. Sementara itu, sustainable fashion adalah praktik moralitas berkelanjutan bagi industri garmen untuk memberikan dampak baik terhadap bumi dan lingkungan selain memperoleh profit.
Masyarakat sebagai konsumen juga perlu berpartisipasi dalam menekan efek buruk fast fashion. Mereka sebaiknya lebih selektif dalam memilih pakaian yang berkualitas, membiasakan untuk membeli pakaian preloved atau mendaur ulang, dan lebih mahir dalam memadupadankan pakaian lama. Mengenai pakaian preloved, generasi muda juga telah mempopulerkan thrifting atau membeli barang bekas pakai dengan kualitas baik sebagai solusi untuk mengakses barang berkualitas dengan harga terjangkau. Selain thrift shop, saat ini juga terdapat flea market dengan konsep serupa dan cakupan produk yang lebih luas.
Industri fast fashion menjadi salah satu industri yang terlibat dalam memberikan efek negatif pada isu sosial dan lingkungan. Mulai dari sifat konsumtif masyarakat, budaya over-working, hingga penggunaan sumber daya alam secara berlebih. Oleh sebab itu, sudah sewajarnya kita segera mengambil langkah untuk mengurangi efek tersebut, bukan malah melupakannya. Namun, apakah kita memang melupakannya atau hanya pura-pura lupa?
Referensi:
- Fitinline. (2022). “Fenomena Fast Fashion, Dampak yang Ditimbulkan dan Cara Mengatasinya”. https://fitinline.com/article/read/fenomena-fast-fashion-dampak-yang-ditimbulkan-dan-cara-mengatasinya/
- Gemawan. (2022). “Apa sih Fast Fashion?” https://gemawan.org/apa-sih-fast-fashion/
- Ramadani. (2022). “Fast Fashion Waste, Limbah yang Terlupakan”. https://www.its.ac.id/news/2022/11/02/fast-fashion-waste-limbah-yang-terlupakan/
- Dewi, R.K. (2022). “Mengenal Fenomena Fast Fashion, Ciri-Ciri dan Dampaknya”. https://www.kompas.com/tren/read/2022/09/15/113000165/mengenal-fenomena-fast-fashion-ciri-ciri-dan-dampaknya?page=all
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.