Review Novel di Bawah Lindungan Kabah, Buya Hamka
Sastra | 2023-05-05 15:18:51Di Bawah Lindungan Ka’bah adalah novel yang disebut juga sebagai karya sastra klasik Indonesia. Novel ini ditulis oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih populer dengan nama pena Hamka. Novel Di Bawah Lindungan Ka’bah pertama kali diterbitkan pada tahun 1938 oleh penerbit nasional Hindia Belanda, Balai Pustaka. Novel ini mengisahkan tentang kisah cinta dua sejoli yang gagal, karena terbentur budaya masyarakat Minang.
Kedua sejoli itu adalah Hamid dan Zainab, dua orang yang saling mencintai, tetapi tidak bisa bersatu akibat perbedaan latar belakang keluarga dan derajat ekonomi. Perasaan cinta mereka terus disimpan di dalam hati masing-masing dan tak pernah terungkapkan. Ketidakberdayaan Hamid untuk mengungkapkan perasaannya semakin memberatkan perasaan dan hati Hamid saat Mak Asiah, Ibu dari Zainab, meminta dirinya untuk membujuk Zainab supaya mau menikah dengan laki-laki pilihan keluarga. Untuk mengobati luka hatinya, Hamid akhirnya memutuskan pergi dari Padang menuju ke Mekah. Hamid ingin memohon perlindungan kepada Allah SWT dengan terus beribadah di hadapan Ka’bah.
Kisah Di Bawah Lindungan Ka’bah telah diadaptasi menjadi film layar lebar sebanyak dua kali. Pertama, film yang disutradarai oleh Asrul Sani dan dibintangi oleh penyanyi dangdut Camelia Malik sebagai Zainab, dirilis pada tahun 1977 dengan judul Para Perintis Kemerdekaan. Adaptasi film ini menggambarkan perjuangan dua tokoh yang saling mencinta dengan latar belakang perjuangan menghadapi kekuatan kolonial Belanda. Film ini berhasil meraih kesuksesan dengan memenangi dua Piala Citra dari total enam nominasi pada Festival Film Indonesia 1977.
Film adaptasi kedua disutradarai oleh Hanny R. Saputra dan dibintangi oleh Herjunot Ali sebagai Hamid dan Laudya Cynthia Bella sebagai Zainab. Film ini dirilis dengan judul Di Bawah Lindungan Ka’bah pada tahun 2011. Adaptasi ini fokus pada kisah cinta Hamid dan Zainab. Film ini sempat diajukan untuk mewakili Indonesia pada Academy Awards ke-84 untuk nominasi Film Berbahasa Asing Terbaik, tetapi tak berhasil masuk nominasi akhir.
Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo atau yang populer dengan nama penanya Hamka, lahir di di Tanah Sirah, wilayah Nagari Sungai Batang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, pada 17 Februari 1908. Hamka adalah seorang ulama sekaligus sastrawan Indonesia. Hamka berprofesi sebagai penulis, wartawan, dan juga pengajar.
Hamka adalah anak pertama dari empat bersaudara, daru pasangan Safiyah dan Abdul Karim Amrullah “Haji Rasul”. Adik-adik Hamka, yaitu Abdul Mu’thi, Asma, dan Abdul Kuddus. Safiyah diketahui merupakan adik dari istri pertama Haji Rasul yang bernama Raihana. Ia menikahi Safiyah setelah istri pertamanya meninggal di Mekkah. Raihana memberi Hamka seorang kakak tiri yang bernama Fatimah, yang kemudian menikah dengan Syekh Ahmad Rasyid Sutan Mansur.
Hubungan Haji Rasul dan Safiyah tidak bertahan selamanya. Sang ayah kemudian menikah dengan Rafi’ah dan memberi Hamka seorang adik tiri bernama Abdul Bari. Ia kemudian kembali ke tanah Minangkabau setelah selesai belajar kepada Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Haji Rasul menjadi pemimpin gelombang pembaruan Islam dan menentang tradisi adat dan amalan tarekat, meskipun ayahnya sendiri, Muhammad Amrullah merupakan seorang pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah. Istri Amrullah, nenek Hamka, bernama Sitti Tarsawa. Ia adalah seorang yang mengajar nyanyi, menari, dan pencak silat.
Di Maninjau, Hamka kecil tinggal bersama neneknya. Semasa kecilnya, ia suka mendengarkan pantun-pantun yang merekam keindahan alam Minangkabau. Sang ayah sering bepergian untuk berdakwah di daerah lain. Ketika berusia empat tahun, Hamka mengikuti orang tuanya untuk pindah ke Padang Panjang. Di sana ia belajar membaca Al-Quran dan bacaan shalat yang dibimbing oleh Fatimah, kakak tirinya.
Memasuki usia yang ke tujuh tahun, Hamka masuk ke Sekolah Desa. Pada tahun 1916, Zainuddin Labay El Yunusy membangun sekolah agama yang bernama Diniyah School. Sekolah itu menggantikan sistem pendidikan tradisional berbasis surau. Sembari mengikuti pelajaran setiap pagi di Sekolah Desa, Hamka mengambil kelas sore di Diniyah School. Ketertarikannya di bidang bahasa membuat Hamka cepat sekali menguasai bahasa Arab.
Pada tahun 1918, Hamka berhenti dari Sekolah Desa setelah selesai masa tiga tahun belajar. Oleh karena ingin menekankan pendidikan agama, Haji Rasul kemudian memasukkan Hamka ke Thawalib. Sekolah itu mewajibkan murid-muridnya untuk bisa hafal ilmu saraf, kitab-kitab klasik, dan kaidah mengenai nahwu. Seusai belajar di Diniyah School setiap pagi, Hamka menghadiri kelas Thawalib di sore hari, lalu malamnya kembali ke surau.
Namun, sistem pembelajaran di Thawalib yang sangat mengandalkan hafalan, sehingga membuatnya jenuh. Kebanyakan murid Thawalib juga remaja yang usianya lebih tua dari Hamka, karena materi yang harus dihafalkan berat. Walaupun kegiatannya dari pagi hingga sore hari dipenuhi dengan belajar, Hamka kecil dikenal nakal. Ia kerap kali mengganggu teman-temannya kalau kemauannya tidak dituruti.
Di bawah bayangan nama besar ayahnya, Abdul Karim Amrullah, Hamka remaja suka melakukan perjalanan jauh sendirian. Ia pernah meninggalkan pendidikannya di Thawalib untuk melakukan perjalanan ke Jawa pada tahun 1924. Setelah setahun menjalani perantauannya, Hamka kembali ke Padang Panjang untuk membesarkan Muhammadiyah. Dengan kemampuan bahasa Arab yang dikuasainya, Hamka mendalami sejarah Islam dan bidang sastra secara otodidak.
Setelah kembali ke Tanah Air, Hamka merintis karir sebagai wartawan sembari bekerja sebagai guru agama di Deli. Setelah menikah, ia kemudian kembali ke Medan dan menerbitkan majalah Pedoman Masyarakat. Melalui karyanya yang berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, nama Hamka dikenal sebagai sastrawan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.