Katakan tidak pada Korupsi!
Gaya Hidup | 2023-05-04 15:01:14Apa yang terlintas dalam pikiran jika mendengar kata “korupsi”? Mencuri? Mengambil secara paksa dan bukan haknya? Memanipulasi keadaan supaya dapat keuntungan praktis? Konspirasi golongan dan kelompok tertentu memonopoli bisnis agar mendapatkan keuntungan berlipat-lipat tanpa memperhatikan nasib para pekerja? Belum jawab pertanyaan tersebut, munculah pertanyaan lain, “Apakah korupsi hanya melulu mengenai uang?” “Apakah hal-hal diluar uang seperti jabatan, hadiah, upeti, waktu, dan perlakuan yang tidak semestinya dapat dikatakan sebagai tindak koruptif?” Dan terakhir, “Mengapa manusia melakukan korupsi?”
Kata ‘korupsi’ berasal dari kata Latin corruptus yang berarti sesuatu yang rusak atau hancur. Dalam pemakaian sehari-hari dalam bahasa-bahasa modern Eropa, seperti bahasa Inggris, kata ‘korupsi’ dapat digunakan untuk menyebut kerusakan fisik seperti frasa ‘a corrupt manuscript (naskah yang rusak) dan dapat juga untuk menyebut kerusakan tingkah laku sehingga menyatakan pengertian tidak bermoral (immoral) atau tidak jujur atau tidak dapat dipercaya (dishonest). Selain itu ‘korupsi’ juga berarti tidak bersih (impure) seperti frasa corrupt air yang berarti impure air (udara tidak bersih).
Dalam Webster’s Third New International Dictionary, korupsi didefinisikan sebagai “ajakan (dari seorang pejabat publik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya untuk melakukan pelanggaran tugas.” Menurut Robert Klitgaard, korupsi meliputi tindakan berupa (1) memungut uang atas layanan yang sudah seharusnya diberikan, (2) menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah, dan (3) tidak melaksanakan tugas karena lalai atau lupa.
Dengan demikian, unsur pokok korupsi itu sesungguhnya tercermin dalam adanya (1) perbuatan menyimpang dari norma, (2) perbuatan itu menimbulkan kerugian kepada negara atau masyarakat meskipun tidak selalu berupa kerugian finansial, misalnya kerugian dalam bentuk buruknya pelayanan umum atau tidak berjalannya sistem hukum, (3) adanya penyalahgunaan wewenang. Korupsi ditandai oleh ciri-ciri berupa (1) adanya pengkhianatan kepercayaan, (2) keserbasrahasiaan, (3) mengandung penipuan terhadap badan publik atau masyarakat, (4) dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus, (5) diselubungi dengan bentuk-bentuk pengesahan hukum, (6) terpusatnya korupsi pada mereka yang menghendaki keputusan pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya.
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia mengalami penurunan skor dari 38 pada 2021 menjadi 34 pada 2022. Skor itu menempatkan Indonesia pada posisi 110 dari 180 negara yang dilakukan penilaian oleh Transparency International (TI). Indonesia adalah negara yang tingkat korupsinya besar dan tinggi, dan ini dapat membahayakan bagi kehidupan demokrasi dan ekonomi-sosial. Korupsi bagai sebuah momok yang akan terus menyerang dan menggerogoti tubuh bangs ini. Bagaimana korupsi bermula? Korupsi adalah Tindakan purba sama halnya seperti mencuri. Namun, kalau boleh nengok pada zaman Belanda, VOC hancur lebur tidak lain karena korupsi. Perdagangan pribadi atau perdagangan gelap adalah salah satu bentuk korupsi terbesar yang dilakukan VOC. Gubernur VOC seharusnya berdagang untuk disetor ke Belanda, tetapi malah untuk kepentingan dagang pribadi. Menurut sejarawan Ong Hok Ham, perdagangan pribadi atau perdagangan gelap atau biasa disebut morshandel “perdagangan kecil”. “Sebenernya tidak kecil, karena mereka memakai pelbagai fasilitas VOC seperti kapal, gudang, modal, koneksi, dan lainnya”.
Seiring meluasnya wilayah VOC, praktik korupsi semakin merajalela mulai dari menyunant uang kas VOC dan anggaran VOC sampai memeras penduduk. Membicarakan sejarah adalah membicarakan pengulangan masa lalu, termasuk korupsi di Indonesia dan dinamika yang melingkupinya. Peter Carey, dalam buku “Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia: dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi”, mengawali ulasan korupsinya dengan mengangkat pengalaman koruptif Patih Danurejo IV, yang kalap karena melimpahnya arus uang di Jawa dari penyewa tanah Eropa tahun 1816. Carey melihat masa itu sama dengan Orde Baru, ketika terjadi lonjakan harga minyak oleh OPEC tahun 1973, di mana korupsi malah melembaga.
Korupsi dan kekuasaan, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan “pintu masuk” bagi tindak korupsi. Inilah hakikat dari pernyataan Lord Acton, guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad ke-19. Dengan adagium-nya yang terkenal ia menyatakan: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely” (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut).
Praktik korupsi, tampaknya sudah membudaya dan bukan semata milik strata atas dalam jajaran pemerintahan. Berkaitan dengan persoalan ini, secara hierarki, korupsi dianggap sudah menjadi fenomena yang lekat mulai dari level instansi tingkat kelurahan, kabupaten/kotamadya hingga tingkat provinsi. Institusi pendidikan, Kesehatan, dan bahkan keagamaan pun tak luput dari tudingan melakukan praktik korupsi.
Gambaran buram tentang kekuasaan dikarenakan kita sering merujuk praktik kekuasaan yang digenggam oleh politisi busuk. Akan tetapi, adagium “kekuasaan itu cenderung korup” sebenarnya bisa ditepis ketika hadir kekuasaan yang amanah, adil clean government dan good governance dan demokratis serta memiliki visi dan komitmen yang jelas tentang. Kepemimpinan yang amanah adalah kepemimpinan yang mengedepankan keteladanan, transparansi dan akuntabilitas dalam memegang kekuasaan.
Kepemimpinan yang adil adalah kepemimpinan yang mengedepankan supremasi hukum dan memberlakukan hukum bagi semua pihak atas dasar rasa keadilan masyarakat tanpa sikap diskriminatif. Kepemimpinan yang demokratis adalah kepemimpinan yang partisipatif dan dalam konstelasi checks and balances antar unit-unit suprastruktur politik maupun infrastruktur politik.
Di sinilah urgensinya kita menghasilkan kepemimpinan baru yang memenuhi kriteria itu. Tanpa kepemimpinan baru yang kredibel, kapabel dan akseptabel, korupsi akan sulit untuk dibasmi. Bagaimana mungkin kita menyapu lantai dengan sapu yang kotor. Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elite pemerintahan menjadi faktor penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.