Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aulia Maharani

Pernikahan Dini Bukan Ajang Lomba Lari

Edukasi | Thursday, 04 May 2023, 11:55 WIB
Ilustrasi Pernikahan Dini (sumber:radarlampung.co.id)

Seperti yang kita tahu,baru-baru ini kita disuguhi dengan berita hangat, yaitu Siswa di Ponorogo meminta dispensasi menikah. Saya, sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran yang memilih program studi Kebidanan, merasa miris dengan hal tersebut. Ternyata,tidak cuma pelajar yang memohon dispensasi menikah, bahkan lulusan SMP yang memilih untuk tidak melanjutkan sekolah pun melakukan hal yang sama karena usia mereka belum memenuhi syarat untuk menikah. Usia minimal untuk menikah sudah diatur dan ditetapkan oleh pemerintah dalam undang-undang nomor 16 tahun 2019 atas perubahan undang-undang nomor 1 tahun 1974, usia minimal menikah adalah 19 tahun.

Menurut penjelasan dari Dinas Sosial Ponorogo,ada beberapa alasan anak di Ponorogo mengajukan dispensasi nikah,salah satunya karena telah hamil di luar nikah. Akan tetapi, ia membantah bahwa semua anak di Ponorogo beralasan seperti itu untuk mengajukan dispensasi menikah, Ada beberapa dari mereka yang memang ingin menikah dini dengan alasan sudah memiliki pacar, dan juga ada yang sudah tidak ingin bersekolah.

Pernikahan dini saat ini dinormalisasikan sebab, banyak perbedaan pendapat masyarakat tentang menikah di usia muda serta masih ada masyarakat yang mengikuti tradisi. Ada yang beranggapan hidup berumah tangga justru lebih menyenangkan serta ada orang tua yang khawatir hingga takut anaknya menjadi perawan tua dan tidak laku, seolah pernikahan adalah suatu ajang lomba lari. Dengan adanya orang tua yang berpendapat seperti itu,sebagian anak ingin menikah karena orang tuanya sendiri mendukung untuk melakukannya.

Hal ini yang membuat angka pernikahan dini di Indonesia semakin tinggi, dan juga siklus kemiskinan yang berkelanjutan semakin bertambah. Selain itu, anak perempuan yang menikah di usia dini akan kehilangan haknya sebagai seorang anak. Menikah di usia dini akan menyebabkan resiko kematian tinggi bagi ibu dan juga bayinya, dibandingkan dengan yang sudah cukup umur untuk menikah. Kemungkinan bayi yang dilahirkan oleh seorang ibu yang menikah dini akan sangat berpotensi mengalami hambatan pertumbuhan atau yang biasa kita dengar dengan sebutan stunting dan kurang gizi.

Pasangan yang menikah di usia dini belum siap untuk beradaptasi menghadapi segala permasalahan di masyarakat dan belum mandiri secara ekonomi serta membuat mereka tidak akan bisa hidup sejahtera. Kondisi psikologis seseorang yang menikah di usia dini belum stabil dalam mengasuh anak serta memberikan kasih sayang pada anak. Mereka akan mengalami kesulitan karena mereka masih di usia yang belum siap untuk memerankan peran sebagai ayah dan ibu secara optimal dan tidak mampu mengontrol diri, hingga akhirnya menyebabkan depresi, kecemasan serta yang paling buruk adalah keinginan untuk bunuh diri.

Dengan begitu banyaknya dampak dari pernikahan dini, sangat disayangkan jika masih banyak orang tua yang berpendapat bahwa menikahkan anaknya pada usia dini merupakan suatu tindakan yang tepat,dan merupakan jalar keluar untuk mengatasi sebuah kesulitan ekonomi. Seharusnya peran orang tualah yang sangat dibutuhkan untuk memberikan edukasi kepada anaknya,tentang bagaimana pergaulan yang baik,hingga masalah kesehatan reproduksi yang perlu diperhatikan agar anaknya tidak melakukan seks bebas yang menyebabkan kehamilan di luar nikah serta dapat terkena penyakit seks menular seperti HIV dan AIDS. Terakhir saya berharap,anak usia remaja lebih mementingkan pendidikan terlebih dahulu agar nantinya mereka bisa memiliki pengetahuan luas sebelum pada akhirnya menikah. Saya juga ingin,anak-anak perempuan di usia remaja,bisa lebih pintar memilih pergaulan, memperbanyak kegiatan positif serta tidak mudah hanyut dalam hal percintaan yang justu malah menyesatkan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image