Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Elma Dwi Aprilia

Nasib Selebritas di Tangan Netizen, Perlukah Cancel Culture?

Info Terkini | 2023-05-01 23:51:06
Sumber : The Canberra Times

Berselancar di media sosial mungkin sudah menjadi aktivitas yang tidak dapat ditinggalkan oleh sebagian orang di masa kini. Memantau lini masa media sosial sambil bercuap sebebas mungkin mengenai sesuatu atau seseorangpun sudah menjadi makanan sehari-hari netizen. Informasi yang sangat cepat tersebar di berbagai sosial media yang dapat dijangkau dengan mudah kerap kali mengundang perdebatan yang tidak bisa dihindari. Terkadang netizen beranggapan mengomentari dan mendebatkan sesuatu hal merupakan hal yang lumrah dan semata-mata hanya menunjukkan kebebasan berpendapat. Istilah cancel culture merupakan upaya kolektif yang dilakukan warganet atau netizen untuk mengenyahkan atau ‘memboikot’ individu, seringnya pada selebritas yang dalam tindakan atau perkataannya diduga menyalahi aturan secara moral. Namun, tidak menutup kemungkinan masyarakat biasa juga melakukan tindakan serupa.

Pernahkah selebritas yang anda idolakan terkena cancel oleh netizen? Pernahkah anda membaca ratusan bahkan ribuan celaan, opini kontra terhadap selebritas idola anda membanjiri kolom komentar pada sebuah media sosial yang anda ikuti? Sebagai penggemar, hal ini tentu membingungkan bagi anda dan sebagai manusia yang masih mengikuti aturan dan moral di kehidupan bermasyarakat, pasti cenderung ingin memboikot siapapun yang menyalahi aturan tersebut meskipun pelakunya adalah selebritas idola anda, dan meskipun belum ada klarifikasi yang jelas.

Seperti yang disebutkan dalam studi Saint-Louis (2021) “Understanding Cancel Culture: Normative and Unequal Sanctioning” mengatakan bahwa cancel culture telah menjadi fenomena menarik di platform virtual. Netizen tidak segan untuk mengucilkan individu yang melanggar norma di media sosial. Salah satu kasus yang pernah terjadi adalah tuduhan skandal kepada aktor yang berasal dari Negeri Gingseng, Korea Selatan, yaitu Kim Seon-ho yang dikabarkan memaksa mantan pacarnya untuk menggugurkan kandungannya. Netizen beramai-ramai melakukan tindakan cancel kepada Kim Seon-ho terlebih dahulu sebelum yang bersangkutan mengungkapkan fakta yang sebenarnya. Akibatnya meluas hingga mengancam karir sang aktor, tak lupa juga dengan fakta bahwa ia harus membayar penalti kepada sejumlah iklan yang telah kerja sama dengannya.

Sementara di Indonesia sendiri, ada contoh yang sangat jelas yaitu kasus yang terjadi pada selebriti bernama Saipul Jamil. Ia dijatuhi hukuman penjara selama 5 tahun lantaran terbukti telah mencabuli anak di bawah umur. Namun, polemik terjadi saat ia bebas dari penjara namun malah disambut dengan meriah oleh para penggemarnya dan dapat panggung di acara TV. Protes dari berbagai kalangan di media sosial pun tak dapat terhindarkan hingga puncaknya muncul sebuah petisi yang berisi boikot kehadirannya dalam berbagai acara TV. Cancel culture dapat dilihat dari dua sisi berbeda. Dari sisi postif sebagai sarana untuk membantu meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai suatu isu dan bisa juga sebagai pengungkapan suara-suara dari korban untuk menyuarakan keadilan. Dari sisi kedua, cancel culture dinilai lebih membahayakan karena tak jarang juga netizen hanya ikut meramaikan suatu postingan dengan melemparkan kalimat-kalimat perundungan dan memojokkan target. Akibatnya, sifat judgemental semakin kuat berada di dalam diri karena menilai perbuatan seseorang hanya dari suatu postingan di media sosial tanpa memastikan kebenarannya terlebih dahulu. Setelah meninjau dari kedua sisi, di sini kita dapat melihat bahwa cancel culture tetap akan ada dan bahkan mengakar kuat dalam lingkungan siber dan menjadi pisau bermata dua jika dikaitkan dengan kebebasan berpendapat dan bersuara di ranah dunia maya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image