Dalam Hal Memberi Jadilah Seperti Mentari yang tak Pernah Mengharap Kembali
Agama | 2023-05-01 21:49:37Dengan perasaan kesal, seorang perempuan meninggalkan pria yang dikasihinya. Dia meninggalkannya bukan karena sang kekasih tidak setia, namun ia kesal karena jawaban sang kekasih selalu sama atas alegori yang ia ungkapkan.
Suatu ketika di pagi hari yang cerah, sang perempuan bercengkrama dengan sang kekasih di sebuah taman bunga yang indah. “Jika aku menjadi bunga, kanda sayang akan jadi apa?”
“Aku akan menjadi matahari yang menyinari indahnya bunga nan harum,” jawab sang pria.
Sang perempuan nan cantik merasa heran dengan jawaban kekasihnya. Di hatinya mengapa ia tak menjawab ingin menjadi kumbang atau kupu-kupu yang biasanya mencium sarimadu bunga? Dengan penuh manja, ia berkata lagi, “Jika aku menjadi rembulan yang cahayanya menerangi gulitanya malam menjadi malam yang indah, kanda sayang akan jadi apa?”
“Aku akan menjadi matahari saja,” jawab sang pria.
“Kok, jadi matahari lagi jawabannya? Kanda sayang ingin meninggalkanku, kan? Bukankah matahari dan bulan tak akan bisa bertemu dan menyatu bukan ? Kata si perempuan.
Perdebatan dan pertengkaran kecil pun mulai muncul, namun masih dalam bingkai kemanjaan dan kemesraan. Mendengar celotehan dan jawaban yang mulai ketus dari sang pujaan hati sang pria hanya tersenyum saja.
Tak lama kemudian, sang perempuan melanjutkan kata-katanya dengan bayangan melayang ke angan-angan kisah dunia filsafat, mitos Yunani. “Jika aku menjadi kuda phoenix yang bisa terbang ke langit jauh di atas matahari, kanda ingin jadi apa?”
Sang pria menjawab dengan jawaban yang tetap, “Aku akan menjadi matahari saja,”
“Keinginanku sudah berubah tiga kali. Tapi jawaban kanda tetap saja ingin menjadi matahari. Apakah tidak ada kata-kata lain selain matahari?” Kata si perempuan yang kali ini benar-benar ketus, tak mau lagi memanggil kekasihnya dengan panggilan kanda sayang.
Entah merasa jengkel atau merasa ragu dengan kasih sayang sang pria pujaan hatinya, tanpa pamit, si perempuan tersebut meninggalkan sang pria sendirian di taman bunga yang indah. Sang pria duduk termenung sendiri sambil bergumam, “aku ingin menjadi matahari yang bersinar karena aku sangat mencintaimu, namun kamu belum memahami makna terdalam dari jawabanku.”
“Sekalipun kau tak disampingku, aku akan menjelaskan jawabanku. Siapa tahu angin atau burung akan menyampaikan alasan jawabanku kepadamu,” gumam si pria berimajiner
“Aku ingin menjadi matahari ketika kau ingin menjadi bunga, sebab aku ingin menyinarimu agar tumbuh, berkembang, dan kelihatan indah. Aku rela berkorban, sebab meskipun aku yang menyinari indahnya bunga, yang akan menikmati keindahan, sarimadu, dan harumnya bunga, belum tentu aku, namun sang kupu-kupu. Aku hanya mampu memandang dari kejauhan atas keindahan kupu-kupu yang menari-nari di atas bunga yang semakin cantik. Aku merelakan segalanya, meskipun aku tak merasakan belaian kecantikan dan keindahanmu. Aku memberimu segalanya tanpa harap kau membalas kebaikanku.”
Sang pria melanjutkan bincang imajiner dengan sang kekasih yang sudah tak ada disampingnya. “Seandainya kau memahami, “ Benar matahari selamanya tak akan bersatu dengan rembulan. Namun mesti kau ingat, bulan tak akan bercahaya jika tak ada matahari, sebab bulan tak memiliki cahaya. Karenanya aku ingin menjadi matahari yang selalu menyinari kehidupanmu, melengkapi kehidupanmu.”
“Aku rela berkorban memberikan cahaya untukmu yang menjadi bulan meskipun aku sendiri tak menikmati indahnya cahaya bulan, atau aku dilupakan, bahkan hilang kemuliaanku sebagai pemberi cahaya demi sang bulan tetap bercahaya.”
“Sebelum kau pergi dari sampingku, kau pernah berkhayal menjadi phoenix, kuda bersayap yang terbang di atas matahari, aku tetap ingin menjadi matahari agar sang phoenix dapat terbang bebas dengan penerangan cahaya sinar matahari. Aku rela bersinar demi terbang bebasnya sang phoenix, meskipun keberadaan sang phoenix bukan untukku, bahkan meninggalkanku. Cukup bagiku menjadi matahari, dan tidak akan pernah menyesal karena telah memberikan sinarnya kepada setiap orang, meskipun orang-orang membalasnya dengan beragam perilaku yang menyakitkan. Aku akan tetap setia, menjadi matahari yang bersinar.”
Kita hentikan alegori tersebut. Ibrah yang dapat kita raih dari kisah imajiner tersebut adalah sejatinya kita melakukan sesuatu apapun keluar dari hati terdalam nan tulus, tak mengharap balasan dari kebaikan yang kita lakukan. Ketulusan hati ini dalam ajaran Islam disebut ikhlas.
Marcus Aurelius, filosof stoikisme asal Yunani dalam salah satu karyanya, Meditations Books 1–6, Book 5, number 6 (Oxford University Press, 2013 : 31) membagi tiga tingkatan tipe perilaku orang yang memberikan bantuan kepada orang atau pihak lain. Pertama, orang yang memberi dengan harapan mendapatkan balas budi atas pemberiannya. Setelah memberikan bantuan, ia menagih balasan atas bantuan yang telah diberikannya.
Kedua, orang yang memberikan bantuan dengan anggapan seolah-olah orang yang dibantunya tersebut berhutang kepadanya, dan suatu saat harus membayarnya, minimal setimpal dengan bantuan yang telah ia terima darinya. Ketiga, orang yang memberi bantuan dengan hati nan tulus. Ia berusaha melupakan bantuan yang telah ia berikan kepada orang atau pihak lain, jangankan mengharapkan balasan, sekedar menceritakan bahwa ia telah memberikan bantuan kepada orang atau pihak lain ia enggan melakukannya. Prinsipnya, berikan, lupakan, dan jangan diceritakan kepada siapapun.
Tipe orang yang ketiga ini seperti matahari dalam alegori pada awal tulisan ini. Ia mampu memberi, dan tak berharap kembali. Ia pun tak mau mengungkit-ungkit pemberiannya kepada siapapun, sebab menceritakan pemberian yang telah ia tunaikan kepada orang lain bukan akan menambah kebaikan baginya, malahan bisa menjadi cibiran, dan hinaan baik bagi dirinya, maupun bagi penerima kebaikan darinya. Karenanya, prinsip orang ketiga ketika berbuat kebaikan, cukuplah dirinya dan Allah saja yang mengetahui perbuatannya.
Prinsip tipe orang yang ketiga ini tidak pernah memikirkan viralitas apalagi terkena “penyakit” FOMO (Fear of Missing Out), takut dianggap tidak ada di peredaran pergaulan, atau dianggap tak memiliki aktifitas yang mampu menaikkan statusnya di jagat maya. Bagi orang tipe ketiga ini sangat yakin, kebaikan apapun yang dilakukan sudah pasti akan meraih popularitas, jika tidak di dunia, setidaknya akan populer di langit atas. Tak perlu berlelah-lelah mengeluarkan keringat demi popularitas, apalagi sampai bertingkah aneh untuk meraihnya.
Ajaran Islam melarang memperlihatkan perbuatan baik demi popularitas. Demikian pula melarang mengungkit-ungkit pemberian yang telah ditunaikkan untuk membantu orang lain. Jika kedua hal ini dilakukan, bukan pahala yang akan kita peroleh, namun murka Allah yang akan kita raih.
Rasulullah saw memberikan wejangan kepada Abu Dzar al Ghifari untuk memohon perlindungan kepada Allah dari tiga kelompok orang yang tidak akan diperhatikan Allah pada hari kiamat, yakni “mereka yang melakukan isbal (bersikap sombong dengan pakaiannya), orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian, dan orang yang melariskan dagangannya dengan melakukan sumpah palsu.” (H. R. Muslim, Shahih Muslim, Kitabu al Iman, hadits nomor 106).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.