Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dewi Aprilia Nawang Sari

Demam Politik Identitas Jelang Pemilu

Politik | Thursday, 27 Apr 2023, 23:35 WIB

Saat ini, Indonesia memasuki periode menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, yang diharapkan menjadi momen penting dalam perjalanan demokrasi di negara ini. Menilik sejarah Pemilu, kegiatan ini pertama kali diselenggarakan pada 29 September 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR. Selanjutnya dilakukan kembali pada 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Sebagai negara demokrasi, sistem pemilihan wakil rakyat di Indonesia harus dilakukan setiap periode jabatan tertentu yang menganut asas luber-jurdil. Asas "Luber" merupakan singkatan dari langsung, umum, bebas, dan rahasia, yang sudah ada sejak masa pemerintahan Orde Baru. Kemudian, di era Reformasi, berkembang pula asas "Jurdil" merupakan singkatan dari jujur dan adil. Asas tersebut kemudian ditetapkan dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang berbunyi: bahwa pemilihan umum wajib menjamin tersalurkannya suara rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Lalu, bagaimanakah implementasi asas tersebut seiring berjalannya waktu jelang pemilu 2024?

Situasi politik jelang pemilu seringkali diwarnai rentetan isu-isu yang memperkuat atau malah menjatuhkan pihak lawan. Pengusung suatu paslon tak habis akal untuk menarik perhatian rakyat dengan berbagai cara. Salah satunya adalah memanfaatkan politik identitas. Tentu saja praktik politik identitas yang tidak digunakan sebagaimana mestinya sangat bertentangan dengan asas luber-jurdil dan mencederai demokrasi yang diagung-agungkan oleh sejumlah politisi di Indonesia. Berbicara mengenai politik identitas, Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo menyampaikan pesan penting kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk tidak membiarkan politik identitas dan politisasi agama terjadi dalam pelaksanaan pemilu 2024. Pidato sambutan oleh Jokowi yang menyinggung hal tersebut seperti, “Kita tidak bisa bersantai-santai dengan politik identitas, politisasi agama politik, dan SARA. Jangan berikan ruang apapun pada ini (politik identitas, politisasi agama politik, dan SARA). Sangat berbahaya sekali. Bisa menjadi peluang pihak lain untuk memecah belah keutuhan negara kita”. Informasi tersebut disadur dari acara Konsolidasi Nasional Bawaslu RI. Jokowi juga menegaskan bahwa Bawaslu selaku pemegang peran penting dalam Pemilu 2024 harus bekerja cepat dan responsif untuk menyelesaikan pengaduan atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi nanti. Integritas menjadi poin utama demi terlaksananya Pemilu yang adil. Bawaslu juga harus gencar melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan selalu terbuka terhadap segala informasi menyangkut Pemilu.

Jika melihat situasi politik pada Pemilu 2014, Jokowi cenderung melakukan politik identitas untuk menarik suara masyarakat. Salah satu contohnya adalah pemilihan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada masa pemerintahannya yang pertama, yang dianggap sebagai representasi dari masyarakat muslim yang konservatif. Namun, pada periode keduanya sebagai Presiden, Jokowi mengadopsi politik identitas dengan cara yang lebih eksplisit dan terbuka. Pada Pilpres 2019, ia memilih Ma'ruf Amin sebagai pasangannya yang dianggap sebagai simbol dari kelompok muslim yang konservatif. Selain itu, ia juga mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan perlindungan bagi masyarakat adat, seperti memberikan dukungan untuk keberlangsungan kampung adat di seluruh Indonesia.

Namun, pendekatan politik identitas Jokowi juga menuai kritik dari sebagian kalangan. Beberapa pengamat menilai bahwa politik identitas dapat memperkuat polarisasi masyarakat dan memperburuk ketegangan sosial. Selain itu, ada juga yang menilai bahwa pendekatan politik identitas dapat mengabaikan isu-isu yang lebih mendasar seperti kesejahteraan ekonomi dan penegakan hukum yang adil.

Secara keseluruhan, politik identitas ala Jokowi dapat dilihat sebagai strategi politik yang berhasil membawa Jokowi kembali ke kursi Presiden. Namun, kita perlu berhati-hati dalam menerapkan pendekatan politik identitas karena dapat memperkuat polarisasi masyarakat dan mengabaikan isu-isu yang lebih mendasar. Sebagai warga negara yang baik, kita perlu memilih pemimpin berdasarkan kualitas kepemimpinan dan komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image