Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Belajar Menangkap dan Memaknai Beragam Isyarat dalam Kehidupan

Agama | Wednesday, 26 Apr 2023, 07:39 WIB

Kehidupan kita ini tak bisa terlepas dari beragam isyarat, baik isyarat untuk meraih kebaikan, kebahagiaan maupun isyarat akan datangnya kesedihan maupun malapetaka. Kita masih bisa cepat merespon isyarat yang datangnya dari dalam diri kita, namun sayangnya kita masih lamban menangkap dan memaknai isyarat yang datangnya dari alam atau lingkungan sekitar.

Ketika musibah banjir datang, kita tidak membacanya sebagai isyarat dan memaknainya sebagai adanya kesalahan tindakan dan perilaku kita terhadap alam, namun menganggapnya sebagai musibah an sich. Padahal jika kita telusuri dan mengambil maknanya, musibah tersebut seolah-olah ingin berkata, “Inilah akibat ulah kalian yang merusak alam, hutan, dan membuang sampah sembarangan. Akibat buruknya dirasakan hampir semua makhluk, tapi kalianlah yang merasakan dampaknya yang lebih buruk daripada makhluk lainnya.”

Beragam kecelakaan lalu-lintas pun merupakan isyarat betapa banyaknya tindakan human error dan sikap egois sebagai penyebabnya. Manusia sebagai pelaku utama dalam berlalu lintas terlalu egois seraya melanggar aturan berlalulintas. Beragam sepeda motor dan mobil korban kecelakaan yang dijadikan tugu sebagai peringatan untuk berhati-hati dalam berlalu lintas hanya dianggap aksesoris pelengkap jalan raya.

Demikian pula halnya dengan beragam gempa bumi yang sering terjadi di negara kita. Peristiwa ini jangan hanya digali secara pengetahuan an sich. Benar sekali, di negara kita akan sering terjadi gempa bumi karena negara kita berada di atas tiga lempengan bumi, yakni lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik. Demikian pula, gempa vulkanik akan sering terjadi karena negara kita berada di wilayah cincin api (ring fire). Namun, selayaknya kita mampu menangkapnya sebagai isyarat agar kita dapat bertindak arif baik secara sosial maupun spiritual.

Secara sosial, kita harus memperlakukan alam, manusia, dan makhluk penghuni bumi ini sebaik mungkin, dan secara spiritual kita harus meningkatkan hubungan baik kita dengan Penguasa dan Pengatur Alam, Allah swt sebaik dan semaksimal mungkin. Beragam musibah dan kerusakan di daratan dan lautan tak mungkin terjadi, kecuali karena ulah manusia itu sendiri.

Ibnu al Qayyim rahimahullah mengatakan : “Pada sebagian waktu, Allah swt memberikan izin kepada bumi untuk bernafas, lalu terjadilah gempa dahsyat. Dari peristiwa ini, lalu timbul rasa takut pada diri hamba-hamba Allah swt, rasa taubat, dan berhenti dari perbuatan maksiat.“

Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab pernah terjadi gempa bumi di Madinah. Usai gempa bumi, ia memberikan nasihat kepada penduduk Madinah, “Wahai manusia, apa yang terjadi tadi? Alangkah cepat terjadinya peristiwa tersebut akibat beragam kemaksiatan yang kalian kerjakan. Seandainya gempa ini terjadi kembali, aku tak akan bersama kalian lagi.”

Demikian pula metika terjadi gerhana bulan atau matahari, kita harus mampu mengambil dan memaknai isyarat dari peristiwa tersebut. Secara sains kita memaknainya sebagai fenomena alami gerakan benda-benda langit, sementara secara spiritual kita harus memaknainya sebagai tanda kekuasaan Pengatur Alam Yang Mahagagah dan kita sudah seharusnya merasa kecil dan tak berdaya. Buktinya, kita tak bisa menolak atau memalingkan diri dari peristiwa tersebut.

Kita sudah selayaknya merenungi peristiwa gerhana tersebut. Salah satu yang harus kita renungi adalah sampai pada saat ini para ahli telah menyepakati, matahari merupakan pusat tata surya yang masih konsisten bersinar panas dengan suhu mencapai jutaan derajat celcius dan masih konsisten bergerak pada garis edarnya. Sinarnya menyebar ke seluruh bumi secara proporsional sesuai dengan letak geografis suatu tempat di muka bumi ini.

Pada umumnya semua orang dari berbagai golongan, suku, ras, dan agama dapat merasakan hangatnya sinar matahari. Sang pusat tata surya ini tak pernah membeda-bedakan, suku, ras, dan agama dalam membagi cahaya dan kehangatannya.

Ini merupakan isyarat filosofi-analogis yang dapat kita jadikan pelajaran dari sang surya agar dalam berbuat kebaikan dan menegakkan nilai-nilai universal kemanusiaan selayaknya kita bisa memperlakukan semua orang dengan baik. Kehadiran kita di tengah-tengah kehidupan selayaknya selalu memberi kehangatan dan cahaya yang dapat menuntun orang untuk selalu menumbuhkan perbuatan baik. Selebihnya, kita harus tetap istikamah di garis edar perbuatan baik kita.

Sementara bulan meskipun sering kelihatan bercahaya indah, sebenarnya ia tak memiliki cahaya. Para ahli sampai saat ini masih sepakat menyatakan bahwa bulan merupakan benda langit yang tak bercahaya. Selain itu, arah garis edar bulan berseberangan dengan arah garis edar matahari. Ketika arah gerakannya berseberangan dengan matahari, bulan baru mendapatkan pancaran cahaya dari matahari.

Peristiwa gerhana bulan atau gerhana matahari akan terjadi manakala bulan dan matahari berhadap-hadapan, dalam posisi yang sejajar, berhadap-hadapan. Akibatnya, bumi yang selalu terang dengan cahaya kedua benda langit tersebut menjadi gelap. Hal ini pun merupakan isyarat filsosofi-analogis, ketika pendapat kita berbeda atau berseberangan dengan orang lain, selayaknya kita mendapatkan cahaya kebaikan, atau setidaknya mendapatkan tambahan ilmu dari orang yang berbeda pendapat atau berseberangan dengan kita.

Jika terjadi perselisihan pendapat seraya masing-masing dari kita bertahan dengan pendapatnya masing-masing, mempertahankan sikap egoisme, tidak ada yang mau mengalah, apalagi mencari solusi, pada akhirnya akan terjadi “gerhana” dalam kehidupan. Saling bermusuhan, saling ancam, dan saling membenci merupakan gerhana kehidupan yang muncul dari sikap egois.

Jika yang berhadap-hadapan dan berselisih itu para pemimpin umat, maka yang akan merasakan gerhana kehidupan adalah umat yang dipimpinya. Jika yang berhadap-hadapan dan berselisih itu para pejabat, pemimpin suatu bangsa, maka yang akan merasakan gerhana kehidupan adalah rakyat yang dipimpinnya.

Beberapa hari setelah Idul Fitri ini, netizen digegerkan dengan komentar Andi Pangerang Hasanuddin, pakar astronomi yang capek melihat perbedaan perayaan Idul Fitri pada tahun ini. “Perlu saya halalkan gak nih darahnya semua Muhammadiyah? Banyak bacot emang! Sini saya bunuh kalian satu-satu. Silakan laporkan komen saya dengan ancaman pasal pembunuhan! Saya siap dipenjara. Saya capek lihat pergaduhan kalian,” (republika.co.id, Senin 24 Apr 2023 10:34 WIB, Peneliti BRIN Ancam Bunuh Semua Warga Muhammadiyah, Kepala BRIN Enggan Beri Tanggapan).

Padahal, dalam hal-hal yang bersifat ijtihadi, hasil pengerahan kemampuan maksimal pemikiran manusia merupakan hal yang wajar terjadi perbedaan pandangan. Karenanya, tidaklah mengherankan, jika hal-hal yang bersifat ijtihadi benar maupun keliru hasil yang diperoleh, keduanya mendapatkan pahala. Jika ijhtihadnya benar, pahalanya dua kali lipat, sementara jika keliru, pahalanya hanya satu kali lipat.

Sungguh aneh jika komentar tersebut benar adanya, sebab komentar ini keluar dari seorang pakar astronomi yang sudah pasti mengamati terhadap setiap peristiwa gerhana bulan dan matahari. Pertanyaannya mengapa tidak mengambil pelajaran dan isyarat makna dari peristiwa tersebut bagi kehidupan?

Mengapa perbedaan hal ijtihadi yang bersifat ta’abudi, perbedaan pelaksanaan idul fitri yang suci dan bernuansa ibadah harus berakhir dengan pertengkaran yang mengarah kepada kemunkaran? Atau jangan-jangan komentar pedas itu pun merupakan isyarat akan adanya sesuatu yang salah dalam kehidupan sosial-spiritual kita?

Sejatinya kita mampu menangkap isyarat dari peristiwa yang terjadi di tengah-tengah kehidupan. Kita harus mampu menangkap beragam fenomena alam sebagai isyarat untuk memperbaiki kehidupan. Demikian pula harus mampu menangkap isyarat dan memaknainya dari setiap kegaduhan sosial-spiritual-politik yang terjadi di sekitar kita.

Ilustrasi : gerhana bulan

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image