Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sulthan Abdillah Prayudhana

Fenomena Childfree terhadap perkembangan Artificial Intelligence

Teknologi | Monday, 24 Apr 2023, 00:47 WIB
ilustrasi oleh freepik.com

Childfree, sebuah keputusan untuk tidak memiliki anak atau keturunan, semakin umum di kalangan masyarakat modern. Sementara itu, teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) berkembang dengan pesat dan semakin memainkan peran penting dalam kehidupan manusia. Namun, apa hubungannya antara kedua hal ini? Bagaimana fenomena childfree dapat mempengaruhi perkembangan AI?

Sebagai awalan, ada beberapa alasan mengapa orang memilih untuk tidak memiliki anak, antara lain ingin fokus pada karir, kebebasan dan fleksibilitas, masalah finansial, atau karena mereka tidak ingin menambah populasi manusia yang sudah padat. Sebagai hasilnya, generasi muda yang terbiasa dengan teknologi cenderung lebih memilih untuk tidak memiliki anak.

Pada saat yang sama, teknologi kecerdasan buatan semakin berkembang dan menjadi lebih penting dalam kehidupan sehari-hari. AI digunakan dalam berbagai bidang seperti otomotif, kesehatan, manufaktur, perbankan, hingga mengatur hukum peradilan. AI bahkan digunakan dalam pengambilan keputusan yang kompleks seperti kebijakan publik dan pengelolaan krisis.

Namun, jika kita melihat AI sebagai "anak" manusia, maka keberadaan anak bukanlah satu-satunya cara bagi manusia untuk menciptakan entitas yang cerdas dan mandiri. Dalam hal ini, AI dapat dilihat sebagai hasil dari kecerdasan kolektif manusia yang tercermin dalam kode dan algoritma data yang diolah oleh mesin.

Pada dasarnya, fenomena childfree dapat mempengaruhi perkembangan AI di masa depan melalui dua faktor utama. Pertama, individu yang tidak memiliki anak cenderung lebih fokus pada karir dan kehidupan profesional mereka, yang dapat membuka peluang bagi pengembangan AI. Kedua, individu childfree cenderung memiliki lebih banyak waktu dan sumber daya untuk berinvestasi dalam teknologi dan inovasi, termasuk pengembangan AI.

Kita ambil latar belakang kasus, contohnya pada negara Jepang. Pada negara tersebut, terjadi sebuah fenomena gila kerja atau “karoshi”, di mana individu memilih untuk fokus pada karir dan hidup tanpa memikirkan keturunan. Kaitannya dengan perkembangan AI, faktor pertama menjadi semakin relevan. Di sana, jumlah pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak terus meningkat, sementara jumlah anak yang lahir terus menurun. Hal ini membuat Jepang mengalami masalah demografi yang signifikan, dengan populasi yang semakin menua dan jumlah orang yang bekerja semakin sedikit. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah dan perusahaan di Jepang mulai mengandalkan teknologi dan AI untuk membantu mengisi kekosongan tenaga kerja dan meningkatkan produktivitas.

Di sisi lain, individu childfree di Jepang juga berpotensi memberikan kontribusi dalam pengembangan teknologi dan inovasi, termasuk pengembangan AI. Dalam budaya Jepang yang sangat kompetitif, individu yang fokus pada karir mereka cenderung memiliki lebih banyak waktu dan sumber daya untuk berinvestasi dalam pengembangan teknologi. Hal ini dapat membuka peluang bagi individu childfree untuk terlibat dalam pengembangan AI dan mengubah arah perkembangannya di masa depan.

Dalam konteks ini, fenomena childfree dapat memiliki dampak yang cukup berpengaruh. Karena generasi yang lebih muda cenderung memilih untuk tidak memiliki keturunan, maka mungkin ada lebih sedikit manusia yang terlibat dalam penciptaan teknologi kecerdasan buatan di masa depan. Akan tetapi, bukan berarti bahwa perkembangan AI akan terhenti karena ada banyak orang di luar sana yang tertarik dan terampil dalam bidang teknologi.

Namun, ada juga beberapa potensi dampak negatif yang ditimbulkan. Salah satu masalah yang muncul adalah kecenderungan untuk mengabaikan etika dalam pengembangan teknologi AI. Dalam fokus yang kuat pada produktivitas dan inovasi, individu atau perusahaan dapat mengabaikan pertimbangan etis dalam pengembangan teknologi. Hal ini dapat mengarah pada pengembangan AI yang tidak bertanggung jawab dan berpotensi membahayakan manusia.

Selain itu, ada juga individu childfree cenderung mengambil risiko yang lebih besar dalam pengembangan teknologi AI. Hal ini dikarenakan individu childfree memiliki lebih banyak waktu dan sumber daya untuk berinvestasi dalam pengembangan teknologi, termasuk AI. Namun, risiko yang diambil oleh individu tersebut mungkin berbeda dengan risiko yang akan diambil oleh individu yang memiliki tanggung jawab untuk keluarga dan keturunan mereka. Oleh karena itu, perlu ada keseimbangan antara pengembangan teknologi AI yang inovatif dan memperhatikan etika dengan risiko yang diambil.

Secara keseluruhan, tren childfree juga terjadi di berbagai negara di seluruh dunia. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena sosial ini memiliki potensi untuk mempengaruhi perkembangan teknologi AI secara global. Oleh karena itu, penting bagi individu dan perusahaan untuk memperhatikan dampak tren childfree pada pengembangan teknologi AI di masa depan.

Dalam mengembangkan teknologi kecerdasan buatan, perlu diingat bahwa teknologi tersebut diciptakan untuk membantu manusia dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Oleh karena itu, etika dan pertimbangan manusia harus menjadi fokus utama dalam pengembangan teknologi AI.

Kesimpulannya, fenomena childfree memiliki potensi besar untuk mempengaruhi perkembangan teknologi AI di masa depan. Dengan lebih banyak individu yang fokus pada karir dan memiliki lebih banyak waktu dan sumber daya untuk berinvestasi dalam teknologi, termasuk AI, pengembangan teknologi AI dapat berkembang lebih pesat. Namun, perlu diingat bahwa etika dan pertimbangan manusia harus menjadi fokus utama dalam pengembangan teknologi AI, dan risiko dalam pengembangan teknologi tersebut harus dipertimbangkan dengan hati-hati.

Penulis: Sulthan Abdillah Prayudhana (Mahasiswa Teknik Robotika dan Kecerdasan Buatan Universitas Airlangga)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image