Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Inti Dari Ketakwaan Itu Adalah Kehati-Hatian dalam Menjalani Kehidupan

Agama | Saturday, 22 Apr 2023, 17:29 WIB

Suatu ketika, Nu’man bin Tsabit yang akrab dengan panggilan Abu Hanifah atau Imam Hanafi berjalan di jalan yang licin. Di hadapannya ada seorang anak yang berjalan menggunakan terompah kayu. Ia berjalan agak tergesa-gesa.

“Hati-hati jalannya licin, nak. Nanti kamu tergelincir!” Seru Imam Hanafi

Sang anak menoleh kepada Sang Imam sambil tersenyum. “Terima kasih telah mengingatkanku. Bolehkah saya mengetahui. Siapakah nama Anda?”

“Namaku Nu’man,” jawab Imam Hanafi.

“Oh, jadi Anda itu yang selama ini terkenal dengan gelaran Al Imam Al A’dham (Imam Besar) itu?”

“Bukan aku yang memberi gelar tersebut, masyarakatlah yang berprasangka baik dan memberi gelar tersebut,” jawab Imam Hanafi

“Wahai Imam. Berhati-hatilah dengan gelarmu itu. Jangan sampai Anda tergelincir ke neraka karena gelar yang disandangmu. Terompah kayu ini mungkin hanya menggelincirkanku di dunia, tetapi gelarmu itu dapat menjerumuskanmu ke dalam api neraka, jika gelar tersebut menjadikan kehidupan Anda dipenuhi kesombongan dan keangkungan.” Jawa Si Anak nampak menasihati Sang Imam.

Mendengar penuturan anak tersebut, ulama besar yang pakar dalam bidang ilmu hadits dan fikih ini tersungkur menangis, menerima nasihat tajam tersebut. Ia bersyukur masih ada orang yang memperingatkannya meskipun datangnya dari seorang anak kecil.

Dari kisah singkat tersebut, terdapat beberapa pelajaran. Pertama, jangan pernah meremehkan nasihat dari siapapun datangnya. Selama nasihat tersebut benar, tak bertentangan dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, kita harus legawa menerimanya, meskipun datangnya dari seseorang yang lebih rendah bahkan hina statusnya daripada diri kita.

Kedua, status gelar, kekayaan, dan jabatan merupakan hal yang banyak membuat orang tegelincir dalam menjalani kehidupan. Mereka tergelincir ke dalam sikap hidup penuh kesombongan, padahal tak ada kesombongan yang berakhir dengan kebaikan. Setiap kesombongan berakhir dengan kenistaan.

Iblis terusir dan mendapat laknat Allah sepanjang masa karena ia bersikap sombong. Qarun ditelan bumi karena sombong dengan limpahan hartanya. Demikian pula dengan Fira’un, ia mati ditelan samudera karena sombong dengan jabatan yang ia miliki.

Bukan hanya gelar, harta, dan jabatan saja yang dapat menyebabkan seseorang tergelincir kepada kesombongan, pakaian yang kita kenakan pun bisa melahirkan sikap tercela tersebut.

Rasulullah saw pernah memberikan wejangan kepada Abu Dzar al Ghifari. “Terdapat tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat nanti, tidak dipandang, dan tidak disucikan serta bagi mereka siksaan yang pedih.”

Abu Dzar berkata, “Mereka sangat celaka dan merugi. Siapakah mereka itu, Ya Rasulullah?”

Rasulullah saw menjawab, “Mereka adalah orang yang isbal (bersikap sombong dengan pakaiannya), orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian, dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu” (H. R. Muslim, Shahih Muslim, Kitabu al Iman, hadits nomor 106).

Satu bulan lamanya kita dilatih untuk hidup penuh disiplin dan bersikap hati-hati melalui ibadah puasa Ramadhan. Kita belajar berhati-hati dalam menjaga hal-hal yang dapat membatalkan ibadah puasa. Sudah seharusnya pelajaran tersebut diterapkan dalam kehidupan di luar bulan Ramadhan. Ketika mampu menerapkan sikap kehati-hatian ini dalam kehidupan di luar Ramadhan, kemungkinan besar ketakwaan sebagai muara akhir dari ibadah puasa dapat kita raih.

Seperti dikatakan Ubai bin Ka’ab, inti dari ketakwaan seseorang adalah bersikap hati-hati dalam menjalani kehidupan. Ia berusaha melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan dengan dasar keyakinan kepada Allah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image