Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Amilatul Fauziyah, S.Pd

Budaya Thrifting dan Konsumerisme Jelang Lebaran, Mengapa?

Gaya Hidup | Friday, 21 Apr 2023, 20:41 WIB
Suasana toko baju bekas impor atau thrifting

Thrifting telah menjadi budaya fashion baru di Indonesia, khususnya bagi kalangan muda. Thrifting atau lebih dikenal dengan belanja baju bekas bermerek impor itu mendapat kritik karena dampaknya terhadap industri dalam negeri. Selain ilegal, thrifting juga merugikan banyak pihak seperti Industri Kecil Menengah (IKM) dan penjual baju lebaran (Kementerian Perindustrian, Reni Yanita, republika.co.id 17/3/23).

Sejak awal, thrifting melanggar Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 Pasal 2 Ayat 3 yang melarang impor pakaian bekas. Tetapi aneh, toko yang menjual pakaian bekas impor malah semakin banyak. Ini menandakan bahwa pasar gelap hingga penyelundupan telah berlangsung di sekitar kita. Lolos dari pengawasan Bea Cukai, Kemendagri, dan Polri sekalipun.

Mendorong Sifat Materialistik Masyarakat

Selama ini thrifting dinilai positif karena bisa mendukung konsumen yang daya belinya rendah karena lebih hemat, mengurangi limbah pakaian, dan meningkatkan kreativitas fashion. Akan tetapi, dalam kacamata ekonomi politik thrifting bukanlah penghematan biasa. Pertama, maraknya thrifting menunjukkan karakter masyarakat yang materialistik.

Awal kemunculan thrifting adalah untuk mengatasi masalah fast fashion pada masa revolusi industri awal abad 20 yakni pencemaran lingkungan dan krisis ekonomi pasca Perang Dunia I dan II di Eropa. Namun, seiring trend budaya asing masuk ke Indonesia, thrifting menyebabkan masalah baru. Kecintaan masyarakat terhadap budaya asing, mulai dari fashion dan gaya hidup, yaitu makanan, pergaulan, hiburan, membawa konsekuensi dan budaya buruk.

Badan Pusat Satistik (BPS) mencatat adanya impor pakaian bekas di Indonesia 26,22 ton selama 2022. Impor pakaian bekas mengalami fluktuasi dalam satu dekade terakhir. Nilai impor terbanyak pada 2019 mencapai 417,73 ton. Ketua Umum Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFi), Redma Gita, menyebut pasar tekstil lokal dikuasai oleh produk impor, termasuk impor ilegal (Bisnis.com 14/3/23).

Pemuda adalah target utama dan terbesar budaya fashion dan lifestyle Barat ini. Laporan ThredUp tahun 2020 menyatakan bahwa generasi Z mengadopsi mode bekas lebih cepat dibanding kelompok usia lainnya. Sekitar 40% dari mereka membeli pakaian, alas kaki, dan akesori bekas pada 2019. Selain merusak pasar lokal, masyarakat kita menjadi lebih materialistik. Sifat ini disebabkan oeh mindset yang juga materialistis. Tak heran masyarakat dan pemuda berinteraksi dan bersikap dengan prinsip untung-rugi, misalnya dalam pertemanan, sekolah, pekerjaan, dsb.

Konsumerisme Kapitalisme

Kedua, di balik thrifting ada konsumerisme yang merupakan inti ideologi kapitalisme. Terkait presiden melarang bisnis pakaian bekas impor atau thrifting, mengapa baru sekarang? Ketika industri tekstil dalam negeri telah mati dan importir pakaian legal memonopoli pasar? Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis, Suroto, menanggapi larangan presiden tersebut. Menurutnya, tidak ada kebijakan turunan yang berhubungan seperti dukungan kelembagaan, pemodalan, pemasaran terhadap industri bahan baku, kain tenun, dan lainnya (tempo.co 18/3/23).

Maka, cukup membuat curiga bahwa pelarangan impor ini hanya bentuk pencitraan, bahkan dukungan kepada segelintir importin kain yang monopolistik. Faktanya, Indonesia selalu impor tekstil. Negara asal impor kain, di antaranya China, Korea Selatan, Hong Kong, dan Taiwan. Volume impor kain Indonesia terbesar berasal dari China dengan pangsa impor sebesar 67,86% pada 2018, kemudian 63,61% pada 2017, dan 61,42% pada 2016 dari total impor Indonesia.

Mindset kapitalis yang kian mendarah daging ini sejalan dengan pudarnya budaya religius masyarakat. Kebahagiaan diukur dengan materi. Momen ramadhan dan lebaran pun tak lepas dari suasana bisnis, belanja, dan unjuk materi. Permintaan meningkat dan harga mulai naik bersamaan. Bahan pokok, jajanan, baju, kendaraan, dst. Polanya sama setiap tahun. Secara teori, begitulah dunia kapitalisme bekerja.

Max Weber (1958:60) berkata “A man does not by nature‟ wish to earn more and more money, but to live as he is accustomed to live and to earn as much as is necessary for that purpose.” Consumerism, therefore, encourages people to work harder, to earn more money and ultimately to spend more, or another word, to enter the capitalist system (Harmanci, 2017).

Di balik alasan peningkatan perekonomian, pola seperti ini sengaja diciptakan oleh ideologi kapitalisme. Sebagaimana kutipan di atas, manusia digiring untuk mencintai uang dan didorong bekerja keras, sehingga dengan uang itu mereka bisa memenuhi keinginan, kebutuhan, dan kebahagiaannya. Uang bisa membeli segalanya. Dengan begitu manusia akan masuk ke dalam sistem kapitalis. Dunia kedua dan ketiga seperti Indonesia akan mengikuti dunia pertama yaitu adidaya Amerika. Indonesia berada dalam genggaman kapitalisme.

Kapitalisme dan Ketiadaan Islam

Islam sebagai agama memang mempunyai banyak pemeluk. Namun, pemeluknya sama-sama dalam penguasaan kapitalisme, baik pemikiran, budaya, gaya hidup, aturan, dan cintanya. Itulah mengapa seruan menteri agar konsumen lebih mencintai produk dalam negeri takkan berhasil. Sebab, kecenderungan masyarakat terpana kepada kapitalisme Barat. Bahkan jika perlu budaya Barat bisa dicontoh.

Tak heran hari-harinya, kaum muslimin memang jauh dengan aturan Islam. Ketika hari besarnya, makna ibadah itu hilang, hanya menjadi momen tahunan saja. Makna “kemenangan” bergeser pada kesuksesan dunia, kepuasan individu terhadap materi. Pengertian takwa sekadar terdengar saat khutbah. Bukankah Sayyidina Umar bin Khattab mengatakan bahwa kita akan menjadi umat yang hina tanpa Islam? Tentu Islam yang ditegakkan sebagai aturan beribadah dan bernegara.

Kapitalisme membuat kita hina karena aturannya yang semena-mena. Manusia jadi kehilangan nikmat beribadah, kehilangan moral, dan paling buruk adalah kehilangan pemimpin yang amanah. Maka, kesempitan saja yang tersisa. Bunuh diri meningkat, celakanya banyak dari pemuda. Gelombang PHK dan kriminalitas berbanding lurus. Hanya dengan sistem Islam yang ditegakkan secara total akan menyelamatkan manusia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image