Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhamad Cahya Rizqi

Refleksi di Ujung Peperangan

Pendidikan dan Literasi | Friday, 21 Apr 2023, 16:29 WIB

Mungkin bagi sebagian masyarakat muslim yang bersungguh-sungguh dalam mengisi bulan suci Ramadhan akan merasakan kesedihan dan tangisan yang mendalam karena ia segera pamit meninggalkan. Tidak ada bulan yang lebih mulia dan istimewa selain Ramadhan. Bulan dimana pintu-pintu langit dan syurga terbuka lebar, pintu-pintu neraka tertutup, syaitan-syaitan terbelenggu dan malaikat-malaikat menyambutnya dengan riang gembira.

Tiba waktunya bulan Syawwal yang juga sangat dinanti-nanti oleh sebagian masyarakat muslim yang lain. Mereka sangat antusias dalam menyambut kedatangan hari kemenangan dengan berbagai aktifitas yang beragam, seperti melakukan mudik bersama keluarga, belanja pakaian baru di mall, membuat ketupat dan opor ayam serta mempersiapkan kembang api yang akan dinyalakan di malam kemenangan.

Banyak cara yang dapat dilakukan dalam mengisi persiapan di hari raya ‘idul fitri. Namun alangkah baiknya sebagai seorang muslim, sejatinya tidak terlalu larut dalam euforia. Tetapi, lebih kepada refleksi atas apa yang telah dilalui selama mengisi waktu di bulan Ramadhan. Allah swt berfirman dalam Q.S. Al Hasyr : 18 “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan bertakwalah kepada Allah, Sungguh Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.

Malam kemenangan menjadi penting sebagai sarana dan momentum untuk merefleksikan segala sesuatu yang telah dikerjakan selama bulan Ramadhan. Apakah sebagian besar waktu yang ada lebih banyak digunakan untuk ibadah? Apakah dalam ibadah yang kita lakukan masih ada unsur lalai dan khilafnya? Naudzu billah apabila pendidikan (tarbiyah) shiyam selama satu bulan penuh tidak memberikan dampak positif dalam meningkatkan kapasitas ketakwaan. Dampak positif pasca berpuasa mestinya menghasilkan konsistensi (istiqomah) dalam ibadah dan amal shaleh, baik terhadap Allah maupun makhluk-Nya.

Sumber foto : Jambiupdate.co

Syaikh Sa’id bin Muhammad Ba’asyin dalam Kitab Busyral karim mengatakan : “Dianjurkan untuk menghidupkan dua malam ‘id sekalipun jatuh pada hari jum’at dengan berbagai jenis ibadah seperti sembahyang, tadarus atau dzikir ”. Dalam kutipan itu sudah sangat jelas bahwa malam ‘idul fitri menjadi salah satu malam yang dianjurkan untuk dihidupkan dengan berbagai aktifitas positif yang bernilai ibadah. Biasanya kita seringkali mendengarkan gema takbiran di beberapa masjid karena hal ini berdasarkan Hadits Nabi Muhammad saw : “Hiasilah hari raya kalian dengan memperbanyak membaca takbir”.

Gema takbir yang dilantunkan memberikan pengajaran bahwa Allah swt adalah Maha agung dan hanya kepada Dia-lah beribadah dan memohon pertolongan. Tidak ada yang kita banggakan di dunia ini, karena semua yang dimiliki merupakan titipan yang bersifat sementara dan akan dimintai pertanggung jawaban di Akhirat kelak. Dengan melantunkan takbir di malam ‘id dapat menghapus dosa-dosa manusia, “Perbanyaklah membaca takbir pada malam hari raya (‘idul fitri dan adha) karena hal tersebut dapat melebur dosa-dosa”.

Muslim yang baik adalah Muslim yang semakin bertambah kualitas keimanan dan ketakwaannya. Bukankah ketakwaan adalah sebaik-baiknya bekal? Walaupun kadar keimanan manusia terkadang naik dan turun, tetapi kita harus berupaya semaksimal mungkin membentengi diri dari perbuatan maksiat, baik secara zhahir dan batin. Bukankah dalam hadits disebutkan bahwa Puasa itu adalah benteng? Artinya seseorang yang serius dalam menjalankan puasa, ia tidak hanya menahan lapar dan dahaganya saja, tetapi bersikap mawas diri dan hati-hati agar anggota badannya tidak sampai melakukan perilaku maksiat.

Instropeksi diri (muhasabah) merupakan bagian dari langkah taubatnya seseorang. Orang yang bertaubat maka dirinya akan selalu merenungkan tentang dosa apa saja yang telah dilakukan. Seperti Rasulullah saw yang dikutip Imam Al Ghazali bahwa Beliau selalu meminta ampunan dan bertaubat kepada Allah sebanyak 100 kali dalam sehari. Sementara Sayyidina ‘Umar bin Khattab jika tiba waktu malam, Ia memukul kedua kakinya dengan mutiara dalam rangka muhasabah. Termasuk ‘ulama salafus shalih yang selalu merenungkan dengan apa yang telah dikerjakannya, lidahnya selalu basah dengan istighfar dalam rangka memohon ampun kepada Allah, bahkan diantara mereka ada yang mencambuk-cambuk pipi dan kedua tangannya sebelum tidur sebagai pengingat diri agar selalu berhati-hati dalam berbuat.

Manusia yang tidak pernah luput dari salah dan lupa seharusnya menjadi pemacu untuk selalu instropeksi diri. Ibadah puasa sejatinya membersihkan jiwa manusia yang dengan demikian seakan-akan dirinya terlahir kembali tanpa dosa sebagaimana seorang bayi. Oleh karena itu, sebaiknya seorang muslim selalu mengupayakan diri untuk menjaga akidah dan keyakinan yang merusak keislamannya dengan melalukan praktik keagamaan yang hanif dan lurus, serta menjauhkan diri dari perilaku tercela misalnya rakus, iri, dengki dan segala sifat yang dapat merusak pahala puasa.

Mari kita bermunajat kepada Allah agar ibadah puasa di bulan Ramadhan dapat diterima sebagai ‘amal shaleh dan menjadikan diri kita menjadi hamba yang bertakwa. Segala ketidaksempurnaan saat menjalani puasa semoga Allah memaafkannya. Aamiin.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image