Ciri-ciri Seseorang Kembali Kepada Fitrah (Idul Fitri)
Agama | 2023-04-22 13:27:00CIRI-CIRI SESEORANG KEMBALI KEPADA FITRAH (IDUL FITRI)
Sesaat lagi Ramadhan akan usai. Umat Islam di seluruh dunia akan segera merayakan hari raya Idul Fitri 1444 H. Sering pula disebut sebagai Hari Kemenangan. Idul Fitri sendiri bermakna kembali kepada fitrah. Tapi, apakah semua yang berpuasa di bulan Ramadhan sudah pasti kembali kepada fitrah? Memangnya, fitrah manusia itu sendiri apa?
Ada yang mengatakan bahwa kembali fitrah adalah menjadi suci, bersih, putih seperti lembaran kertas yang belum ditulisi. Ya, kalau selama Ramadhan dia memperbanyak istighfar dan benar-benar memohon ampun kepada Allah. Melakukan taubat yang sesungguhnya (taubatan-nasuha). Termasuk juga meminta maaf kepada sesama manusia yang telah ia sakiti atau zhalimi. Kalau belum?
Atau ada yang mengatakan bahwa kembali fitrah adalah orang yang memperbanyak amal ibadah selama bulan Ramadhan. Seperti shalat sunat, mengkhatamkan Al Qur’an, berdoa dan berzikir, bersedekah, dan berbagai ibadah lainnya. Memperbanyak ibadah boleh dikata baru sebatas kuantitas, kita perlu mengetahui kualitas seseorang setelah Ramadhan usai. Dengan kata lain, apakah ibadah-ibadah tersebut memiliki dampak dalam kehidupan sehari-hari, baik bagi diri sendiri maupun orang lain?
*****
Setidaknya ada dua indikasi seseorang telah kembali kepada fitrah, yaitu:
1. Kemampuan Menahan Diri
Puasa berasal dari kata shawama (shiyam, shaum) yang bermakna menahan, berhenti, tidak bergerak. Apabila setelah menjalankan ibadah puasa sebulan penuh, terjadi peningkatan kemampuan untuk menahan diri (mengendalikan diri).
Kemampuan menahan diri ini meliputi:
- Menahan diri dari amarah maupun emosi-emosi negatif lainnya;
- Menahan diri dari menuruti keinginan-keinginan (terutama yang didorong oleh hawa nafsu);
- Menahan diri dari berbicara yang tidak bermanfaat;
- Menahan diri dari bermedia sosial yang tidak sehat;
- Dan sebagainya.
Menahan diri berarti tidak melampiaskan. Bisa mengerem (tidak ngegas). Sementara kecenderungan kebanyakan manusia adalah melampiaskan. Amati saja gaya hidup yang konsumtif, demonstrasi yang anarkis, banyaknya berita bohong di media sosial, seruan-seruan yang provokatif, dan masih banyak lagi.
Apabila seseorang telah melampui semua itu, ia bisa disebut telah kembali kepada fitrah.
2. Selalu Menggunakan Akal
Inilah fitrah manusia yang paling utama dan yang membedakannya dengan makhluk lainnya. Dalam menjalani kehidupannya, manusia dianugerahi akal agar setiap perkataan maupun perbuatannya dipertimbangkan secara baik-baik.
Istilah lain akal adalah nalar, rasio, atau logika. Orang yang senantiasa menggunakan akalnya, akan menuntun kepada perbuatan yang baik. Dengan akal, orang dapat menimbang mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang membawa manfaat dan mana yang membawa mudharat, mana yang membangun dan mana yang merusak.
Sedangkan orang yang masih dominan mengedepankan hawa nafsunya, belum dapat dikatakan kembali kepada fitrah. Ciri-ciri mengedepankan hawa nafsu di antaranya: keserakahan, ketamakan, kesombongan, keangkuhan, kedengkian, kemarahan, keakuan (egoisme), dll.
Masih ada hubungannya dengan poin 1, orang yang dominan mengedepankan hawa nafsu dan tak menggunakan akalnya adalah orang yang tak mampu menahan diri. Ia cenderung melampiaskan hawa nafsunya.
Melampiaskan hawa nafsu pada tingkatan yang lebih tinggi disebut hilang akal (kegilaan). Ia telah kehilangan fitrahnya sebagai manusia. Dalam Al Qur’an, orang-orang seperti ini disebut sebagai asfala safilin, serendah-rendahnya manusia, bahkan lebih rendah daripada binatang.
3. Hubungan Baik Kepada Sesama Manusia
Kemampuannya dalam mengendalikan diri dan menggunakan akal akan terlihat juga dalam hubungannya kepada sesama manusia. Ia tak lagi menyakiti orang lain baik dalam ucapan maupun tindakan. Tidak ada lagi egoisme, mau menang sendiri, merasa benar sendiri. Ia akan berusaha untuk mengasihi orang lain, berbuat adil, senang membantu dan berbagi, menyatakan simpati-empati terhadap penderitaan orang lain, dan lain-lain.
*****
Sekali lagi, banyaknya amal ibadah seseorang selama Ramadhan belum menjadi jaminan bahwa ia telah kembali kepada fitrah. Itu baru sebatas kuantitas. Implikasi dari amal ibadah itu setelah Ramadhan, barulah akan dapat dinilai apakah ia telah mencapai idul fitri atau belum (kualitas).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.