Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image m abu

Keberagaman Etnis, Ras dan Suku Bangsa sebagai Politik Identitas di Era Demokrasi

Politik | Wednesday, 19 Apr 2023, 09:02 WIB

KEBERAGAMAN ETNIS, RAS, DAN SUKU BANGSA SEBAGAI POLITIK IDENTITAS DI ERA DEMOKRASI

Indonesia adalah sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras serta budaya. Di negeri yang terletak di garis Khatulistiwa ini, Indonesia banyak menyimpan berbagai sumber daya alam dan juga sumber daya manusia yang melimpah. Dengan penduduk yang begitu banyak dan juga memiliki latar belakang budaya, agama serta suku yang berbeda-beda, kerapkali bangsa ini di hadapkan pada satu kondisi dimana persatuan berada diujung tanduk. Solusinya, mencari satu pegangan yang mana bisa dijadikan sandaran untuk mempersatukan banyak masyarakat dan juga kepentingan didalamnya. Maka dari itulah lahir semboyan negara kita Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda namun tetap satu jua. Seiring berjalanya waktu, persatuan Indonesia banyak menghadapi ancaman, entah ancaman eksternal maupun internal. Karena keberagaman ini lah yang membuat saya selaku mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Jakarta melakukan penelitian lebih dalam dan menuangkannya ke dalam artikel ini.

Berpijak pada kondisi masyarakat yang multikultural dan multietnis, maka keragaman merupakan salah satu identitas bangsa, meskipun Indonesia bukanlah satusatunya negara dengan karakter masyarakat yang heterogen. Namun, keragaman kultur demikian juga keragaman dalam nilai-nilai masyarakat, yang mana hal ini haruslah dijaga karena sejak awal Soekarno bercita-cita membangun negara "semua buat semua" yang tidak hanya untuk satu orang, golongan, maupun kelompok tertentu. Keragaman tersebut seharusnya dijaga dan dijamin oleh konstitusi. Demokrasi di tengah masyarakat yang plural tidak selalu mulus. Kita menghadapi berbagai persoalan. Pertama, pesta demokrasi seperti pemilihan kepala negara dan kepala daerah langsung turut mendorong politik identitas. Politik identitas yang dimaksud adalah politisi yang mengedepankan identitas seperti suku, ras, agama, dan identitas kedaerahan untuk meraih suara terbanyak ketimbang program kerja yang paling baik untuk kepentingan masyarakat atau politik yang berorientasi kerja. Sementara itu, akibat politik identitas yang membuat masyarakat terpecah,

mereka tidak lagi peduli bagaimana mengembalikan agar masyarakat bersatu kembali sebagai bangsa yang berbeda tetap satu tujuan (bhineka tunggal ika). Bukan tidak mungkin, mereka jadi mudah tersinggung, gampang terbakar emosi, dan rentan terprovokasi. Jika terjadi perselisihan, apalagi sampai terjadi insiden kekerasan, maka pendidik, mubaligh, ustad, guru, kiai, dan tokoh agama lainnya dituntut ikut bertanggungjawab untuk meredakan dan mengatasinya (Kementrian Pertahanan, 2017).

Catatan kedua, dalam rangka memuluskan politik identitas di atas, tidak jarang para politisi memproduksi ragam berita bohong yang mendorong ujaran kebencian dan menyumbang perpecahan di masyarakat. Berita bohong, atau lebih dikenal dengan sebutan hoax, sengaja dibuat tim para pemenang untuk menjatuhkan lawan politik dengan ragam berita bohong. Sebelum masa media sosial berkembang, berita bohong lebih banyak beredar dari mulut ke mulut dan terbatas di masa atau wilayah tertentu. Seiring pertumbuhan internet, media sosial pun berkembang luas dankarenanya berita bohong pun tumbuh dan berkembang. Berita bohong tidak lagi terkendali ketika media sosial kini berada di tangan para penggunanya melalui telepon genggam pintar (smart phone). Asal terhubung internet, semua informasi baik berita kredibel maupun berita bohong beredar. Peredaran berita bohong itu umumnya melalui situs berita abal-abal, yang tidak terdaftar di lembaga negara seperti Dewan Pers.

Hal lain yang perlu dicatat dari perjalanan 20 tahun reformasi adalah masyarakat kita semakin sensitif, mudah tersinggung, dan rentan terhadap provokasi. Catatan ini terkait dengan politik identitas, berita bohong, dan ujaran kebencian, yang menguat dan pada saat yang sama membuat hubungan sosial terpilah-pilah berdasarkan kubu-kubu politik. Ditambah lagi, laju kecepatan internet yang menyediakan informasi, berita benar maupun berita palsu, melebihi kecepatan kita berpikir. Belum sempat kita mencerna, memikirkan, dan memaknai berita yang sampai ke telepon genggam, apakah benar atau tidak, berita baru sudah muncul lagi, lagi dan lagi. Hanya sebagian dari antara mereka menyisihkan waktu untuk merenungkan berita yang masuk di akun media sosialnya. Dari mereka yang mau menyeleksi berita, tidak semua memiliki kemampuan yang memadai untuk memeriksa apakah berita itu benar atau tidak.

Politik identitas menjadi masalah di negeri yang beragam seperti Indonesia karena tiga hal berikut. Pertama, politik identitas berpotensi mengecilkan bahkan menghilangkan identitas lain yang hidup di masyarakat. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, identitas pada setiap individu

ada banyak dan cair. Demikian juga dengan sekumpulan orang di dalam komunitas, di satu kabupaten/kota, atau negara, identitas lebih banyak dan rumit. Untuk kepentingan politiknya, politisi dengan sengaja mengedepankan satu identitas yang dianggap paling bisa membujuk warga agar memilihnya saat pemilihan umum. Bukan saja menonjolkan identitas tertentu, lebih jauh dari itu menjanjikan akan mengistimewakan mereka yang berasal dari identitas tersebut. Ketika kelak terpilih dan janji tersebut dia penuhi, maka warga negara yang beda identitas tidak turut menikmati kebijakan tersebut. Sejak keputusan tersebut diputuskan, sang politisi mulai mendiskriminasi mereka yang tidak satu kubu dengannya. Lebih jauh, identitas lain yang kecil jumlahnya tidak saja dikecilkan, tetapi juga berpotensi dianggap tidak ada. Kedua, politik identitas menutupi perdebatan program kerja berkualitas. Demokrasi seharusnya menjadi arena berbagai pihak memperebutkan pengaruh di masyarakat dengan menyodorkan program kerja terbaik untuk memperbaiki aspek- aspek di masyarakat yang masih buruk. Semakin baik program kerja yang ditawarkan, semakin para pemilih menyukai dan akan memilih. Memilih mereka yang mengusulkan program paling baik berarti mempercayakan kekuasaan dikelola oleh pemimpin terbaik. Kenyataannya, politisi yang mengeksploitasi identitas kurang menyediakan waktu untuk menunjukkan program terbaik karena dia akan sibuk mencari penjelasan tentang betapa hebatnya orang dari identitas tersebut, sehingga dia secara esensial layak menjadi pemimpin.

Terakhir, politik identitas lebih banyak memecah belah daripada mempersatukan masyarakat. Para pendukung merasa identitas mereka adalah kelompok pilihan ciptaan “terbaik” yang akan menyelesaikan masalah di daerahnya. Pada saat yang sama, mereka menumbuhkan narasi bahwa pihak lain merupakan titisan “tidak baik”. Jika daerah atau negara dipimpin oleh mereka yang berasal dari identitas “tidak baik”, maka ia membawa kehancuran. Adu narasi ini berpotensi adu gengsi antara pendukung kedua pihak. Adu gengsi, adu narasi paling baik, sekaligus adu buruk lawan politik terbawa setelah kontestasi pemilu usai. Kebencian pendukung kubu A kepada kubu B berlanjut hingga pemilu lainnya atau pemilu berikutnya atas dasar bahwa mereka yang dari kelompok dirinya lah yang paling baik untuk memimpin (Mubarok, 2018).

DAFTAR ISI

Kementrian Pertahanan, M. I. (2017). MEMPERKOKOH IDENTITAS NASIONAL UNTUK MENINGKATKAN NASIONALISME. kemhan.go.id/wp- content/uploads/2018/01/wiraindowebnovdeskomplit.pdf

Mubarok, H. (2018). Demokrasi , Politik Identitas , dan Kohesi Sosial : Peluang dan Tantangan Strategi Dakwah untuk Menghalau Provokasi Politik di Indonesia Democracy , Identity Politics , and Social Cohesion : Opportunities and Threats of Dakwah Strategy in Countering Polit. Jurnal Bimas Islam, II(II), 365–400.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image