Perihal Skripsi
Curhat | 2023-04-14 19:56:17Peralihan zona nyaman menuju zona tantangan seperti halnya memilih ‘iya’ atau ‘tidak’ untuk melanjutkan hidup. Perumpamaan lebih tegasnya ketika kita lapar pilihan kita hanya dua. Makan atau tidak makan. Tak ada pilihan yang ketiga. Pilihan kita bekerja bagaimana menghasilkan uang agar bisa makan atau tidak bekerja, tidak makan (kecuali kalau tetangga kita berbelas kasih tiap hari).
Kita merasa aman ketika punya uang dan, dengan uang itu, bisa beli makanan. Tapi ketika uang tak lagi kita punya, barulah wilayah zona tantang memberi pilihan: apakah ‘iya’ akan bekerja atau ‘tidak’ akan bekerja.
Perumpamaan di atas saya ingin menariknya ke perumpamaan mengerjakan skripsi; atau suatu hal yang memungkinkan kita memilih sesuatu hal atas pilihan hidup; tapi fokus tulisan ini problem skripsi, dan bisa diumpamakan pula dengan perjalanan hidup.
Mahasiswa memutuskan kuliah; itu berarti ia menanggung tugas menyelesaikan kuliah dengan syarat mengerjakan skripsi. Tanpa syarat ini, mahasiswa tak layak disebut lulus kuliah, kecuali kebijakan kampus mengeluarkan ketentuan lain sebagai pengganti syarat kelulusan tersebut, misalnya mahasiswa yang rajin menulis-nan-publikasi jurnal, bisa diluluskan tanpa syarat skripsi.
Pada umumnya, skripsi adalah syarat mahasiswa dikatakan selesai menempuh studi formalnya. Namun dalam menempuh studi kehidupan, ia takkan pernah selesai, mahasiswa akan terus berproses menjadi manusia, sebagaimana paparan nanti, dengan aneka ragam varian masalah kehidupan.
Sebagian mahasiswa memilih tidak memenuhi syarat kelulusan tersebut. Saya kira tidak masalah, selama siap atas konsekuensinya. Sebab itu sebuah pilihan. Sebagian mahasiswa lain sebaliknya, memilih dan mengerjakan syarat tersebut.
Di antara kedua pilihan tersebut adalah mengerjakan atau tidak mengerjakan syarat kelulusan. Dan, ohya, pada konteks pembicaraan ini diluar joki skripsi, sebab hanya mahasiswa tertentu sekarang bisa lulus tanpa mengerjakan skripsi; mahasiswa ini memilih joki tugas kampus; bahkan fenomena terbaru sekelas calon guru besar diduga terlibat kasus nirmoral ini. Sungguh ironis!
Problem Membaca-Menulis
Saya sering mendapat pesan WhatsApp dari mahasiswa—baik mahasiswa lama, mahasiswa baru dan mahasiswa seangkatan—sejak semester empat; atau lebih tepatnya sejak saya mulai dikenal bisa menulis (meskipun sebenarnya tulisan saya tak begitu bagus, tapi menururt persepsi mereka bagus, menurut saya biasa saja). Pesan itu bentuk keluh kesah mereka perihal tugas kampus dan biasanya paling banyak tugas skripsi.
Setelah pengaduan keluh kesah itu selesai, selain diskusi adu mulut tentu saja, giliran saya menanggapi. Saya balik bertanya dimana letak kesulitannya. Jawaban pada umumnya kesulitan mereka dalam menulis; dan saya katakan bahwa kunci menulis adalah membaca sebanyak-banyaknya, mengamati, mencermati dann meneliti bagaimana teks itu ditulis.
Tapi kebanyakan mereka tidak suka membaca apalagi meneliti dan menulis. Nahas. Saya katakan ‘itulah masalahnya’. Selama masalah pertama belum diatasi tidak mungkin mengatasi masalah berikutnya (baca: problem menulis). Jika masalah pertama selesai teratasi; maka kasus berikutnya terletak pada kebiasaan menulis.
Saya tahu bahwa mereka belum terbiasa menulis dan karena itu, saya menyarankan agar latihan menulis setiap hari. Namun saran itu terkadang masih kurang efektif dan biasanya mereka balik menjawab “tapi kan” dan bla bla lainnya.
Sebenarnya tidak ada jawaban “tapi kan” atau "bla bla lainnya" setelah mahasiswa tahu mana letak masalahnya. Dan kita patut sadar tentang masalah kebiasaan tersebut. Caranya bagaimana membentuk kebiasaan tersebut adalah mengubah cara berpikir kita tentang kebiasaan kita hari ini: mulai membaca banyak dan menulis banyak.
Jika mahasiswa sudah terbiasa menulis (juga membaca) namun belum sepenuhnya bisa mengatasi masalah yang dihadapinya, satu hal yang harus diingat, ini saran saya, adalah waktu. Ya waktu. Persoalan mahasiswa sekarang adalah “ketidaktahanan” menjalani proses dan menikmati proses belajar; lebih-lebih penelitian.
Pada titik kulminasi proses ini saya tidak mau menjawab panjang lebar masalah mereka; sebab hal itu terletak pada daya tahan dirinya sendiri, dan saya tidak punya kewajiban penuh menjawab semua problem mereka; toh mahasiswa pasti punya kesadaran bahwa kuliah adalah proses belajar pembentukan karakter diri secara mandiri dan itu berada dalam kesabaran ia sebagai peneliti; sebagai pembelajar.
Menghadapi Hidup
Oleh karena itu, mengapa tulisan ini mengupas topik skripsi/tugas kampus (atau tugas hidup?), saya ingin mengatakan bahwa penemuan/keberhasilan terhebat di dunia ini, setidaknya pada setiap ukuran pribadi mahasiswa, adalah manusia sadar bahwa sebelumnya mereka mengira tidak akan mampu melakukan suatu hal dan setelah menjalani proses suatu hal tersebut (baca: tantangan), manusia sadar bahwa setiap kita mampu menaklukan tantangan dan memiliki kemampuan dalam melewati tantangan yang penuh ombak berduri itu.
Saya kira setiap mahasiswa perlu mencoba tantangan dan menaklukan tantangan sebelum tantangan berikutnya akan tiba; akan kita hadapi, dan kita tahu cara bersikap pada tantangan tersebut yang tentu kita sudah terlatih dan terbiasa menghadapi tantangan besar bahkan tantangan menghadapi masa depan itu sendiri.
Pada konteks ini kita harus—atau mungkin (?)—sepakat bahwa badai kehidupan tidak akan pernah usai; sebab, setidaknya menurut saya, selama kita masih hidup, badai pasti (!) belum pasti berlalu, meskipun banyak orang mengatakan badai pasti berlalu.
Saya kira, selama kita masih hidup, badai arti kecil maupun besar tetap saja akan tiba; akan kita hadapi, seperti tantangan skripsi yang perlu dan penting kita hadapi dengan sikap, selain bersabar dan berproses menikmati belajar, menerima dan menjalaninya dengan kepala positif.
Tapi bagaimana menjalani masalah dengan kepala positif? Nah, kini badainya terletak pada cara berpikir kita; bukan pada masalah itu sendiri. Bukankah cara berpikir kita menentukan cara bertindak kita terhadap problem yang sedang kita hadapi, yang terkadang bringas nan pula bijak?
Saya kira selama manusia masih hidup di dunia akan tetap menghadapi ujian, meskipun porsi ujiannya beraneka ragam, ada yang kecil, ada yang besar atau setengah ringan saja. Sementara tantangan hidup (baca: studi kehidupan) jelas tidak seperti ujian/tugas/skripsi kampus tersebut, melainkan kita justru ditantang menghadapi masalah kehidupan tanpa jadwal; tanpa menjelang waktu; tanpa aba-aba.
Artinya, pilihan kita tetap pada dua poros ini: “iya” atau “tidak” menghadapi tantangan tersebut. Tapi, tak selamanya hidup ini harus selalu menantang melawan ombak berduri itu bukan?
Adakalanya kita perlu berkontemplasi sejenak sekaligus menertawakan perjalanan hidup; perjalanan kuliah kita yang kadang asem, kecut, asin, manis, tawar bahkan pahit?
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.