Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmad Dahri

Sadar Privilege, Upaya Berinteraksi dengan Diri Sendiri

Gaya Hidup | Sunday, 09 Apr 2023, 01:45 WIB
Ilustrasi Privilege (Sumber Gambar: Pixabay)

Dalam sebuah wasiat dari Luqman al Hakim terhadap anaknya, manusia itu dibagi menjadi tiga bagian. Ada bagian untuk Tuhan, untuk dirinya sendiri dan untuk cacing. Bagian untuk Tuhan adalah bagian terpenting secara keimanan, anda tentu yakin posisi anda sebagai manusia dengan Tuhannya.

Terlebih anak muda saat ini, kita kerap mengesampingkan porsi ini, walaupun dianggap satu kewajaran, kok agaknya tidak etis ya. Sedangkan bagian manusia untuk dirinya sendiri agaknya meliputi rangkaian sosial yang disebut hak asasi manusia. Dan tidak hanya itu, menyadari dirinya sebagai manusia dengan segala potensi dan kekurangan tentu membutuhkan energi dan nafas yang panjang, bahkan ruangnya sangat beragam, ini akan sangat rumit untuk dibahas dan dikaji.

Sedangkan bagian yang ketiga dari manusia adalah untuk cacing, secara interpretasi ini adalah bagian dari proses kematian, di mana dikatakan bahwa jasad yang dikubur akan kembali ke tanah sesuai dengan dari mana manusia diciptakan. Artinya, ketika manusia itu sudah berpisah antara ruh dan jasadnya, maka tubuh hanya sekedar tubuh yang bisa punah ditelan bumi.

Dari wasiat di atas, kita bisa mengolahnya menjadi satu ramuan mujarab untuk mengatasi kerepotan kita dalam mengontrol emosi. Energi yang kita miliki terkadang hanya terkuras untuk mengatasi problem yang remeh temeh, sedangkan tujuan utama kehidupan ini benar-benar ditinggalkan dan dikesampingkan.

Kalau saja kita bukan ciptaan Tuhan, agaknya kerusakan yang kita alami tidak akan pulih sedia kala. Sedangkan rasa malu, sedih, gembira dan lain halnya, begitu mudah untuk berpindah dan berganti sesuai kondisi psikisnya. Pertanyaannya adalah lantas sebagai manusia harus bagaimana?

Kalau anda lahir di era-era perkembangan teknologi informasi yang serba cepat, maka akan berbeda cara pandang, kontruksi sosialnya, bahkan komunikasi antar sesama. Hal ini dikarenakan “ruang dan dimensi” yang berbeda, walaupun proses kelahiran, kehidupan dan kematiannya sama.

Bagian manusia untuk Tuhan, tetaplah sebagai hamba yang mengabdikan diri kepada Tuannya, sampai kapanpun akan seperti itu. Begitu juga dengan bagian manusia untuk si cacing, akan sama dengan yang biasanya. Perbedaannya adalah ketika bagian manusia untuk dirinya sendiri, objeknya bukanlah dirinya sendiri, melainkan orang lain, pandangan orang lain, citra dan performanya, pengakuan dari orang lain, dan sebagainya.

Sedinamis itulah manusia, maka kita tidak bisa mengukur sesuai standart tertentu tentang bagaimana pola, karakter, watak dan relasinya. Karena manusia memiliki sifat yang sangat rentan dengan perubahan. Konsistensi itu selalu dipelajari karena memang mausia memiliki privilege akan hal itu.

Kita bisa menentukan akan kemana arah kehidupan kita, kita juga bisa menentukan kadar emosi sebagai respon terhadap sesuatu yang terjadi, walaupun jarang sekali kita jumpai respon-respon kepekaan untuk membangun kerjasama, gotong royong dan lain halnya. Adakalanya kita terlalu terperangah dengan kemegahan yang dimliki oleh seseorang, padahal itu semua tidak sama sekali menjamin apapun. Karena yang pasti adalah manusia mudah sekali berubah.

Sadar privilege bisa jadi sebuah rangkaian proses yang bisa kita lakukan untuk menghadapi berbagai persoalan. Kita tahu, kita ini beda-beda porsinya, akan tetapi kita memiliki seribu bahkan lebih solusi untuk mengatasi persoalan itu. Kita coba mulai dari sikap yang jarang kita sadari yaitu mengatur porsi keinginan yang sedang kita kejar.

Kita tidak benar-benar mengendurkan pikiran kita, atau sejenak menaruhnya lalu memandangi dan mengamatinya, karena kita terlalu fokus pada keinginan itu. Padahal, ide dan pikiran kita juga butuh istirahat, butuh ruang tenang. Akhirnya adalah ambisi yang muncul dan selalu dikedepankan. Dampak dari ambisi itulah yang perlu kita manage, agar tidak terlau capek, dan juga tidak terlalu santai.

Langkah selanjutnya adalah mencoba untuk mengendalikan waktu. Memang setiap manusia harus punya mapping of life yang ketat, akan tetapi perlu diingat, bahwa dalam setiap perjalanan waktu itu ada momentum-momentum yang harus disadari. Kalau cinta itu abadi maka yang fana adalah waktu, begitu kata Pak Sapardi, artinya waktu yang saat ini bersama kita, sangat mungkin untuk dikendalikan.

Persoalannya adalah anggapan bahwa setiap saat itu berharga menjadi sangat dogmatis. Kita beribadah saja ada waktunya, begitu juga dengan diri kita. Kapan kita harus melakukan reward by self kalau yang kita lakukan adalah mengejar dan terus berlari tanpa beristirahat sejenak. Karena aka nada rasa capek yang membelenggu dan membuat kita tidak stabil. Artinya, kita hanya perlu meluangkan waktu untuk melihat diri kita dari luar. Entah melalui masukan dari sahabat, mendengarkan kritik dan saran dari kolega atau keluarga, dan lain sebagainya.

Ketiga adalah mengetahui seberapa cepat atau lambat langkah kita, kadang kita terlalu terpacu pada keinginan sehingga kita lupa bahwa hidup ini adalah satu kondisi yang sangat berharga untuk dinikmati. Kita bisa meningatkan karier kita, akan tetapi akan sampai mana? Kalaupun itu tidak dinikmati dan mohon maaf terkadang mengenyampingkan kondisi yang benar-benar membutuhkan kita misalanya, justru kerap kita tinggal dan bahkan kita abaikan.

Sedangkan langkah keempat ini agaknya kembali kepada pribadi kita masing-masing, di mana mengalir mengikuti arus itu terkadang berat dan memberatkan kehidupan. Ada juga yang kehidupannya selalu melawan arus. Sehingga ia kerap mengatakan bahwa hidup itu menyenangkan karena banyak tantangannya. Kalau misal kita balik logikanya dengan hidup ini anugerah, dan setiap anugerah harus disyukuri dan dinikmati, artinya hidup ini seyogiyanya harus dinikmati dengan baik.

Pasti akan banyak di luar sana yang menentang pemahaman ini, terlebih mereka yang menganggap hidup ini perjuangan. Memang, apa sih yang tidak diperjuangkan dalam hidup, menikmati hidup sesuai arahnya saja butuh energi yang luar biasa. Lantas mengapa kita kerap menilai orang yang selama hidupnya tidak memiliki perubahan apapun sebagai bentuk kemalasan atau kebebalannya karena tak mau berjuang? Padahal mereka berjuang mati-matian menikmati hidupnya. Menikmati segala perta pora dan riuh kehidupan dengan sangat detail, buktinya mereka juga turut serta dalam setiap perkembangan kehidupan. Perihal standart yang kita bangun, itu agaknya juga sangat subjektif.

Saya teringat pesan sahabat saya kala itu kita sedang membincangkan pola komunikasi di sebuah organisasi, “memang ada juknis dan juklaknya, tetapi perlu digaris bawahi bahwa kita ini manusia, kita tidak bisa mengontol sesuatu yang ada di luar kita, sama sekali tidak bisa. Apalagi setiap dari kita sangat dinamis, tidak ada tolak ukur yang mapan tentang manusia itu sama, kecuali dalam aspek cipataan dan hamba Tuhan”.[]

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image