Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rochma Ummu Satirah

Indonesia Darurat Korupsi, Efektifkah UU Perampasan Aset Memberantasnya?

Ekonomi Syariah | Friday, 07 Apr 2023, 08:17 WIB

Indonesia Darurat Korupsi, Efektifkah UU Perampasan Aset Memberantasnya?
 Rochma Ummu Arifah

Semakin hari, publik disajikan dengan berita kasus flexing sejumlah kroni pejabat, mulai dari istri dan anak-anak mereka. Fakta ini kemudian menyeret pada pencopotan jabatan dari pejabat yang bersangkutan karena disinyalir memiliki kekayaan yang tak wajar. Wacana pengesahan UU Perampasan Aset pun kembali digulirkan dengan harapan mampunya aturan ini untuk memberantas tindak korupsi yang semakin menggurita di kalangan pejabat negara.
UU Perampasan Aset

Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI), Arsul Sani berpendapat mengenai wacana pengesahan UU Perampasan Aset, pihaknya menyetujui pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana.  Menurut Arsul, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana ini diperlukan agar proses-proses pengembalian kerugian negara bisa dimaksimalisasi lebih baik dan lebih cepat. Pasalnya, kata dia, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana tidak hanya terkait dengan tindak pidana korupsi (tipikor) saja, tetapi bisa juga dimanfaatkan untuk mengembalikan kerugian negara dalam tindak kriminal lainnya. Tindak kriminal yang dimaksud, yaitu tindak pidana narkotika, pajak, kepabeanan dan cukai, lingkungan hidup, illegal logging, hingga terorisme.

Untuk diketahui, RUU Perampasan Aset atau yang dikenal dengan istilah asset recovery merupakan salah satu aturan yang harus ada ketika suatu negara sudah menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Melawan Korupsi. Indonesia telah menandatangani konvensi tersebut pada 2003 dan melakukan ratifikasi dengan membuat Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006. Namun, hingga kini, Indonesia belum juga memiliki aturan hukum soal perampasan aset.

RUU Perampasan Aset kembali menjadi isu panas ketika Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Mahmodin (MD) meminta permohonan khusus kepada Komisi III DPR saat membahas transaksi janggal di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) senilai Rp 349 triliun. Permohonan khusus itu adalah terkait persetujuan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana serta RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal. Hal ini Mahfud sampaikan langsung kepada Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Wiryanto atau Bambang Pacul. (Nasional.kompas.com/01/04/2023).
Harapan Terberantasnya Tindak Korupsi

Tergulirnya kembali wacana untuk mengesahkan RUU yang sudah aturannya sudah diratifikasi sejak lama ini karena timbulnya kembali harapan bahwa negeri ini bersih dari tindak korupsi. Sebuah kejahatan yang tentunya sangat membahayakan negara dan memberikan kerugian yang tak sedikit untuk negara sendiri dan terlebih rakyat kecil.

RUU ini seakan menjadi harapan bahwa para pejabat yang seenaknya sendiri menumpuk kekayaan negara demi kepentingan pribadi dalam diminimalisir. Kemudian, segala harta kekayaan yang sudah mereka dapatkan akan bisa dikembalikan ke tangan negara kembali demi kepentingan negara ini.

Fakta semakin bertambahnya pejabat yang disinyalir melakukan korupsi semakin bertambah. Inilah fakta nyata dari kehidupan saat ini di mana manusia menghamba pada materi. Segala apa dilakukan tanpa mengindahkan norma dan nilai kehidupan. Yang penting, kekayaan bisa bertambah dan kehidupan mereka bisa makmur dan mewah. Sekali lagi tanpa memperhatikan perasaan dan nasib rakyat jelata yang semalin hati semakin tercekiki. Harga kebutuhan pokok dan BBM semakin hari semakin melambung tinggi yang membuat daya beli menurun serta taraf kehidupan menurun.

Watak Asli Kapitalisme

Hal seperti ini nyata terlihat dan didapatkan saat manusia saat ini hidup dalam naungan sistem kapitalisme. Sebuah sistem yang mengunggulkan materi dalam kehidupan. Siapa saja yang kaya akan berkuasa dan semakin kaya. Sedangkan rakyat kecil hanya akan mendapatkan remahan kesejahteraan yang minim.

Pejabat yang seharusnya memperhatikan nasib rakyat, mencurahkan segala daya dan upaya demi menyejahterakan rakyat malah lari dari tanggung jawab ini. Kekuasaan yang didapatkan yang harusnya demi mengurusi rakyat malah dipergunakan untuk kepentingan pribadi dan golongan yaitu untuk memupuk kekayaan pribadi. Tak ada lagi perhatian akan nasib rakyat yang harusnya diurusi.

Inilah watak asli kapitalisme yang saat ini diemban oleh negara ini. Sangat jauh berbeda dengan sistem Islam yang memiliki aturan bahwa penguasa beserta pejabat negara adalah pihak yang bertanggung jawab demi mengurusi urusan rakyat. Inilah misi kekuasaan yang diberikan kepada mereka. Tugas mereka adalah untuk membuat rakyat mudah dalam pemenuhan semua kebutuhannya.

Islam yang diterapkan dalam bingkai negara yaitu Daulah Khilafah memiliki mekanisme untuk menjadikan penguasa memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi. Pertama dengan penananam ketakwaan kepada Allah sehingga akan takut jika melakukan hal yang bertentangan dengan hukum syara'. Mereka tidak akan menjadi pribadi yang serakah yang akan melakukan segala macam cara demi kepentingan pribadi menumpuk harta. Justru, kekuasaan uang didapatkan akan membuat mereka lebih takut kepada Allah jika sampai berbua tidak amanah.

Kedua, Islam memiliki aturan yang tegas tentang sanksi bagi pelaku korupsi. Sanksi ini sampai mampu membuat pelakunya jera dan sekaligus membuat takut siapa saja agar tidak sampai melakukan hal yang serupa.

Islam juga memiliki mekanisme dalam perhitungan harta kekayaan pejabat negara. Hal ini dilakukan di awal dan di akhir masa jabatan. Perhitungan ini pernah dilakukan di masa Khalifah Umar bin Khattab Ra. Khalifah mengangkat pejabat khusus untuk mengawasi harta pejabat. Akan dilakukan pembuktian terbalik terhadap pejabat mana saja yang diduga melakukan korupsi. Jika dalam perhitungan ini terdapatkan jumlah harta yang tidak wajar, pejabat yang bersangkutan akan diminta untuk membuktikan sendiri bahwa harta yang ia dapatkan diperoleh dengan cara yang halal.

Dengan mekanisme inilah negara mampu menjaga bersihnya pemerintahan dari tindak korupsi. Namun, hal ini tentu saja hanya bisa diterapkan ketika aturan Islam dijalankan secara menyeluruh dalam bingkai Daulah Khilafah. Insya Allah. Wallahu alam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image