Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Romi Febriyanto Saputro

Sukarno, Literasi, dan Perpustakaan

Pendidikan dan Literasi | Monday, 03 Apr 2023, 10:55 WIB

*Oleh Romi Febriyanto Saputro*

Sukarno lahir dari pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai di Surabaya pada 6 Juni 1901. Dalam Buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” yang ditulis Cindy Adam (1965), beliau menuliskan bahwa bersamaan dengan kelahiranku menyingsinglah fajar dari suatu hari yang baru dan menyingsing pulalah fajar dari satu abad yang baru. Karena aku dilahirkan ditahun 1901. Bagi Bangsa Indonesia abad kesembilanbelas merupakan zaman yang gelap.

Hari lahirku ditandai oleh angka serba enam. Tanggal enam bulan enam. Masa kanak-kanakku tidak berbeda dengan David Copperfield Aku dilahirkan ditengah-tengah kemiskinan dan dibesarkan dalam kemiskinan. Aku tidak mempunyai sepatu. Aku mandi tidak dalam air jang keluar dari kran. Aku tidak mengenal sendok dan garpu. Ketiadaan yang keterlaluan demikian ini dapat menjebabkan hati kecil didalam menjadi sedih.

Nama kelahiranku adalah Kusno. Aku memulai hidup ini sebagai anak yang penyakitan. Aku mendapat malaria, disenteri, semua penjakit dan setiap penjakit. Bapak menerangkan, “Namanja tidak cocok. Kita harus memberinya nama lain supaya tidak sakit-sakit lagi." Bapak adalah seorang yang sangat gandrung pada Mahabharata, cerita klasik orang Hindu zaman dahulu kala.

Aku belum mencapai masa pemuda ketika bapak menyampaikan kepadaku “Kus, engkau akan kami beri nama Karna. Karna adalah salah-seorang pahlawan terbesar dalam cerita Mahabharata."

“Kalau begitu tentu Karna seorang yang sangat kuat dan sangat besar," aku berteriak kegirangan.,,

Oh, ya, nak," jawab bapak setuju. ,,Juga setia pada kawan-kawannya dan keyakinannya, dengan tidak mempedulikan akibatnya. Karna adalah pejuang bagi negaranya dan seorang patriot yang saleh.

Dalam budaya Jawa nama adalah harapan dari orang tua untuk Sang Putra. Harapan ini menjadi kenyataan ketika bersama Muhammad Hatta, Sukarno membaca teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Menurut Sekretaris Jenderal Asia Africa Reading Club, Adew Habsta, sebagaimana diberitakan Antara, 20 Mei 2016, Bung Karno dikenal sebagai salah satu sosok yang menguasai informasi dan pengetahuan demi terwujudnya sebuah negara bangsa. Bung Karno juga tergolong orang yang membaca segala hal dengan tertib, runut dan berakar pada khazanah budaya bangsanya. Terlebih dalam merumuskan landasan ideal dan pandangan hidup sebuah bangsa. Dari pengamatan yang mendalam terhadap segala kenyataan zaman saat itu, melalui pembacaan dan pengembaraan yang intens atas teks yang berkutat pada roh kebangsaan, maka dengan sendirinya telah menghimpun pelbagai gagasan pemikiran ihwal yang menjadi landasan kekuatan dalam gerak hidup berbangsa dan bermasyarakat.

Dalam buku “Sukarno Penyambung Lidah Rakyat“, Sukarno menuliskan bahwa Pak Tjokro adalah pujaanku. Aku muridnya. Secara sadar atau tidak sadar ia menggemblengku. Aku duduk dekat kakinya dan diberikannya kepadaku buku‐bukunya, diberikannya padaku miliknya yang berharga.

Buku‐buku menjadi temanku. Dengan dikelilingi oleh kesadaranku sendiri aku memperoleh kompensasi untuk mengimbangi diskriminasi dan keputus‐asaan yang terdapat di luar. Dalam dunia kerohanian dan dunia yang lebih kekal inilah aku mencari kesenanganku. Dan di dalam itulah aku dapat hidup dan sedikit bergembira.

Selurah waktu kupergunakan untuk membaca. Sementara yang lain bermain‐main, aku belajar. Aku mengejar ilmu pengetahuan di samping pelajaran sekolah. Kami mempunyai sebuah perpustakaan yang besar di kota ini yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Theosofi. Bapakku seorang Theosof, karena itu aku boleh memasuki peti harta ini, dimana tidak ada batasnya buat seorang anak yang miskin.

Aku menyelam sama sekali ke dalam dunia kebatinan ini. Dan disana aku bertemu dengan orang‐orang besar. Buah pikiran mereka menjadi buah pikiranku. Cita‐cita mereka adalah pendirian dasarku. Secara mental aku berbicara dengan Thomas Jefferson. Aku merasa dekat dan bersahabat dengan dia, karena dia berceritera kepadaku tentang Declaration of Independence yang ditulisnya ditahun 1776.

Aku memperbincangkan persoalan George Washington dengan dia. Aku mendalami lagi perjalanan Paul Revere. Aku dengan sengaja mencari kesalahan‐kesalahan dalam kehidupan Abraham Lincoln, sehingga aku dapat mempersoalkan hal ini dengan dia.

Menurut Tri Septiyantono (2014), pada kurun waktu 1950 – 1960, Presiden Soekarno mulai memperhatikan dunia perpustakaan. Untuk keperluan rakyat, didirikan tiga jenis perpustakaan umum yang lebih dikenal dengan nama Taman Pustaka Rakyat (TPR). Pembangunan TPR disesuaikan dengan tingkat pemerintahan.

Di setiap desa didirikan Taman Pustaka Rakyat C dengan komposisi koleksi 40 % bacaan untuk siswa setingkat SD dan 60 % untuk siswa setingkat SMP. Untuk tingkat kabupaten, pemerintah membangun Taman Pustaka Rakyat B dengan komposisi koleksi 40 % untuk buku bacaan setingkat SMP dan 60 % untuk bacaan setara siswa SMA. Di ibukota provinsi dibangun Taman Pustaka Rakyat A.

Ketika itu, pembangunan TPR sebagai perpustakaan umum berjalan dengan cepat. Semua koleksi dan gaji pegawai TPR ditanggung oleh pemerintah (Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan).

Kebijakan Presiden Sukarno membangun perpustakaan ini menunjukkan bahwa beliau sangat menyadari bahwa perpustakaan merupakan lahan subur untuk membangun budaya melek informasi, sebuah budaya yang kini dikenal dengan istilah literasi informasi.

Menurut H.A.R Tilaar (1999), kemampuan informatif merupakan kemampuan seseorang untuk menganalisa dan mencari manfaat dari informasi yang diperoleh. Ada beda antara data dan informasi. Data yang telah diolah berubah menjadi informasi dan inilah yang mempunyai kegunaan di dalam perkembangan ilmu pengetahuan ataupun aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam kehidupan manusia.

Sebenarnya yang kita perlukan ialah penguasaan informasi hasil olahan kemampuan berpikir. Informasi yang diperoleh di dalam proses pembelajaran bukanlah informasi yang masing-masing berdiri sendiri, melainkan informasi tersebut merupakan suatu rangkaian di dalam suatu pola jaringan sehingga memiliki arti. Informasi tersebut adalah hasil karya banyak pakar sehingga nanti akan menghasilkan sesuatu yang kreatif dan bermakna.

Perpustakaan sebagai salah satu sumber belajar mempunyai tugas menyediakan berbagai informasi mengenai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pernah terbit. Aktivitas utama dari perpustakaan adalah menghimpun informasi dalam berbagai bentuk atau format pelestarian bahan pustaka dan sumber informasi lain termasuk internet dan pelatihan.

Pada abad informasi ini, perpustakaan mulai menerapkan manajemen pengetahuan untuk meningkatkan dan memperbaiki pengelolaan perpustakaan dalam rangka memberikan layanan berbasis pengetahuan yang lebih aplikatif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Manajemen pengetahuan digunakan untuk memperbaiki komunikasi di antara pustakawan dan pemustaka untuk memperbaiki proses pelayanan, menanamkan budaya berbagai pengetahuan serta mengimplementasikan system pendidikan sepanjang hayat.

Menurut Singh dalam artikelnya yang berjudul “Special Libraries in India: Some Current Trends” menyatakan bahwa manajemen pengetahuan digunakan untuk mengarahkan upaya suatu organisasi dalam menangkap, serta mempertahankan pengetahuan tersembunyi dan eksplisit dalam organisasi yang merupakan modal intelektual organisasi. Perpustakaan sebagai lembaga yang bertugas menyimpan, mengolah, dan mendistribusikan informasi dituntut mampu memberdayakan masyarakat dengan menggali potensi yang dimiliki perpustakaan.

*Romi Febriyanto Saputro adalah Pustakawan Ahli Madya Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image