Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Sejatinya Ramadhan itu Merupakan Resakralisasi dan Rehumanisasi Kehidupan

Agama | Sunday, 02 Apr 2023, 20:48 WIB

Jika merujuk kepada awal penciptaan manusia, kehidupan kita ini bersifat sakral, suci, karena diciptakan Dzat Yang Maha Suci. Bukan hanya awal penciptaannya saja, ketika lahir dari rahim ibu pun manusia itu suci, laksana kertas putih yang belum ternodai dengan tinta atau kotoran apapun.

Dzat Yang Mahasuci memberikan tugas kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi. Tugas ini pun merupakan hal sakral yang bertujuan untuk memakmurkan bumi yang bernilai sebagai bagian dari pengabdian kepada-Nya. Imbas dari pelaksanaan tugas yang didasari pengabdian tulus kepada-Nya ini adalah menebarkan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan (humanisasi).

Kesucian ini bertambah kuat nilainya ketika sebelum terlahir ke muka bumi, di alam azali, seluruh ruh manusia telah mengakui dan meridai Allah sebagai Tuhan penguasa alam yang harus ditaati (Q. S. Al A’raf : 172). Karenanya sudah seharusnya jika seluruh aktivitas dan tindakan selama menjadi khalifah di muka bumi ini berdasarkan keyakinan atas titah Sang Pencipta, demi meraih cinta dan rida-Nya. Pondasi ini kemudian kita kenal dengan istilah lillahi ta’ala alias ikhlas.

Keikhlasan berarti kemurnian hati dalam merasakan getaran kehadiran Allah, Sang Pencipta Yang Maha Ghaib dalam setiap desah nafas dan langkah-langkah kehidupan. Keikhlasan akan melahirkan sikap ihsan, yakni sikap merasakan berhadapan dan berada dalam pengawasan-Nya. Kedua sikap ini bermuara pada sikap kehati-hatian dalam menjalani kehidupan, kesiapan untuk hidup berdampingan, saling menghormati, saling mengasihi, dan saling menyayangi antar sesama manusia, bahkan antar sesama makhluk Allah.

Sayangnya, sejak diangkat menjadi khalifah dan penghuni bumi, banyak manusia yang melepaskan diri dari nilai-nilai hidup yang sakral dan ideal tersebut. Kehidupan manusia lebih banyak menuruti bisikan nafsu daripada mengikuti bisikan hati nurani. Bisikan dan beragam lembaran hitam legam menutupi bisikan suci hati nurani.

Bisikan hitam legam yang bersumber dari hawa nafsu menutupi suara hati nurani akan adanya Pengawasan dari Yang Maha Ghaib. Hawa nafsu mendorong anggota badan untuk melakukan pembangkangan atas titah dan perintah Allah. Lambat laun jiwa pun menjadi bebal dan kebal, tidak lagi dapat merasakan adanya getaran kehadiran Allah Yang Maha Ghaib. Kesadaran akan adanya Allah yang diwujudkan dalam pengakuan beragama Islam hanya tertulis pada kartu identitas atau kehadiran simbol keagamaan ketika ada momen hari-hari besar keagamaan.

Keberagamaan yang hanya sebatas simbol ini berdampak kepada tidak berwibawanya agama yang kita anut, juga menjadikan orang lain tak begitu tertarik dengan agama kita. Perilaku kita sering berseberangan dengan pedoman yang telah ditentukan ajaran Islam.

Karen Amstrong, seorang ilmuwan asal Inggris pernah mengatakan, “salah satu alasan mengapa agama tampak tidak relevan pada masa sekarang ini adalah karena banyak diantara kita tidak lagi memiliki rasa bahwa kita diawasi Dzat Yang Maha Ghaib.”

Ramadhan dengan ibadah puasanya merupakan upaya resakralisasi atas kehidupan kita yang ternodai dengan beragam nafsu duniawi. Ibadah puasa berupaya kembali mensakralkan hati nurani agar terlepas dari debu-debu hawa nafsu yang menutupi kebeningan cermin hati yang dapat memantulkan cahaya ilahi dalam kehidupan.

Jujur harus kita akui, keyakinan kita kepada Allah sering hanya sebatas lisan dan pikiran, belum diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Dengan kata lain kita sering menyandera Allah di atas sajadah ketika shalat, di masjid, atau di tanah suci. Di luar itu, Allah kita jauhkan dari kehidupan agar tidak ikut campur dalam segala aktivitas. Kita baru menyapa kembali Allah ketika kesah dan kehidupan penuh petaka menimpa kita.

Ibadah puasa merupakan wahana melatih jiwa untuk kembali merasakan getar-getar kehadiran dan pengawasan Dzat Yang Maha Ghaib dan Maha Suci. Getaran kehadiran dan pengawasan-Nya berhasil tumbuh dalam hati nurani. Bukti sederhananya, kita tak berani makan minum pada siang hari pada bulan Ramadhan meskipun di hadapan kita tersedia makanan seraya di sekitar kita tak ada orang yang memperhatikan atau melihat kita.

Getaran seperti itulah yang harus terus dipraktikkan dalam kehidupan di luar Ramadhan agar kehidupan kita kembali sakral. Getaran ini pun harus melahirkan kembali nilai-nilai kemanusiaan (rehumanisasi), akhlak mulia, saling menyayangi, bersikap empati terhadap sesama manusia seperti halnya sifat Allah Yang Mengasihi, dan Menyayangi kepada seluruh Makhluk-Nya.

Sikap ini pun hadir ketika bulan Ramadhan tiba. Saling membagi, saling mengasihi, dan saling menyayangi tumbuh dan berkembang setiap hari. Kesalehan dan kedermawanan merupakan sikap yang sangat sayang untuk dilewatkan selama bulan Ramadhan.

Sungguh suatu keberuntungan jika ibadah puasa kita mampu kembali mensakralkan kehidupan ini seraya memperbaharui sikap dan rasa kemanusiaan (humanis). Kata humanis berdekatan dengan kata humus yang berarti tanah atau bumi. Kata humus juga melahirkan kata homo, humanus, dan humilis artinya manusia yang membumi, merendah, dan hidup bersahaja.

Ibadah puasa juga merupakan pembelajaran mengendalikan sikap sombong yang disimbolkan dengan kelesuan tubuh, tak berdaya, dan kebersahajaan atau kesederhanaan yang disimbolkan dengan makan hanya dua kali sehari. Namun demikian, bukanlah hal yang mudah untuk menjadikan ibadah puasa kita sebagai upaya resakralisasi dan rehumanisasi kehidupan, gaya hidup hedonis sering kali menyapa kita.

Tak jarang kemewahan ketika sahur dan berbuka sering menjadi aksesoris yang melekat pada pelaksanaan ibadah puasa. Karena kemewahan yang menyelimuti jiwa ini, banyak orang yang gagal meraih hasil ideal dari ibadah puasa, hanya mendapatkan lapar dan dahaga. Karenanya sudah seharusnya bagi kita memohon perlindungan kepada Allah agar terhindar dari ibadah puasa yang lebih mementingkan selebrasi keduniawian yang penuh kemeriahan dan kemewahan seraya hampa dari resakralisasi dan rehumanisasi kehidupan.

Ilustrasi : mengasah kepekaan spiritual dengan tadarus al Qur'an (sumber gambar : republika.co.id)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image