BELAJAR DEMOKRASI BERSAMA BUNG HATTA
Politik | 2021-12-21 10:19:30Buku "Demokrasi Kita" 1966
Buku “Demokrasi Kita” ditulis langsung Sang Proklamator, DR Mohammad Hatta sebagai kritik atas tindakan-tindakan dan kebijakan sahabat seperjuangannya, Soekarno, yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Tulisan kritis ini ditulis pada tahun 1960 dan dimuat dalam majalah Islam “Pandji Masyarakat” yang dipimpin oleh Buya Hamka. Akibatnya majalah “Pandji Masyarakat” dilarang terbit bahkan orang yang membaca dan menyimpan majalah tersebut akan diancam hukuman. Bersamaan dengan bangkitnya angkatan 66, buku ini diterbitkan pada tahun 1966. Diterbitkan oleh PT Pustaka Antara Jakarta dengan izin langsung dari Bung Hatta.
Oposisi Bung Karno?
Secara kritis dan obyektif, Bung Hatta memberikan masukan terhadap pelaksanaan pemerintahan Bung Karno pada masa demokrasi terpimpin. Pada buku ini, Bung Hatta mengungkapkan alasannya mundur dari jabatan wakil presiden. Jika kita membacanya dengan seksama, kita dapat memahami perasaan batin Bung Hatta terhadap kondisi politik nasional yang kian tak menentu itu.
Bagian awal buku ini ini mengupas tuntas tentang tindakan-tindakan presiden yang yang membubarkan Konstituante yang dipilih oleh rakyat. Bung Hatta mengkritisi kondisi Dewan Perwakilan Rakyat, sekaligus memberikan solusi bagaimana seharusnya DPR bertugas. Bung Hatta memberikan kritik yang mendasar atas pembentukan Dewan Pertimbangan Agung dan Dewan Perancang Nasional yang susunannya ditentukan oleh Presiden Soekarno secara sepihak. Bung Hatta membeberkan bahwa pemerintahan dengan demokrasi terpimpin lebih mengarah pada diktator.
Secara objektif, kita juga tidak boleh menyalahkan Bung Karno begitu saja. Akan tetapi masukan-masukan Bung Hatta dalam buku ini, dapat kita simpulkan sebagai check and balance dalam negara demokrasi, mengingat saat itu Bung Hatta sudah tidak terlibat lagi dalam pemerintahan baik sebagai wakil presiden ataupun sebagai perdana menteri. Kurang harmonisnya hubungan politik antara Bung Karno dan Bung Hatta, sangat terlihat pada uraian di dalam buku ini. Tetapi juga harus diingat, meskipun dwitunggal itu sudah tidak manunggal, tetapi beliau berdua selamanya adalah sahabat yang saling mendukung, melengkapi dan mendidik pelaksanaan demokrasi di awal kemerdekaan. Beliau berdua tetaplah founding father untuk selamanya. Bahkan kondisi politik yang “tidak akur” antara dwitunggal ini, kelak menjadi sendi-sendi dan bangunan fundamental dalam kehidupan demokrasi bangsa ini, bahwa perbedaan pandangan politik tak boleh melatarbelakangi saling benci dan caci maki. Pandangan Politik boleh beda, boleh berlawanan, tapi rasa cinta sesama anak bangsa tak boleh sirna karenanya.
Demokrasi Anak Kandung Ibu Pertiwi
Terlepas dari kritik Bung Hatta terhadap Bung Karno, bila dicermati lebih lanjut lagi buku ini memberikan gambaran yang jelas mengenai demokrasi Pancasila ala Indonesia dalam pandangan Bung Hatta.
Demokrasi memang lahir dari barat, didasari oleh bangkitnya filsafat Yunani Kuno dan diperbarui dengan gagasan-gagasan modern pada era revolusi-revolusi besar di Eropa. Meski demikian, idealisme kita sebagai bangsa Indonesia adalah bahwa demokrasi yang diterapkan di Indonesia merupakan demokrasi yang sudah terlepas dari dasar-dasar demokrasi barat. Disebut juga demokrasi kita adalah demokrasi yang sesuai dengan jati diri bangsa kita, demokrasi Pancasila.
Jauh dari maksud kritis buku ini, Bung Hatta memberikan fundamen yang kuat tentang keindonesiaan demokrasi kita. Bahkan di awal, Bung Hatta menjelaskan bahwa demokrasi tidak akan pernah lenyap dan sirna dari bangsa Indonesia. Kondisi yang mengarah pada kepemimpinan diktator, tidaklah pantas dianggap sebagai hilangnya demokrasi. Bung Hatta hanya menganggap tersingkir saja, dan pasti akan kembali berdiri dengan tegap. Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi adalah sistem yang sesuai dan relevan dengan bangsa kita.
“Ada dua hal jang memberikan kejakinan itu kepada saja. Pertama tjita-tjita demokrasi yang hidup dalam pergerakan kebangsaan di masa pendjadjahan dahulu, jang memberikan semangat kepada perjuangan kemerdekaan. Kedua pergaulan hidup Indonesia yang asli berdasarkan demokrasi, jang sampai sekarang masih terdapat di dalam desa Indonesia.” Bung Hatta (1966:20-21)
Nafas dan jiwa yang yang diajarkan oleh demokrasi sebenarnya adalah darah daging bangsa Indonesia. Semangat demokrasi itu pada hakikatnya telah hidup pada masa pergerakan kebangsaan, bersama-sama menentang penjajahan. Jiwa bangsa itu memberikan semangat untuk mencapai Indonesia merdeka. Tanpa diajarkan oleh paham demokrasi barat pun, sesungguhnya nilai fundamental ini telah ada dalam bangsa Indonesia. Semangat kolektivitas untuk menggapai kemerdekaan adalah kekhasan bangsa Indonesia. Ditarik jauh sebelum para penjajah menguasai nusantara, semangat kebersamaan masyarakat telah ada. Semangat kebersamaan inilah yang tidak ada di Barat dan menjadi spesial dalam demokrasi kita.
Memang saat itu negara Indonesia adalah kumpulan kerajaan-kerajaan yang bersifat feodal. Negara-negara kerajaan yang dikuasai oleh raja secara mutlak dalam gugusan pulau-pulau Nusantara yang tersebar luas. Meski demikian dalam desa-desa pada kerajaan-kerajaan itu kehidupan demokrasi sudah tumbuh subur dan berlangsung menjadi adat-istiadat. Pada akhirnya, Hukum Adat kini menjadi bagian tak terpisahkan dari hukum yang berlaku di Indonesia.
Nilai kebaikan universal itu diantaranya adalah kebiasaan bergotong-royong untuk menyelesaikan pekerjaan secara bersama-sama. Yang dikerjakan secara bersama-sama tidak hanya kepentingan umum, tapi kepentingan pribadi pun dilaksanakan secara bergotong royong. Sudah kita ketahui, membangun rumah, mengerjakan sawah, bahkan mengantarkan jenazah ke pemakaman dilaksanakan secara bersama-sama dengan sukarela tanpa ada pengupahan. Hal ini menunjukkan betapa tingginya nilai kebaikan bangsa Indonesia.
Nilai fundamental ini memanusiakan manusia secara universal. Adat istiadat Nusantara, yang meliputi kebersamaan dan kegotongroyongan mencakup segala aspek kehidupan, baik yang umum maupun privat. Lebih terperinci, Indonesia juga menganut demokrasi kerakyatan dengan menempatkan kedaulatan ditangan rakyat. Sebagaimana kita ketahui, konsepsi kedaulatan rakyat yang digahas JJ Rousseau lebih mengarah pada individualisme. Akan tetapi demokrasi kerakyatan Indonesia, mengutamakan nilai kolektivitas dalam mencapai tujuan utama berdirinya negara Indonesia.
Demokrasi Indonesia Bukan Demokrasi (Barat)
Bung Hatta menyebutkan Revolusi Perancis 1789 yang disebut sebagai sumber demokrasi barat, meletus bagi revolusi individual untuk kemerdekaan orang-perorangan dari ikatan feodalisme. Cita-cita sama rata sama rasa yang menjadi tujuan utama revolusi Perancis hanya membawa persamaan politik. Pada hakikatnya secara ekonomi, masyarakat akan terus terbagi dalam lapisan-lapisan tertentu. Secara kodrat dan sunnatullah, perbedaan kelas sosial ekonomi dalam masayarakat akan terus ada. Mustahil jika kelas sosial itu dihapus dari masyarakat, kecuali di akhir zaman kelak dimana orang sudah sukar menjumpai mustahik (delapan golongan yang berhak menerima zakat). Perbedaan kelas itu tidaklah menjadi masalah, ketika individu dalam masyarakat saling pengertian. Gagasan sama rata sama rasa itu mungkin berhasil dalam politik, yang memberikan hak pilih dan dipilih yang bagi seorang profesor maupun seorang mandor.
Bahkan menurut Bung Hatta dengan semangat individualisme pasca revolusi Perancis, kapitalisme semakin tumbuh subur. Pendapat Bung Hatta ini dapat dibenarkan, mengingat semangat kapitalisme itu terus membumi dan melatarbelakangi kolonialisme dan penjajahan yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.
Konsep Cemerlang Bung Hatta : Demokrasi Sosial Indonesia
Kita kenal dari Bung Hatta dengan pemikiran mengenai perekonomian Indonesia yang mengedepankan koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional. Bung Hatta menjelaskan bahwasanya demokrasi politik saja tidak cukup, karena perlu dilaksanakan demokrasi ekonomi. Konsep demokrasi politik dan demokrasi ekonomi inilah, Bung Hatta sebut sebagai demokrasi sosial yang lebih luas dan kolektif. Demokrasi sosial mencakup semua aspek kehidupan yang menentukan nasib manusia.
Konsep berlian Bung Hatta ini, memperkuat bahwa demokrasi Indonesia dengan Pancasila-nya, bukankah demokrasi ala barat. Tetapi perlu diingat bahwa demokrasi sosial ala Bung Hatta, bukankah demokrasi sosialis yang mengarah pada marxisme – leninisme (komunisme).
Menurut Bung Hatta ada tiga sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi sosial Indonesia. Sumber-sumber ini ini ada dalam jiwa pendirian negara kita. Yang pertama adalah paham sosialis barat. Pemahaman sosialis barat menjadi sumbu pemantik nilai-nilai kemanusiaan dan humanisme yang sebelumnya sudah ada pada jati diri bangsa Indonesia. Adalah hal yang lumrah, ketika bangsa Indonesia sempat lupa dengan jati dirinya sebab politik devide at impera dan penjajahan kolonial yang begitu lama. Akhirnya paham paham sosialisme dari barat itu membangkitkan kembali semangat humanisme sosial yang sudah ada pada bangsa Indonesia.
Yang kedua adalah ajaran Islam. Secara umum adalah ajaran agama dalam konsep universal. Karena ajaran agama senantiasa mengajarkan kebaikan universal, kebenaran, dan keadilan Ilahi dalam masyarakat. Keadilan Ilahi ini turut mengajarkan persaudaraan antarmanusia sebagai makhluk Tuhan.
Yang ketiga adalah pengetahuan bahwa masyarakat Indonesia hidup berdasarkan kolektivisme. Ketiga keyakinan ini memperkuat pemerintah Indonesia yang harus berdasarkan dengan demokrasi asli. Bung Hatta menyebutkan bahwa demokrasi yang berdasarkan dengan nilai-nilai keindonesiaan itu adalah demokrasi asli yang sudah ada dalam kehidupan desa Indonesia. Demokrasi yang asli itu harus senantiasa dikembangkan mengikuti perkembangan zaman.
Konsepsi demokrasi modern yang dikembangkan oleh pendiri bangsa kita telah sesuai dengan demokrasi asli bangsa Indonesia. Sudah sesuai dengan nilai nilai yang menjadi kepribadain Bangsa kita sejak dahulu. Meski kehidupan masyarakat feodal di bawah raja, tapi Raja bukanlah pemilik tanah. Pada Masa feodal Indonesia dahulu, tanah merupakan kepunyaan masyarakat desa, bukan kepunyaan raja yang mengatasnamakan negara. Konsep inilah yang yang tetap memegang prinsip humanisme meski dibawa pemerintahan feodalisme.
Adat istiadat lain yang menjadi ciri demokrasi asli Indonesia adalah musyawarah mufakat. Segala hal yang mengenai kepentingan umum dibahas secara bersama-sama dan diputuskan dengan kata sepakat. Adat istiadat lain yang merupakan bentuk demokrasi asli Indonesia adalah adanya hak untuk mengadakan protes bersama terhadap aturan raja yang dirasa tidak adil. Rakyat diberikan hak untuk menyingkir dari daerah kekuasaan raja. Adat istiadat ini disebut juga sebagai orang perorangan untuk menentukan nasib sendiri.
Beberapa bukti yang lain tentang demokrasi yang asli Indonesia ini adalah adanya hak untuk protes secara bersama-sama untuk datang di alun-alun dan berdiam tanpa berbuat apapun. Ini merupakan konsep demonstrasi damai yang sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu.
Dapat digarisbawahi terdapat lima ciri utama demokrasi asli bangsa Indonesia, yaitu rapat, mufakat, gotong royong, hak mengadakan protes bersama, dan menyingkir dari daerah kekuasaan raja.
Pemerintahan Desa sebagai Wujud Kemandirian Sosial Ekonomi
Jauh sebelum realisasi otonomi daerah pada era reformasi, Bung Hatta memberikan gagasan bahwa demokrasi desa yang sudah ada dalam masyarakat Indonesia adalah dasar untuk dilaksanakannya pemerintahan daerah yang memberikan kebebasan pada daerah-daerah untuk mengadakan pembangunan secara mandiri. Otonomi daerah ini Bung Hatta sarankan sebagai solusi dari banyaknya gerakan separatisme yang mengancam persatuan dan persatuan nasional di era demokrasi terpimpin.
Demikianlah pandangan Bung Hatta yang menjadi penguat kita untuk menyakini dan melaksanakan prinsip-prinsip dasar demokrasi Pancasila, sebagai sistem pemerintahan yang baik karena sesuai dengan nilai-nilai dan kepribadian luhur bangsa. Ketegasan Bung Hatta dalam memberikan argumentasi, memantapkan dan menguatkan kedudukan demokrasi Pancasila kita di tengah peradaban zaman yang semakin kompleks. Buku ini akan selalu relevan, sepanjang masa.
Munculnya propaganda dari berbagai kalangan yang menyangsikan relevansi demokrasi Pancasila terhadap perkembangan zaman, dengan tegas tertolak mentah-mentah oleh Bung Hatta. Banyak kalangan yang mudah terprovokasi propaganda tersebut, utamanya mereka para generasi muda. Anak anak muda rasanya perlu memantapkan (ulang) keyakinannya terhadap kesuksesan demokrasi Pancasila dalam menjaga keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara selama lebih dari 75 tahun. Bahkan sukses menghimpun Nusantara dalam satu kesatuan adat yang kuat, sebelum ada Negara Indonesia. Bung Hatta memang sudah tiada pada 14 Maret 1980 lalu, tapi pemikirannya dan sumbangsih yang besar terhadap demokrasi sosial di negeri ini akan terus hidup.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.