Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image IDA ANNISA

Tarif Listrik Naik, Kado Pahit di Sistem Kapitalistik

Politik | 2021-12-21 09:56:57

Dimana pemerintah berencana akan menaikkan tarif listrik pada 2022 tampaknya ini akan menjadi kado pahit bagi rakyat. Rakyat tidak bisa menolak harus menerima kebijakan kapitalisme yang semakin menyengsarakan rakyat. Pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyanto mengatakan bahwa penyesuaian tarif ini terpengaruh tiga faktor, yaitu kurs dollar, inflasi, dan harga minyak dunia. Menurutnya, masyarakat bisa menerima kenaikan tarif listrik jika imbang dengan peningkatan layanan oleh penyedia layanan, yakni PLN.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan rencana penyesuaian tarif listrik tersebut bakal terealisasi jika kondisi pandemi Covid-19 sudah makin membaik.

Penerapan kenaikan tarif listrik akan menyasar 13 golongan masyarakat pelanggan listrik nonsubsidi. (kompas.com, 10/12/2021). Di antaranya, pelanggan rumah tangga dengan daya 1.300 VA, 2.200 VA, 3.500 VA, hingga 5.500 VA; pelanggan rumah tangga dengan daya 6.600 VA ke atas; pelanggan bisnis dengan daya 6.600—200 kVA; pelanggan pemerintah dengan daya 6.600—200 kVA; penerangan jalan umum; pelanggan rumah tangga daya 900 VA rumah tangga mampu (RTM); pelanggan pelanggan bisnis daya >200 kVA; pelanggan industri >200 kVA; pelanggan pemerintah dengan daya >200 kVA; layanan khusus, tarifnya Rp1.644,52 per kWh; dan industri daya >30.000 kVA.

Pemerintah beralasan menaikkan tarif listrik, ada dua alasan atas rencana kenaikan tarif listrik 2022.

Pertama, fluktuasi pergerakan kurs dolar AS, harga minyak mentah (ICP), dan inflasi. Tiga komponen ini memengaruhi naik turunnya tarif listrik yang disesuaikan per tiga bulan. Saat ini, minyak mentah memang menjadi salah satu komponen biaya pokok penyediaan (BPP) dalam pembangkit listrik. Selain itu, harga komoditas bahan bakar pembangkit listrik seperti batu bara selalu mengikuti pergerakan harga minyak dunia.

Kedua, melakukan perbaruan penyesuaian listrik bagi 13 golongan pelanggan nonsubsidi. Pemerintah mengatakan, penyesuaian tarif listrik kepada 13 golongan nonsubsidi belum pernah dilakukan sejak tahun 2017 karena untuk menjaga daya beli masyarakat dan daya saing industri.

Akibatnya, pemerintah harus membayar kompensasi kepada PLN. Bila ada penyesuaian tarif listrik, beban pemerintah dalam membayar kompensasi untuk PLN otomatis bisa berkurang. Dampak yang terjadi ketika Kenaikan tarif listrik pasti sangat jelas berdampak pada masyarakat. Kebijakan menaikkan listrik sepertinya sudah menjadi tabiat yang tidak bisa hindari atau kebiasaan yang bisa hilang dari sistem kapitalisme sekarang ini.

Dampak ini juga berpengaruh pada kenaikan harga arang-barang yang mereka produksi. Jika tarif listrik naik, biaya operasional untuk produksi ikut naik, maka pada akhirnya turut memengaruhi harga produk yang masyarakat konsumsi. Ketika harga barang naik, daya beli masyarakat pasti akan terjadi penurunan. Sebab, untuk mengembalikan roda perekonomian seperti sedia kala tidaklah mudah. Msyarakat akan cenderung menahan pengeluaran karena pendapatan tidak banyak bertambah. Pemadaman bergilir adalah satu contoh layanan listrik belum optimal. Pemadaman listrik yang berulang jelas merugikan masyarakat. Disamping itu barang-barang seperti elektronik juga akan mudah rusak.

PLN selaku penyedia layanan memiliki tiga tugas utama terhadap masyarakat:

Pertama: elektrifikasi hingga ke rumah tangga secara efektif dan benar. Meski pada 2020 rasio elektrifikasi mencapai 99,2%, faktanya masih banyak masyarakat yang belum mendapat akses layanan listrik, terutama di daerah terpencil atau terluar. Di beberapa daerah ada yang 30% warga belum teraliri listrik sama sekali. Pada Mei 2021, pemerintah mencatat sekitar 500 ribu rumah tangga belum memiliki akses listrik.

Kedua: harga listrik mestinya terjangkau ke seluruh elemen masyarakat. Penduduk yang berada di desa terpencil pasti kesulitan bila tarif listrik terus mengalami kenaikan. Harga listrik makin tidak terbeli, ancaman kemiskinan berada di depan mata.

Ketiga: melakukan transformasi energi terbarukan (EBT). Hanya saja, program EBT tetap tidak akan berdampak positif bagi masyarakat bila pengelolaannya masih berkiblat pada sistem kapitalisme.

Ketika hidup di dalam sistem yang menerapkan ideologi kapitalisme, maka suatu yang wajar tidak ada yang gratis. Bahkan Untuk sekadar menikmati aliran listrik saja harus berbayar. Meski pemerintah menerapkan listrik bersubsidi, tetapi dari tahun ke tahun nilai subsidi berkurang. Wacana kenaikan listrik 2022 tersinyalir juga karena ada upaya pemerintah memangkas subsidi listrik untuk PLN sekitar 8,13%.

Dengan kata lain, negara tidak ubahnya pedagang yang sedang menjual dagangannya, yakni listrik kepada rakyatnya sendiri. Rakyat seperti pembeli yang harus mengemis subsidi dan pelayanan listrik. Ada harga, ada layanan Begitulah watak penguasa kapitalis. Padahal, listrik adalah salah satu sumber energi milik rakyat. Mestinya rakyat dapat menikmatinya secara murah, bahkan bisa jadi menikmati secara gratis. Namun apa yang terjadi pada Negara ini masih berhitung dalam memberikan pelayanan kepada rakyatnya.

Listrik Murah atau Gratis Bukan Suatu Utopia

Kecukupan ini akan terwujud manakala kekayaan alam yang menguasai hajat publik ini terkelola dengan baik. Sayangnya, liberalisasi sumber energi dan layanan listrik menihilkan peran negara sebagai penanggung jawab utama. Dalam Islam, listrik merupakan harta kepemilikan umum. Rasulullah saw. bersabda:

“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad). Listrik menghasilkan aliran energi panas (api) yang dapat menyalakan barang elektronik. Dalam hal ini, listrik termasuk kategori “api” yang disebutkan dalam hadis tersebut. Selain itu, batu bara yang merupakan bahan pembangkit listrik termasuk dalam barang tambang yang jumlahnya sangat banyak haram hukumnya dikelola oleh individu atau swasta.

Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan Abyadh bin Hammal al-Mazaniy, “Sesungguhnya ia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah. Maka, beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki yang ada di dalam majelis, ‘Apakah engkau mengetahui apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah engkau berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir.’ Akhirnya beliau bersabda, "tarik kembali darinya.'” (HR Tirmidzi)Tindakan Rasulullah saw. yang meminta kembali garam setelah mengetahui jumlahnya sangat banyak dan tidak terbatas ini adalah dalil larangan individu untuk memiliki barang tambang.

Dengan demikian pengelolaan sumber pembangkit listrik yaitu batu bara serta layanan listrik dalam hal ini PLN haruslah berada di tangan negara. Individu atau swasta tidak boleh mengelolanya dengan alasan apa pun.Untuk memenuhi kebutuhan listrik, Khilafah bisa menempuh beberapa kebijakan, yakni membangun sarana dan fasilitas pembangkit listrik yang memadai, melakukan eksplorasi bahan bakar listrik secara mandiri. Mendistribusikan pasokan listrik kepada rakyat dengan harga murah atau diberikan secara gratis kepada rakyat.

Pengelolaan listrik berdasarkan syariat Islam akan mampu membuat rakyat dapat merasakan kekayaan alam yang mereka miliki untuk memenuhi kebutuhan listrik dalam kehidupan masyarakat.

Wallahu alam bishowwab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image