Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmad Islamy Jamil

Standar Ganda FIFA sebagai Non-state Actor dalam Politik Internasional

Politik | Thursday, 30 Mar 2023, 22:10 WIB

Ahmad Islamy Jamil

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia

RABU malam, 29 Maret 2023, publik di negeri ini dibuat terhenyak oleh satu kabar yang tak enak didengar. Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) resmi mencoret Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2023.

Pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2023 menyusul sikap yang disuarakan oleh sejumlah politisi dan kepala daerah, beberapa waktu lalu. Mereka dengan lantang menolak kedatangan tim nasional Israel—yang menjadi salah satu peserta dalam turnamen itu—di wilayah mereka.

Menghadapi penolakan itu, FIFA pada mulanya merespons dengan membatalkan drawing atau pengundian laga untuk kompetisi tersebut. Sedianya, pengundian dilakukan di Bali pada Jumat (31/3/2023). Keputusan FIFA kala itu sudah menimbulkan aroma yang tak sedap bagi Indonesia. Ada gelagat impian negara ini sebagai tuan rumah terancam kandas.

Presiden Joko Widodo pun langsung mengutus Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), Erick Thohir, ke Doha, Qatar untuk menemui petinggi FIFA. Tujuan lawatan Erick ke sana adalah untuk melakukan lobi-lobi agar Indonesia tetap bisa menggelar turnamen. Namun, negosiasi sepertinya gagal. Hasilnya, Indonesia dicoret sebagai tuan rumah. Pupus sudah mimpi bangsa ini menjadi penyelenggara perhelatan olahraga internasional itu.

Standar ganda

Ada satu hal yang menarik untuk diulas. FIFA, dalam pernyataannya, sama sekali tidak menyebut alasan pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2023 lantaran sikap bangsa ini menolak Israel. Melalui laman resminya pada Rabu (29/3/2023) malam, federasi sepak bola itu malah menyinggung soal Tragedi Kanjuruhan Oktober 2022.

Pada titik ini, FIFA tampaknya berusaha memberikan kesan bahwa mereka sudah mengambil keputusan secara adil dan objektif. Badan olahraga yang berpusat di Zurich, Swiss, itu seakan-akan sedang mencoba berkelit dari penilaian publik tentang standar ganda yang mereka terapkan ketika berhadapan dengan sejumlah isu politik internasional.

Tatkala Moskow melancarkan operasi militer di Ukraina pada 24 Februari 2022, dunia Barat langsung mengutuk Rusia secara beramai-ramai. Dan tak butuh waktu lama, hanya berselang empat hari kemudian, FIFA pun mengeluarkan keputusan yang sewarna dengan sikap Barat tersebut. Organisasi induk sepak bola dunia itu menangguhkan partisipasi semua tim sepak bola Rusia, baik nasional maupun klub, dalam kompetisi yang digelar FIFA dan UEFA tanpa batas waktu.

Kala itu, FIFA berdalih sanksi terhadap Rusia tersebut diambil sebagai bentuk “solidaritas penuh” mereka terhadap rakyat Ukraina yang terdampak agresi militer Rusia. Sayangnya, ketika dihadapkan dengan fakta Israel yang membantai ribuan warga sipil Palestina, termasuk perempuan dan anak-anak, FIFA seperti tak punya nyali.

Bendera Israel (ilustrasi). (Foto: Pixabay)

Menurut data Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA), ada 6.263 warga Palestina yang dibunuh Israel pada periode 2008 sampai sekarang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 3.178 orang di antaranya tewas akibat senjata peledak yang diluncurkan dari udara (bisa berupa roket, rudal, dan proyektil dari pesawat tempur). Selain itu, terdapat 146.347 warga Palestina yang terluka akibat serangan Israel pada periode yang sama. Jumlah tersebut di atas belum termasuk warga Palestina yang dibantai zionis sepanjang enam dekade sebelumnya, atau tepatnya sejak negara Israel berdiri pada 14 Mei 1948.

Lalu, ketika sejumlah politisi Indonesia berusaha menunjukkan solidaritasnya untuk Palestina—terlepas dari motif politik mereka di balik itu—dengan menolak timnas Israel, FIFA secara terang-benderang menunjukkan double standard-nya. Alih-alih menjatuhkan sanksi kepada Timnas Israel atas kejahatan negara mereka terhadap rakyat Palestina, FIFA malah menghukum Indonesia.

Melihat situasi ini, patut rasanya kita pertanyakan, di mana posisi tawar Indonesia dalam memperjuangkan nasib Palestina? Tatkala Presiden Jokowi meminta kepada para politisi untuk tidak mencampuradukkan antara politik dan olahraga, FIFA sendiri nyatanya sudah melakukan hal itu sejak setahun yang lalu!

Non-state actor sebagai penekan

Dalam politik internasional, FIFA termasuk dalam kategori non-state actor (NSA) atau aktor bukan negara. Aktor semacam ini di pentas global punya kepentingan dan agenda tertentu, dan kadang dapat membuat keputusan yang tidak dapat diganggu gugat oleh aktor negara sekalipun. NSA juga memainkan peran sebagai penekan (pressure) terhadap kebijakan suatu negara. Sebutlah insiden yang sempat mencuat di Piala Dunia 2022 lalu. Kala itu, FIFA begitu kencang mendorong Qatar agar merombak kebijakannya terkait ketenagakerjaan. Dikatakan bahwa ada ratusan buruh asing yang tewas di negara Arab itu untuk memperisapkan perhelatan akbar sepak bola tersebut, sehingga FIFA mendesak Pemerintah Qatar untuk segera mereformasi sistem “kafala”-nya.

Tak hanya itu, FIFA bahkan kemudian juga mencoba untuk menekan Qatar lewat sejumlah isu lainnya, termasuk pengakuan atas LGBT. Namun, untuk yang terakhir ini, Doha justru sukses menekan balik FIFA dengan melarang kampanye LGBT dan penjualan minuman beralkohol di lingkungan stadion selama perhelatan Piala Dunia 2022.

Peran FIFA sebagai badan yang menaungi olahraga paling populer di dunia dan mampu meraup miliaran dolar, membuatnya memiliki daya tawar yang tinggi untuk mendikte persepakbolaan di negara mana pun. Selain FIFA, ada banyak NSA yang memainkan peran pressure serupa dalam relasi internasional, antara lain Dana Moneter Internasional (IMF), World Bank, dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Cara non-state actor menjadi penekan dalam relasi internasional lewat jalur sepak bola ini pernah dijelaskan oleh Pascal Boniface (2002). Dalam salah satu artikelnya, peneliti Prancis itu memaparkan bagaimana PBB menggunakan sepak bola untuk menghukum Yugoslavia, tiga dekade silam. Lewat Resolusi PBB Nomor 757, Timnas Yugoslavia dilarang mengikuti Piala Eropa 1992. Negara Balkan itu dianggap bertanggung jawab atas perang yang menewaskan 100.000 muslim Bosnia. Bagi komunitas internasional yang memberlakukan sanksi tersebut, kata Boniface, itu adalah cara lunak namun memberikan efek yang kuat untuk melawan Yugoslavia (yang direpresentasikan Serbia dan Montenegro) tanpa harus menanggung risiko militer. Keputusan itu direspons dengan sangat keras oleh Serbia, dan dianggap sebagai bentuk pengucilan mereka dari komunitas internasional.

Namun, sanksi yang diterapkan terhadap Rusia dan Yugoslavia itu seakan-akan tidak berlaku untuk Israel. Begitu pula ketika Amerika Serikat dan Inggris melancarkan invasi di Irak pada 2003, tidak ada sanksi yang dijatuhkan FIFA kepada dua negara Barat itu. Pada akhirnya, kita dipaksa untuk mempelajari kembali Teori Rezim dalam studi hubungan internasional. Teori ini antara lain menjelaskan bahwa NSA atau aktor-aktor politik bukan negara dapat memengaruhi perilaku negara dan aktor-aktor internasional lainnya. Boleh jadi, FIFA saat ini cuma menjadi perpanjangan rezim Barat yang sedang gencar membangun tatanan dunia yang unipolar.***

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image