Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Gili Argenti

Agama Itu Bukan Candu

Sejarah | Wednesday, 29 Mar 2023, 04:42 WIB
Sumber : https://iluminasi.com

Karl Marx filsuf Jerman Abad-19 melontarkan kritik terhadap praksis beragama masyarakat di dunia barat khususnya di negara Inggris, menurutnya praksis keberagamaan masyarakat barat seperti candu atau opium, semacam obat penenang tempat pelarian kelas buruh (ploletar), ketika mengalami ketertindasan dari kelas kapitalis.

Marx menulis, “Semakin banyak seseorang menyerahkan dirinya pada Tuhan, semakin lupa ia pada dirinya, agama malah mengajarkan segala cita-cita ideal kita, dengan mengorbankan kemanusiaan” (Raines, 2003). Kritik Marx berlanjut, “Agama hanyalah tanda keterasingan manusia lebih mendalam, realitas manusia memaksa mereka melarikan diri terhadap kesengsaraan nyata, agama adalah keluh kesah makhluk tertindas, agama adalah candu bagi rakyat” (Ramly, 2000).

Melalui agama kelas buruh melarikan diri ke bilik-bilik spiritual agar diberikan kesabaran ketika mendapat perlakuan tidak adil dari penguasa. Kelas buruh tidak melakukan perlawanan, karena menyakini setelah kematian kehidupan akhirat akan jauh lebih baik dari pada kehidupan di dunia. Keyakinan telah membuat kesadaran revolusioner kelas buruh padam, akibatnya rantai penindasan tidak pernah terputus.

Kekecewaan Marx melihat praksis keberagamaan membuatnya membenci agama, ia menuduh agama sebagai kekuataan reaksioner dan kontra revolusi. Pada artikel ini penulis ingin menjelaskan tentang praksis keberagamaan yang berbeda dengan ketika Marx hidup. Praksis keberagamaan justru menjadi spirit perlawanan atas penindasan, sehingga menjadikan agama sebagai narasi perlawanan berwatak progresif-revolusioner.

Kemerdekaan Indonesia

Peneliti dari Yale University, Kevin W. Fogg dalam risetnya menjelaskan di Indonesia, Islam menjadi spirit perlawanan para pejuang kemerdekaan, ketika melawan penjajah barat. Internalisasi ideologi perlawanan disampaikan para ulama kepada laskar-laskar rakyat melalui masjid, khotbah Jum'at, dan berbagai pengajian (Fogg, 2020).

Para pejuang kemerdekaan Indonesia sangat menyakini seruan perang sabil dari para ulama sebagai panggilan suci keagamaan yang harus diikuti sebagai wujud aktualisasi keyakinan seorang muslim yang taat, uniknya seruan perang sabil tidak hanya diikuti kaum laki-laki menjadi kombatan perang, tercatat kaum perempuan (muslimah) juga terlibat di dalamnya, sehingga nuansa revolusi kemerdekaan menjadikan posisi laki-laki dan perempuan setara dalam meraih kemenangan di setiap medan pertempuran (Fogg, 2020).

Seorang ulama dari Medan M. Arsjad Thalib Lubis menulis buku saku berjudul "Toentoenan Perang Sabil", buku yang senantiasa dibawa para pejuang kemerdekaan ketika berperang. Artinya agama Islam dalam revolusi kemerdekaan Indonesia menjadi narasi perlawanan efektif dalam membangkitkan kesadaran revolusioner rakyat melawan penjajah, mereka tidak melarikan diri tetapi turut terlibat dalam kancah perjuangan, sebagai konsekuensi dari keimanan (Fogg, 2020).

Perjuangan Palestina

Faksi perlawanan terbesar di Palestina, yaitu Hamas (Harakat al-Muqawwamatul Islamiyyah) arti harfiahnya Gerakan Perlawanan Islam, menjadikan Islam sebagai identitas perjuangan, memaknai perlawanan mereka, sebagai bentuk perjuangan suci kelak mendapatkan kemenangan, keyakinan itu berasal dari ajaran Islam, agama mayoritas dipeluk bangsa Palestina.

Semenjak didirikan Hamas menempuh pendekatan non-kooperatif tidak bersedia bekerjasama dengan Israel, serta menutup pintu diplomasi dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina, artinya tidak membuka perundingan, serta tidak mengakui Israel sebagai sebuah negara.

Hamas menjadikan masjid sebagai pusat gerakan, menghidupkan kembali fungsi masjid seperti zaman Nabi Muhammad SAW, dengan mengintensifkan berbagai pertemuan-pertemuan, seperti kegiatan mempelajari Al-Qur’an beserta tafsirnya, pembentukan halaqah dzikir, serta mengkaji khazanah ilmu pengetahuan Islam seperti mempelajari fiqih dan sirah nabawiyah (Izzuddin, 1993).

Karena mendapat tekanan militer dari Israel akhirnya Hamas membentuk sayap militer bernama Izzuddin al-Qassam, yang dikenal memiliki militansi serta disiplin tinggi para anggotanya, mereka mempunyai kemampuan berperang sangat mumpuni, dalam setiap pertempuran para pejuang Izzuddin al-Qassam menggunakan penutup wajah, serta ikat kepala berwarna hijau bertuliskan kalimat syahadat, jelas agama Islam menjadi identitas tunggal dalam perjuangan Hamas.

Revolusi Edsa Filipina

Peristiwa people power hari Sabtu, 22 Februari 1986 menggemparkan publik dunia, ketika itu ratusan ribu rakyat Filipina turun ke jalan-jalan menggulingkan Ferdinand Marcos dari kursi kekuasaanya. Peristiwa kolosal tersebut oleh dunia dikenal dengan revolusi edsa.

Keunikan revolusi edsa kentalnya simbol-simbol keagamaan yang bertebaran diruang publik ketika aksi perlawanan terjadi dari Ekaristi, Salib, dan Patung Bunda Maria. Kehadiran simbol keagamaan dalam revolusi edsa bisa dipahami, sebab keterlibatan aktif Gereja Katolik, salah satu tokohnya Kardinal Sin dalam pergerakan pro demokrasi (Soetomo, 1998).

Sebelum revolusi meletus Kardinal Sin melalui siaran Radio Veritas memanggil jamaat kristiani bersama-sama turun aksi ke jalan menuntut demokratisasi, keterlibatan Gereja dalam aktifitas revolusi, menandakan terjadi perpaduan antara keimanan dengan solidaritas sosial. Agama Katolik di Filipina terbukti tidak saja berfungsi sebagai kepercayaan trasendental, tetapi panggilan iman yang menggerakan pemeluknya melakukan perubahan (Soetomo, 1998).

Revolusi Iran 1979

Sebelum Revolusi Edsa sebenarnya publik dunia dikejutkan peristiwa besar terjadi di salah satu negara Timur Tengah, yaitu Iran. Peristiwa besar yang membuat iri kaum Marxist, menurut Amien Rais dalam buku pengantar karya Ali Syar’iati berjudul Tugas Cendikiawan Muslim. Peristiwa besar itu adalah Revolusi Iran 1979.

Membuat iri kaum Marxist karena model revolusi Iran yang melibatkan jutaan rakyat turun ke jalan tidak terjadi di negara-negara mereka (komunis), pada umumnya model revolusi komunis hanya letupan kecil, terkadang hanya melibatkan elit partai, jadi bukan ledakan massa rakyat dijalanan.

Revolusi Iran tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi melalui proses panjang penanaman ideologisasi teologi syiah yang disosialisasikan kalangan ulama (mullah) secara terus menerus. Indoktrinasi ideologis ini akhirnya memetik hasil dengan tumbangnya rezim Shah Reza Pahlevi, kemudian berdirinya Republik Islam Iran dengan menerapkan sistem Vilayat I Faqih. Pemerintahan Vilayat I Faqih merupakan bentuk pemerintahan dengan konsep kepemimpinan diserahkan kepada seseorang dianggap menguasai bidang agama dan hukum Islam (Satori, 2022).

Simpulan

Dari narasi beberapa peristiwa tersebut memiliki kesamaaan, menjadikan agama sebagai inspirasi gerakan. Kepercayaan agama tidak membuat mereka pasrah menerima keadaan apa adanya, tetapi menyalakan api perlawanan atas situasi sosial dinilai tidak segaris dengan ajaran agama. Teks-teks suci keagamaan berhasil dipraksiskan dalam mewujudkan tatanan sosial berkeadilan dan berkesetaraan, menggantikan tatanan sosial penuh penindasan, kedzaliman, dan kebohongan.

Gili Argenti, Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA).

Referensi Artikel

1. Fogg, Kevin W. 2020. Spirit Islam Pada Masa Revolusi Indonesia (Jakarta, Naura).

2. Izzuddin, Ahmad. 1993. Hamas Intifadlah Yang di Lindas (Jakarta, Gema Insani Press).

3. Raines, John (editor). 2003. Marx Tentang Agama. (Jakarta, Penerbit Teraju).

4. Ramly, Andi Muawiyah. 2000. Peta Pemikiran Karl Marx : Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis. (Yogyakarta, Lkis).

5. Soetomo, Greg. 1998. Revolusi Dama Belajar Dari Filipina. (Yogyakarta, Pustaka Kanisius).

6. Syariati, Ali. 1996. Tugas Cendikiawan Muslim. (Jakarta, Raja Grafindo Persada).

7. Satori, Akhmad. 2022. Sistem Pemerintahan Iran Modern. (Yogyakarta, Rausyan Fikr).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image