Puasa Ramadan, Pahala, dan Solidaritas Kelaparan
Agama | 2023-03-23 13:15:43Tepat pada hari ini, puasa Ramadan dimulai. Ya, bulan yang dinanti-nantikan umat Islam telah datang! Bulan penuh keberkahan, bulan penuh kemuliaan, bulan penuh ampunan, bulan penuh dengan segala keterbukaan pintu-pintu rezeki, dan bulan istimewa karena bulan ini adalah bulan yang di mana manusia-manusia jika tekun beribadah dan bertaubat, memohon ampunan dan petunjuk, memohon dihapuskan segala dosa-sosa, mulai dari sebesar matahari sampai sekecil biji zarah pun, Insyaallah akan dihapuskan dan bersih kembali, persis seperti bayi yang baru telah lahir di dunia.
Puasa Ramadan juga dijadikan sebuah ajang pilar untuk meneguhkan kembali hati serta pikiran kita dan merenungkan kembali segala realitas eksoteris (lahiriah) maupun sisi esoteris (batiniah), juga tak lupa adalah; mengevaluasi nilai-nilai kepekaan sosial kita selama setahun terakhir atau bisa jadi, jauh sebelum kesadaran kita masih terbelenggu oleh sifat-sifat individual-keduniawian-belaka. Jadi, dapat saya katakan, bahwasanya, keberadaan ibadah wajib puasa ramadhan bukanlah aktifitas ibadah simbolik tahunan tanpa nilai dan makna, melainkan memiliki misi besar dalam pembentukan kepribadian seorang kaum muslimin.
Hal demikian tidak lain disebabkan kewajiban ibadah puasa bukanlah sekedar kategori ibadah yang berorientasi teosentris, melainkan juga berorientasi antroposentris. Oleh sebab itu, pemahaman yang bercorak legal formal fikih semata terhadap perintah kewajiban puasa ramadan merupakan pemaknaan sempit yang dapat mendistorsi nilai filosofis dari tujuan pensyariatan ibadah puasa. Nilai tujuan pendidikan karakter yang termuat dari ritualitas ibadah puasa dapat dikatakan bentuk perluasan pemaknaan atas dimensi konsep hifz nafs (memelihara jiwa) menjadi hifz akhlaqiyah (memelihara akhlak) seorang muslim.
Puasa adalah sarana dan latihan untuk memaksimalkan fungsi kemanusiaan. Saat berpuasa, berarti, manusia telah menjaga martabatnya dari perbuatan hina di mata Allah Subhanahu wa ta'ala dan menjaga hubungan baik dan peduli dengan sesame manusia. Ketika umat muslim telah melakukan ibadah puasa, maka empati dan simpatinya telah diasah sehingga dapat merevitalisasi jiwa kepedulian dan rasa sosial yang tinggi. Hal ini secara secara tidak langsung telah memaksimalkan fungsi Al-Nȃs sebagai makhluk sosial.
Pada saat menjalankan ibadah puasa, umat Islam dilatih untuk memiliki rasa kepedulian kepada kondisi orang lain dan lingkungan sekitarnya. Hal demikian tidaklah sama-sama dalam kondisi merasakan lapar dan haus semata, melainkan terkait bagaimana kita dapat saling menumbuhkan sikap kepedulian sosial. Yusuf Al-Qardhawi sebagaimana yang dikutip Cholil Nafis menuturkan bahwa semangat kerekatan sosial dalam diri seorang muslim yang berpuasa merupakan bentuk implikasi sosial dari ritualitas ibadah puasa yang tumbuh dari kondisi yang sama dalam merasakan penderitaan dan kepedihan atas kurangnya kesejahteraan ekonomi yang dialami oleh orang-orang fakir dan miskin, seperti halnya rasa kekurangan dan kelaparan. (Islamy, 2021)
Berpijak pada penjelasan di atas, tidaklah berlebihan jika kepedulian sosial menjadi bagian dari tujuan pensyariatan ibadah puasa. Terkait nilai kepedulian sosial ini, Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam menyebut bulan Ramadan sebagai Syahr al-Muwȃsat, yang berarti “Bulan Kepekaan Sosial”. (HR. Ibn Khuzaimah). Predikat bulan kepekaan sosial juga paralel dalam Hadis Nabi terkait anjuran untuk memberi makan orang yang berbuka puasa.
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
“Barangsiapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikitpun.” (HR. Tirmidzi no. 807, Ibnu Majah no. 1746, dan Ahmad 5: 192. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Nilai kepedulian sosial sebagai bagian dari tujuan pensyariatan ibadah puasa juga relevan dengan pesan Hadis terkait bentuk perintah mengeluarkan zakat fitrah sebagaimana Hadis Nabi yang berbunyi:
شَهْرُ رَمَضَانَ مُعَلَّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلاَ يُرْفَعُ إلَى اللهِ إلاَّ بِزَكَاةِ الفِطْرِ
Artinya :“Pahala puasa Ramadan digantungkan antara langit dan bumi, tidak diangkat kepada Allah kecuali dengan dibayarkannya zakat fitrah.
Dua Hadis di atas mengisyaratkan bahwa ritualitas ibadah puasa tidak dapat dilepaskan dari fungsi kepedulian sosial yang mengikutinya. Manifestasi sikap kepedulian sosial dalam bentuk pemberian makan untuk berbuka puasa dan pemberian zakat fitrah paralel dengan nilai hifz mal (memelihara harta).
Dengan demikian, nilai kepedulian sosial yang mengikuti pelaksanaan ibadah puasa, baik pada bentuk pemberian sedekah atau pembayaran wajib zakat fitrah dapat dikatakan sebagai bagian tujuan dari pensyaraiatan hukum Islam dalam perintah kewajiban ibadah puasa ramadan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.