Peran H.O.S Tjokroaminoto Sebagai Mentor Literasi Bangsa
Pendidikan dan Literasi | 2023-03-22 08:56:53Oleh : Romi Febriyanto Saputro*
Menurut Chip R Bell (2002), mentor adalah pemimpin yang terlibat dalam berbagai tindakan yang penuh pertimbangan yang ditujukan untuk memajukan pembelajaran “pemimpin”, “manajer”, atau pelatih menjalani hal yang demikian pula. Kata “mentor” berasal dari The Odyssey yang ditulis oleh penyair Yunani Homer. Ketika Odysseus mengadakan persiapan untuk bertempur dalam Perang Troya, ia menyadari bahwa ia meninggalakan satu-satunya ahli warisnya, Telemachus yang biasa dipanggil “Telie” oleh teman-temannya. Telie masih muda dan Perang Troya berlangsung dalam waktu yang panjang (tujuh tahun). Odysseus berpikir bahwa Telie perlu dilatih untuk menjadi “raja” yang baik ketika Sang Ayah pergi berperang. Ia menggaji seorang teman yang sudah lama dipercaya oleh keluarga bernama Mentor untuk mengajari Telie menjadi “raja”.
Sejarah kata “mentor” mengandung pelajaran karena beberapa sebab. Pertama, kata ini menekankan sifat warisan dalam pemberian nasehat. Seperti Odysseus, para pemimpin yang hebat berusaha meninggalkan manfaat nilai tambah. Kedua, Mentor menggabungkan kearifan pengalaman dengan kepekaan seekor anak rusa dalam usahanya menyampaikan ketrampilan seorang raja kepada Telemachus muda. Proses ini tentu menghadirkan banyak tantangan dan kesulitan yang harus diatasi oleh seorang Mentor. Mentor yang efektif adalah seperti seorang teman yang mampu menghadirkan suasana nyaman untuk meningkatkan kualitas diri. Mentor yang ulung mengetahui bagaimana orang dewasa belajar. Mentor yang baik menyadari bahwa mereka merupakan fasilitator dan katalisator dalam proses belajar untuk memperoleh pengetahuan dan wawasan. Para mentor lebih menyukai proses belajar dan bukan mengajar.
Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia mencatat seorang mentor ulung yang berani mencetuskan untuk pertama kali ide kemerdekaan Indonesia dalam Kongres Sarekat Islam pada tanggal 17 – 24 Juni 1916 di Bandung. Aji Dedi Mulawarman (2015) mencatat bahwa Raden Haji Oemar Said Tjokroaminoto, begitulah nama lengkapnya, lahir di desa Bakur pada tanggal 16 Agustus 1882. Desa Bakur, Kecamatan Sawahan, Madiun. Bakur merupakan sebuah desa yang sepi, terkenal sebagai daerah santri dan taat menjalankan ajaran agama Islam. Beliau merupakan salah satu pemimpin organisasi pertama di Indonesia, yaitu Sarekat Islam (SI). Sebagai mentor jiwa merdeka beliau banyak melahirkan tokoh dan pemimpin besar Indonesia. Seperti Soekarno, Kartosuwiryo, Semaoen, Alimin, Muso, dan Tan Malaka. Murid-murid ini dikemudian hari mengambil kesimpulan yang berbeda dari pelajaran yang sama. Semaoen, Muso, dan Alimin bergerak ke jalan komunis, Soekarno ke jalan nasionalis, dan Kartosuwiryo meretas jalan Islam.
Meskipun bersimpang jalan, para murid Tjokro ini sudah membuktikan bahwa mereka memiliki jiwa merdeka. Sukarno memproklamasikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1945, Muso mendirikan Negara Komunis pada 18 September 1948 di Madiun, Kartosuwiryo memproklamasikan Negara Islam Indonesia pada tanggal 7 Agustus 1949. Satu mentor mampu menghasilkan tiga proklamator negara yang berbeda.
Dalam artikelnya yang berjudul Muslim Nasional Onderwijs Tjokro menyampaikan bahwa dalam dunia pendidikan dan pengajaran Sarekat Islam ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan keduniaan dan ilmu tentang agama Islam tidak boleh dipisah-pisahkan. Dengan kata lain segala keperluan kehidupan dan penghidupan serta tujuan hidup atau penyerahan diri kepada Allah untuk hidup di akhirat harus berjalan paralel dan seimbang (Johan Rinahani, 2016).
Aji Dedi Mulawarman (2019) menjelaskan bahwa Tjokroaminoto menyiapkan kemerdekaan dengan cara politik konsolidasi organisasi yaitu gerakan berjiwa kebersamaan. Organisasi menjadi alat dalam mencapai nilai kejuangan. Hal ini tercermin pada penghilangan kata Dagang pada Sarekat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam karena perdagangan hanyalah satu cara untuk menyatukan ummat. Perombakan simbol ini berhasil membuat 2,5 juta orang bergabung menjadi anggota dari tujuh tahun sebelumnya sejumlah 2000 anggota. Hal ini merupakan rekor untuk organisasi massa pada masa itu.
Tjokroaminoto sebagai mentor sangat sadar bahwa untuk membangun jiwa merdeka diperlukan membaca. Membaca adalah aktivitas merdeka untuk merengkuh energi kemajuan. Menghapus kebodohan, mental budak, dan ruang gelap yang sengaja diciptakan oleh para penjajah untuk melanggengkan perbudakan atas bangsa ini. Membaca adalah cara cerdas untuk memberi nasehat kepada anak-anak muda yang tinggal di rumahnya. Membaca memberikan kebebasan berpikir untuk memilih jalan sendiri meskipun mungkin berbeda dengan Sang Mentor.
Quraish Shihab (1996) menjelaskan bahwa iqra’ atau perintah membaca, adalah kata pertama dari wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw. Arti kata membaca dalam bahasa Arab adalah menghimpun. Dalam bahasa Arab membaca tidaklah mengharuskan adanya teks tertulis untuk dibaca dan juga tidak mengharuskan untuk terucap sehingga dapat didengar. Dalam kamus bahasa Arab arti kata membaca antara lain, menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-cirinya, dan lain-lain. Membaca akan mengantarkan manusia untuk menggapai derajat yang manusia mulia. Sehingga membaca merupakan syarat pertama dan utama untuk membangun peradaban yang memuliakan kemanusiaan..
Pada tahap ini buku adalah menu utama yang disajikan Tjokroaminoto untuk menumbuhkan dan membangkitkan jiwa merdeka para pemuda yang menjadi muridnya. Melalui perpustakaan pribadi Tjokroaminoto Soekarno membaca buku de Franse Revolutie (Revolusi Perancis), Du contrat social ou principles du droit politique (kontrak Sosial atau Prinsip-prinsip Hak Politik ) karya Rousseau, Thomas Jefferson : an Autobiography, dan History of the United States. Membaca buku-buku ini membuat jiwa merdeka para penghuni rumah kos di Jalan Peneleh semakin berkobar-kobar untuk membabat habis segala macam bentuk penjajahan di muka bumi.
Proses mentoring Tjokroaminoto sesuai dengan pendapat Chip R Bell (2002). Menurut Chip R Bell, ada empat tahapan proses mentoring yang disingkat dengan “SAGE”. Pertama, Surrending (Menyerahkan). Sebagian besar orang terbiasa menggerakkan proses belajar, tetapi para mentor yang baik lebih menyukai menyerahkan pembelajaran kepada proses tersebut. Sehingga akan lebih berpeluang menghasilkan kebebasan untuk meraih perkembangan kemampuan yang optimal. Kedua, Accepting (Menerima). Artinya, menerima banyak perbedaan yang timbul dari proses pendampingan selama proses mentoring. Ketiga, Gifting (Mendermakan). Artinya, memberikan semua pengetahuan yang dimiliki mentor tanpa mengharapkan balasan. Jangan sampai ada pengetahuan yang disembunyikan dalam proses mentoring. Keempat, Extending (Memperluas). Mentor yang baik selalu memberikan motivasi yang kuat untuk selalu tumbuh dan berkembang menembus batas dengan beragam cara.
*Romi Febriyanto Saputro adalah Pustakawan Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.