Kilas Balik Ibadah Puasa Ramadhan Rasulullah SAW
Agama | 2023-03-21 15:12:53Dua tahun setelah Rasulullah saw menetap di Madinah, Allah Swt menurunkan perintah kewajiban melaksanakan ibadah puasa Ramadhan. Allah mewahyukan perintah tersebut pada bulan Sya’ban. Dengan demikian, Q. S. Al Baqarah : 183 diwahyukan pada bulan Sya’ban.
Dari sisi waktu pelaksanaannya, kewajiban melaksanakan ibadah puasa berbeda dengan perintah melaksanakan ibadah shalat. Tatkala Rasulullah usai isra mi’raj dan mendapatkan perintah ibadah shalat lima waktu, Rasulullah saw menyampaikannya kepada para sahabat, dan seketika itu para sahabat wajib melaksanakannya.
Hal tersebut berbeda dengan ibadah puasa Ramadhan, terdapat jeda selama satu bulan untuk melaksanakannya. Hal ini merupakan isyarat melaksanakan ibadah puasa Ramadhan memerlukan persiapan, baik persiapan fisik, mental, maupun keimanan orang yang akan melaksanakannya.
Persiapan inilah yang sekarang menjadi budaya dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Ada orang yang menyebutnya tarhib Ramadhan atau di kalangan orang Sunda menyebutnya dengan istilah kuramasan. Isi inti dari acara ini merupakan re-charge terhadap jiwa agar termotivasi untuk kembali melakukan ibadah puasa sebaik mungkin.
Sepanjang hayatnya, Rasulullah saw melaksanakan ibadah puasa Ramadhan sebanyak sembilan kali. Ia mulai melaksanakan ibadah puasa pada tahun ke-2 sampai tahun ke-10 setelah hijrah. Rasulullah saw wafat pada12 Rabbiul Awwal tahun ke-11 setelah hijrah.
Dari sembilan kali melaksanakan ibadah puasa Ramadhan tersebut, 3 kali ia melaksanakan ibadah puasa Ramadhan selama 30 hari, dan 6 kali melaksanakan ibadah puasa Ramadhan selama 29 hari. Hari dan tanggal pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan Rasulullah saw secara lengkap dapat dilihat pada tabel perkiraan puasa Ramadhan Rasulullah saw.
Dari tabel ibadah puasa Ramadhan Rasulullah saw tersebut, kita dapat menarik beberapa hal. Pertama, lamanya satu bulan hijriyah adalah 29 – 30 hari. Kedua, pada masa Rasulullah saw perayaan Idul Fitri, 1 Syawal tahun ke-3 dari hijrah/15 Maret 625 M bertepatan dengan hari Jum’at yang keberadaannya juga setara dengan hari raya. Dari peristiwa ini lahir hukum khusus pelaksanaan ibadah shalat.
“Pada hari ini telah berkumpul dua hari raya (Idul Fithri dan hari Jum’at), maka barangsiapa yang berkehendak tidak akan melaksanakan ibadah shalat Jum’at dipersilakan, namun kami akan tetap melaksanakan shalat Jum’at.” (H. R. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, hadits nomor 1311).
Berkenaan dengan hadits tersebut, Sayyid Sabiq memberikan pejelasan, “Terhadap Imam/Khatib disunatkan tetap mengadakan shalat Jum’at agar dapat diikuti orang-orang yang berkehendak melaksanakannya atau dikuti oleh orang-orang yang pada pagi harinya tidak sempat melaksanakan shalat ‘id. Bagi orang yang tidak melaksanakan shalat Jum’at tetap wajib melaksanakan shalat Dhuhur” (Fiqih Sunnah, Juz I : 228).
Ketiga, Rasulullah saw bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ibadah puasa Ramadhan. Ia memberikan contoh kepada kita, puasa yang ia lakukan bukan hanya sekedar menahan lapar dan dahaga saja, namun juga menjaga seluruh anggota badan, bahkan hatinya untuk ikut berpuasa dalam arti tidak melakukan perbuatan nista dan maksiat.
Meskipun tidak akan seratus persen seperti Rasululllah saw, kita harus berjuang keras melakoni puasa secara paripurna seperti yang dilakukan Rasulullah saw. Memang bukan hal yang mudah untuk melakukannya seperti pada saat ini. Media sosial dengan beragam daya tariknya mengajak orang terlena untuk memainkan jarinya di atas keyboard smartphone.
Keterlenaan ini terkadang menjerumuskan seseorang kepada perbuatan lagha/sia-sia, bahkan terhadap perbuatan nista, tercela, dan dosa. Alangkah bijak dan bajik jika selain menahan lapar-dahaga, kita pun melakukan puasa gadget, puasa media sosial, paling tidak mengurangi postingan dan mengomentari hal-hal yang tidak bermanfaat.
Untuk mencapai puasa yang berkualitas seperti yang dilakukan Rasulullah saw, kita perlu mempersiapkan diri, bermunajat kepada Allah agar dikuatkan untuk dapat melakoni puasa secara paripurna. Karenanya beragam acara yang dilakukan sebelum Ramadhan sudah seharusnya tidak dijadikan hanya sebagai tradisi belaka namun benar-benar sebagai upaya taqarrub kepada Allah agar mampu melaksanakan ibadah puasa sebaik mungkin.
Kehadiran Ramadhan tinggal menghitung hari, selayaknya kita mmepersiapkan diri untuk menyambut dan memaksimalkan ibadah di dalamnya. ‘Amr ibnu Qais berkata, “sungguh beruntung orang-orang yang mempersiapkan dirinya sebaik mungkin sebelum memasuki bulan Ramadhan.”
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.