Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image saman saefudin

Benarkah menjadi Bahagia Itu Sederhana?

Gaya Hidup | Monday, 20 Dec 2021, 11:11 WIB
Sumber gambar: https://static.republika.co.id/uploads/images/detailnews/kebahagiaan-yang-menular-ilustrasi-_130612053620-201.jpg

Seperti mantra banyak orang, aku sepakat bahwa bahagia itu sederhana. Hanya saja, kalimat ini semestinya diakhiri dengan koma, bukan titik. Maka kalimatnya menjadi kurang lebih begini: “(Benar bahwa menjadi) bahagia itu sederhana, tetapi (jangan lupa bahwa) menjadi sederhana itu tidaklah sesederhana yang dibayangkan”.

Coba tengoklah postingan sejenis di media sosial dari teman atau bahkan public figure. Saat mereka memposting sebuah aktivitas sederhana yang murah meriah, lalu mencoba menyimpulkan dalam caption; “Bahagia itu ternyata sederhana”. Agh, ini seperti kamuflase. Semakin sering mantra ini dirapalkan, justru aku kian curiga bahwa kehidupan keseharian mereka, pun mungkin kita, jauh dari hal-hal yang sederhana itu.

Jadi, menjadi sederhana ternyata tak sesederhana yang diucapkan, untuk tak menyebutnya kian sulit. Bagaimana mungkin kalian yang hidup dari satu kafe ke kafe lain, dari mall ke mall, dari outlet dan distro waralaba yang menawarkan harga dan status sosial, bisa menjadikan konsep sederhana sebagai aktivitas keseharian.

Kalau menjadi sederhana saja tak mudah, maka tidakkah menjadi bahagia juga rumit? Lantas, kenapa kita sulit bahagia? Jawabannya ternyata klise, tetapi benar adanya: kita tak mahir bersyukur.

Bayangkan suatu waktu Anda sedang benar-benar tak punya uang alias bokek. Kebetulan saat itu adalah hari Jumat, hari di mana Anda mungkin terbiasa bersedekah lebih banyak dari hari biasanya. Ngalap hari baik. Tetapi di Jumat itu Anda tak bisa bersedekah seperti biasanya, bahkan bersedekah untuk para peminta-pinta saja nyaris tak berdaya. Datang pula seorang kawan yang sedang kepayahan dan butuh uang, dan dengan menanggung getir Anda mungkin harus menjawab dengan kata maaf. Padahal kawanmu hanya perlu uang tak lebih dari 100 ribu untuk makan anak dan istrinya satu hari.

Eh, datang lagi kawan lainnya dengan memikul kesulitan pula. Dia butuh 500 ribu untuk membayar SPP anaknya yang sudah menunggak dua bulan. Biasanya Anda amat ringan tangan membantu kawan dan saudara yang sedang butuh uang, tetapi hari ini benar-benar tak berdaya. Kita bisa membayangkan situasinya bukan? Semisal Anda memakan nasi goreng pera dengan lahap hingga kerongkongan seret, tetapi saat hendak minum ternyata stok air mineral habis tak tersisa. Sesaklah dada.

Kita lantas berdoa dengan khusyu, meminta kelepangan rezeki agar bisa membantu kawan dan saudara yang membuuhkan. Selepas berdoa, karena semesta belum juga memberi isyarat datangnya rezeki, pikiran mulai cemas. Untuk melipur diri, sensasi khayal mulai menggoda dan memasuki pikiran, membayangkan ini dan itu sambal berjanji akan seperti ini dan seperti itu.

"Agh, kalau saja aku dapat uang 1 juta saja, pertama-tama langsung kusedekahkan 100 ribu. Aku juga pasti aku bisa memberi si A 200 ribu untuk makan dua hari, lalu meminjami 500 ribu untuk kawan yang butuh bayar tunggakan SPP anaknya Kabulkan ya Allah " begitu ratap doamu.

Sore harinya, impian itu benar-benar terwujud. Bukan lagi 1 juta, tetapi Tuhan memberimu 2 juta melalui tangan orang baik. Bisa dipastikan Anda akan senang kegirangan, mengucap alhamdulillah berulang-ulang. Mungkin juga sambil sujud syukur. Lalu bagaimana dengan nasib janji-janji yang Anda batinkan dalam ratapan sebelumnya?

Mungkin Anda tetap komitmen membayar "nadzar", tetapi bisa jadi godaan mulai keluar masuk pikiran. Kalau aku sedekah 100 ribu, memberi si A 200 ribu, meminjami si B 500 ribu, sisa uangku tinggal 1,2 juta dong. Otakmu pun berputar hebat, tarik ulur ke sana kemari. Belum lagi ingin dan angan baru yang mendadak merangsek ke pikiran. "Kalau saja tidak dibagi-bagi, aku sudah bisa beli sepatu sneakers idaman nih, kan harganya pas 2 juta".

Ada pejabat publik yang aset kekayaannya mungkin sudah puluhan miliar, tetapi tiba-tiba tertangkap tangan KPK karena grativikasi yang hanya 200 atau 300 juta. Bagaimana mungkin orang dengan kekayaan puluhan miliar bisa tergoda dengan korupsi 100 juta?

Ya begitulah mungkin kualitas syukur kita. Meski akhirnya tetap memberi dan berbagi, tetap saja butuh perjuangan hati nan berat untuk menaklukkan sensasi yang bergentayangan di kepala. Dari tak ada (uang) menjadi ada, bukankah semestinya lebih dari mampu untuk –meminjam istilah Anies Baswedan" membayar kembali (payback) nikmat ini kepada yang membutuhkan?

Ya, beginilah manusia: Anda, saya, dan kita: yang sering digoda ketamakan hingga menghalangi syukur. Kita terlalu khusyu memimpikan yang tak ada, sampai lupa bersyukur atas apa yang ada. Karena itu pula kita menjadi sulit bahagia. Andai saja pikiran kita tetap bersahaja, apa adanya, niscaya menjadi bahagia itu sederhana. []

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image