Flexing, Ketika Level Berfikir Generasi Lagi Genting
Gaya Hidup | 2023-03-14 19:01:52Hari gini flexing menjadi gaya hidup generasi. Enggak yang muda, balita dan para emak pun ikutan amazing dengan flexing. Bicara soal flexing sama dengan bicara soal eksisistensi diri yang kini menjadi sebuah prioritas. Entah untuk kebutuhan bisnis, pengakuan status sosial hingga untuk tujuan penipuan. Flexing istilah untuk pamer kekayaan atau berlagak kaya begitu menjangkiti kehidupan generasi saat ini. Bagi GenDig_Generasi Digital, aktifitas flexing adalah cara supaya bisa menunjukan siapa dirinya. Yupz, flexing demi eksistensi dalam sistem materialistik adalah sebuah kewajiban.
Manusia Bunglon
Awalnya flexing adalah bahasa gaul dari kalangan ras kulit hitam. Sejarah yang menunjukkan sisi keberanian atau pamer di tahun 1990-an (Dictionary.com). Flexing juga dimaknai dengan melenturkan otot seseorang, hingga menunjukkan seberapa kuat fisiknya dan seberapa siap dia bertarung. Dari sini arti flexing bermetafora menjadi berpikir lebih baik dari yang lainnya.
Tahun 2014 berkat No Flex Zone dari Rae Sremmurd, kata "flex" atau flexing menjadi popular. No Flex Zone diartikan sebagai area untuk orang-orang yang santai, bersikap seperti dirinya sendiri, tidak pamer atau pura-pura menjadi pribadi yang berbeda. Kata flexing banyak dimaknai sebagai orang yang palsu, memalsukan, atau memaksakan gaya agar diterima dalam pergaulan.
Sejatinya mereka yang melakukan flexing ibarat manusia bunglon. Dia menipu orang lain supaya menerima dan tidak mengusir dirinya dari circle mereka. Berupaya mengubah diri meski tak sesuai fakta dirinya yang sebenarnya. Memoles sedemikian rupa, bahkan memasang topeng demi sebuah pengakuan. So, menjadi manusia bunglon adalah pilihan untuk selamat. Miris sekali.
Demi Eksistensi
Mengapa flexing demikian digandrungi generasi? Jawabnya simple, supaya diakui keberadaaanya ataupun diterima dalam lingkungan pergaulan. Sudah jamak diketahui, rata-rata mereka yang nampak kaya akan mendapat tingkat kepercayaan yang tinggi, disegani dan dilayani. Jauh beda dengan seorang yang tampak biasa saja dan sederhana, atau bahkan terlihat miskin. Mereka akan kurang dipercaya, diabaikan bahkan ditinggalkan.
Kehidupan materialistik menempatkan manusia kelas bawah sebagai buangan. Mereka yang lemah finansial menjadi bahan cemooh dan bulliying. Siapapun orang yang waras pasti tidak suka berada pada level ini. Bahkan binatangpun akan terusik manakala dia di bully oleh hewan lain. Rasa ingin diakui dan tidak mau diusik adalah fitrah semua makhluk. Semua yang hidup dan bernyawa pasti membutuhkan pengakuan atas eksistensi dirinya.
Parahnya, meraih eksistensi demi materi justru melahirkan banyak kerusakan dan tindak kejahatan. Kasus buronnya sosialita gadungan Azura Luna asal Mangunhardjo yang menjadi penipu profesional dunia dengan cara flexing, menjadi satu contoh betapa trik flexing telah memakan korban. Begitupun kasus penipuan puluhan ribu jamaah umroh oleh PT. First Tarvel tahun 2017 silam. Dengan flexing, sepasang suami istri pemilik agen umroh melakukan penipuan uang pendaftaran umroh dari calon jamaah umroh. Astaghfirullah.
Darurat Level Berfikir
Nyatanya kehidupan kapitalis sekuler yang serba mendewakan uang telah menjebak generasi dan masyarakat dalam kubangan dosa. Tak lagi melihat standar baik dan benar, halal dan haram. Yang ada di fikiran mereka hanyalah bagaimana mereka diakui meski dengan cara menipu. Pemikiran ini sebuah keniscayaan bagi semua yang hidup dalam pusaran materilistik. Dimana uang menjadi standar dan sumber kebahagiaan.
Pemikiran absurd muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga jelas menunjukan darurat level berfikir umat dan generasi. Bagaimana mungkin kehidupan yang diawali dengan foya-foya tanpa ada pengelolaan manajemen finansial yang benar, akan menghasilkan kekayaan di hari tua? Yang ada malah tua sempoyongan. Terus yakin masuk surga kalau uang yang didapat dari hasil menipu dan berbohong? Astaghfirullah, sadar guys, Allah enggak bisa ditipu sama makhluk.
Ini adalah fakta gamblang bahwa level berfikir generasi dan umat sedang darurat. Padahal dari 273,8 juta penduduk Indonesia, 53,81% nya atau 144,31 juta adalah usia produktif. Apa jadinya Indonesia 20 tahun mendatang, jika bonus demografi didominasi dengan generasi demam flexing. Jelas kerugian besar dan tak akan terganti. Padahal generasi adalah aset berharga sebuah bagi negara, karena ia calon pemimpin di masa mendatang. Maka dibutuhkan upaya menyelamatkan kedaruratan level berfikir generasi.
SOS Kegentingan Level Berfikir Generasi
Apa yang dilakukan seseorang mencerminkan hasil pemikirannya. Orang akan melakukan sesuatu saat dia telah menangkap sebuah fakta dengan inderanya, kemudian dia kaitkan dengan informasi yang telah diketahuinya. Kebanyakan manusia berfikir dangkal dengan merespon sebatas yang dilihat, tanpa menggali fakta dan informasi lainnya. Flexing merupakan satu contoh sederhana berfikir dangkal. Hanya dengan melihat fakta jika terlihat kaya akan dihargai, maka berlagak sok kaya jadi solusi. Tak berfikir dampak hebat kerusakan pada diri dan masyarakat sekitar ke depannya. Factualy, berfikir dangkal ini sangat berbahaya bagi umat dan generasi. Karenanya haruslah diselematkan dan diangkat level berfikir umat, dari berfikir dangkal menjadi cemerlang.
Menyelamatkan level berfikir umat dan generasi semestinya melalui 3 tahapan, pertama, menguatkan penginderaan terhadap sebuah fakta. Dengan cara detil dalam melihat dan memahami fakta. Kedua, penguatan pengkaitan fakta dengan informasi yang dimiliki. Bisa dimulai dengan pembiasaan mengasah kemampuan mengaitkan fakta dengan informasi. Ketiga, menambah, menyeleksi dan membersihkan informasi dari informasi yang salah dan rusak.
Dalam kehidupan sekuler, informasi yang berkembang adalah informasi yang salah dan rusak. Jika ingin menyelamatkan level berfikir generasi, maka kondisi ini haruslah diubah. Yaitu dengan menghadirkan pemikiran yang benar dan meyelamatkan, yaitu pemikiran Islam. Maka mengganti rule of life sekuler kapitalistik dengan Islam menjadi sebuah kewajiban yang tak bisa ditawar.
Wallahu’alam bishowab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.