Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Didi Rosadi

Merubah Mindset dalam Melihat Aset di Sekolah

Guru Menulis | Sunday, 12 Mar 2023, 21:15 WIB
Foto : Kegiatan Class Meeting di Sekolah Tahun 2022

Sekolah merupakan ekosistem dari pernak pernik terkecil di dunia pendidikan formal, yang sampai hari ini diyakini oleh sebagian besar penduduk dunia mampu memberi warna peradaban. Eksistensi sekolah tetap bertahan kalau menyesuaikan diri dan mampu menjawab perkambangan jaman, dan sebaliknya akan tinggal prasasti seadainya bertahan dengan budaya-budaya kolot warisan kolonial.

Penulis sebagai bagian dari dunia sekolah, menempuh pendidikan selama delapan belas tahun dan kembali lagi ke sekolah melakukan pengabdian selama enam belas tahun dan puluh tahun ke depan, artinya sekolah bagi penulis adalah masa lalu, kini dan masa depan. Sebagai sebuah ekosistem, tentu saja sekolah tempat interksi dari berbagai bagian yang tidak bisa dipisahkan. Keberlangsungan sekolah tidak lepas dari seberapa besar aset-aset yang dimiliki, dibingkai dengan manajerial pemimpin pembelajar menuju visi yang diharapkan.

Sebagai ekosistem, sekolah tempat interaksi unsur biotik adan abiotik, berinteraksi membentuk harmonisasi membangun nada yang diharapkan. Adapun faktor biotik yang ada dalam ekosistem sekolah di antaranya adalah : murid, kepala sekolah, guru, staf/tenaga kependidikan, pengawas sekolah, orang tua, masyarakat sekitar sekolah, dinas terkait dan pemerintah daerah. Sementara factor abiotic terdiri dari : keuangan, sarana dan prasarana serta lingkungan alam

Dalam mengelola aset yang ada di sekolah maka seorang pemimpin pembelajaran harus mampu memetakan tujuh aset sumber daya di sekolah yang terdiri atas aset manusia, aset sosial, fisik, finansial, politik, lingkungan dan agama budaya. Dengan melakukan pemetaan asset maka kita bisa memaksimalkan potensi yang dimiliki. Dalam melakukan proses pembelajaran di kelas, seorang guru bersentuhan dengan asset : murid, orang tua, masyarakat sekitar, sarana dan prasarana serta lingkungan.

Pengelolaan terhadap asset di sekolah bisa menggunakan dua basis pendekatan, yaitu pendekatan berbasis kekurangan/masalah (Deficit-Based Approach) dan Pendekatan Berbasis Aset/Kekuatan (Asset-Based Approach). Pendekatan berbasis kekurangan akan memfokuskan diri dari apa yang mengganggu, apa yang kurang, dan apa yang tidak berfungsi dengan baik. Kita mengeluhkan banyak fasilitas sekolah yang tidak berfungsi baik, buku ajar yang tidak lengkap, atau sekolah yang tidak tidak memiliki laboratorium. Kekurangan yang dimiliki mendorong cara berpikir negatif sehingga fokus kita adalah bagaimana mengatasi semua kekurangan atau apa yang menghalangi tercapainya kesuksesan yang ingin diraih. Semakin lama, secara tidak sadar kita menjadi seseorang yang tidak nyaman dan curiga yang dapat menjadikan kita buta terhadap potensi dan peluang yang ada di sekitar.

Foto : Kegiatan Nobar Film G30S/PKI di Sekolah

Sementara pendekatan berbasis aset (asset-based approach) adalah sebuah konsep yang dikembangkan oleh Dr. Kathryn Cramer, seorang ahli psikologi yang menekuni kekuatan berpikir positif untuk pengembangan diri. Pendekatan ini merupakan cara praktis menemukan hal-hal yang positif dalam kehidupan. Dengan menggunakan kekuatan sebagai tumpuan berpikir, kita diajak untuk memusatkan perhatian pada apa yang berjalan dengan baik, yang menjadi inspirasi, yang menjadi kekuatan ataupun potensi yang positif. Dengan berpedoman pada prinsip asset based thinking atau berpikir berbasis aset sehingga bisa menghasilkan potensi yang maksimal.

Pada memberdayakan aset yang ada, maka seorang pemimpin pembelajaran harus melakukan manajemen perubahan menggunakan pendekatan inkuiri Apresiatif model BAGJA atau 5D untuk menginisiasi sebuah perubahan positif berdasar aset yang ada.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image