Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fatkur Huda

Etika Islam dalam Bisnis Kontemporer

Agama | 2023-03-12 12:11:00
studiosmartapps.com

Dalam perkembangan kontemporer ini, dunia Islam sedang melewati salah satu fase sejarah dunia yaitu masa krisis global. Di tengah krisis global dengan sistem kontemporer yang bebas nilai dan hampa nilai, dominasi pusaran paham kapitalis dan sosialis, kita menemukan Islam sebagai suatu sistem yang mampu memberikan daya tawar positif, dengan menghadirkan nilai-nilai etika dan moral yang lengkap serta mengajarkan semua dimensi kehidupan.

Keunikan pendekatan Islam terletak pada sistem nilai yang salah satunya mewarnai tingkah laku ekonomi masyarakat. Dalam Islam diajarkan nilai-nilai dasar ekonomi yang bersumber pada ajaran tauhid. Islam lebih dari sekedar nilai-nilai dasar etika ekonomi, seperti keseimbangan, kesatuan, tanggung jawab dan keadilan, tetapi juga memuat keseluruhan nilai-nilai yang fundamental serta norma-norma yang substansial agar dapat diterapkan dalam operasional lembaga ekonomi Islam di masyarakat.

Umer Chapra dalam Ghazali menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi Islam dibangun berdasarkan nilai-nilai etika dan moral serta mengacu pada tujuan syariat (maqashid al-syari’ah), yaitu memelihara iman (faith), hidup (life), nalar (intellect), keturunan (posterity), dan kekayaan (wealth). Konsep ini menjelaskan bahwa sistem ekonomi hendaknya dibangun berawal dari suatu keyakinan (iman) dan berakhir dengan kekayaan (property). Pada gilirannya tidak akan muncul kesenjangan ekonomi atau perilaku ekonomi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. (Ghazali,1992)

Dikotomi Moral dan Bisnis

Di zaman klasik bahkan juga di era modern, masalah etika bisnis dalam dunia ekonomi tidak begitu mendapat tempat. Tidak aneh bila masih banyak ekonom kontemporer yang menggemakan cara pandang ekonom klasik Adam Smith. Mereka berkeyakinan bahwa sebuah bisnis tidak mempunyai tanggung jawab sosial dan bisnis terlepas dari “etika”.

Dalam ungkapan Theodore tanggung jawab perusahaan hanyalah mencari keuntungan ekonomis belaka Theodore Levitt,1960). Di Indonesia, paham klasik tersebut sempat berkembang secara subur sehingga mengakibatkan terpuruknya kondisi ekonomi yang masuk ke dalam jurang kehancuran. Kolusi, korupsi, monopoli, penipuan, penimbunan barang, perusakan lingkungan, penindasan tenaga kerja, perampokan pajak oleh para pejabat, adalah persoalan-persoalan yang begitu telanjang di depan mata kita, baik yang terlihat dalam media massa maupun media elektronik.

Di Indonesia, pengabaian etika bisnis sudah banyak terjadi khususunya oleh para konglomerat. Para pengusaha dan ekonom yang kental kapitalisnya, mempertanyakan apakah tepat mempersoalkan etika dalam wacana ilmu ekonomi? Munculnya penolakan terhadap etika bisnis, dilatari oleh sebuah paradigma klasik bahwa ilmu ekonomi harus bebas nilai (value free).

Memasukkan gatra nilai etis sosial dalam diskursus ilmu ekonomi, menurut kalangan ekonom, akan mengakibatkan ilmu ekonomi menjadi tidak ilmiah karena hal ini mengganggu obyektivitasnya. Mereka masih bersikukuh memegang jargon “mitos bisnis a moral” di sisi lain, etika bisnis hanyalah mempersempit ruang gerak keuntungan ekonomis. Padahal, prinsip ekonomi, menurut mereka adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.

Etika Bisnis yang Islami

Basis utama sistem ekonomi syariah sesungguhnya terletak pada aspek kerangka dasarnya yang berlandaskan syariah, tetapi juga pada aspek tujuannya yaitu mewujudkan suatu tatanan ekonomi masyarakat yang sejahtera berdasarkan keadilan, pemerataan, dan keseimbangan. Atas dasar itu, maka pemberdayaaan ekonomi syariah di Indonesia hendaknya dilakukan dengan strategi yang ditujukan bagi perbaikan kehidupan dan ekonomi masyarakat. Tuntutan masyarakat dewasa ini terutama di lapisan masyarakat bawah adalah bagaimana memenuhi kebutuhan hidup mereka yang paling mendasar.

Sistem ekonomi Islam memiliki pijakan yang sangat tegas bila dibandingkan dengan sistem ekonomi liberal dan sosialis yang saat ini mendominasi sistem perekonomian dunia. Sistem ekonomi liberal lebih menghendaki suatu bentuk kebebasan yang tidak terbatas bagi individu dalam memperoleh keuntungan (keadilan distributif), dan sosialisme menekankan aspek pemerataan ekonomi (keadilan yang merata), menentang perbedaan kelas sosial dan menganut asas kolektivitas.

Dalam sistem ekonomi syariah mengutamakan aspek hukum dan etika yakni adanya keharusan menerapkan prinsip-prinsip hukum dan etika bisnis yang Islami, antara lain prinsip ibadah (al-tauhid), persamaan (al-musawat), kebebasan (al-hurriyat), keadilan (al-‘adl), tolong-menolong (al-ta’awun), dan toleransi (al-tasamuh). Prinsip-prinsip tersebut merupakan pijakan dasar dalam sistem ekonomi syariah, sedangkan etika bisnis mengatur aspek hukum kepemilikan, pengelolaan dan pendistribusian harta, yakni menolak monopoli, eksploitasi dan diskriminasi serta menuntut keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Islam telah mengatur kehidupan manusia dengan ketentuan-ketentuan yang semestinya. Keberadaan aturan itu semata-mata untuk menunjukkan jalan bagi manusia dalam memperoleh kemuliaan. Kemuliaan bisa didapatkan dengan jalan melakukan kegiatan yang diridai Allah SWT. Sikap manusia yang menghargai kemuliaan akan selalu berusaha “menghadirkan” Allah di dalam setiap tarikan napasnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image