Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Adelin Aprilia

Semesta Memeluk Puan: Eksistensi dan Standarisasi Perempuan dalam Dunia Digital

Teknologi | Thursday, 09 Mar 2023, 09:18 WIB

Perempuan dan kecantikan merupakan satu kesatuan yang identik. Kecantikan sebagai sifat feminin sebenarnya telah berakar kuat dalam sistem sosial yang lebih luas dan terprogram secara budaya. Setiap hari kaum perempuan diyakinkan kan dengan mitos-mitos kecantikan yang semakin menjerumuskan kaum perempuan dalam jurang pemujaan terhadap kecantikan. Pada akhirnya diakui atau tidak, tubuh yang ditampilkan oleh perempuan merupakan keinginan yang dilihat oleh kaum laki – laki

Tubuh merupakan kekuasaan yang dilebih – lebihkan bagi kaum feminis dan Foucault. Menurut Susan Bordo, feminis lah yang pertama kali yang membalikan pemakaian kata “ Politik Tubuh ” dan bukan menjelaskan arti yang sebenarnya, untuk dapat berbicara tubuh yang dapat dipolitikan, “tubuh manusia itu sendiri adalah entitas yang bertuliskan secara politis, fisiologi dan morfologinya dibentuk oleh sejarah dan praktik-praktik penahanan dan kontrol.” (Bordo 1993, hal.21). Fenomena ini dikuatkan dengan hasil survei ZAP Beauty Index tahun 2018, sebanyak 73.1 persen perempuan Indonesia menganggap cantik adalah memiliki kulit yang bersih, cerah, dan glowing.

Ilustrasi Gambar (Dok/Pribadi)

Belakangan ini kerap kita jumpai trend pada media sosial yang mempertontonkan keistimewaan perempuan dengan tanpa sungkan menanjolkan kemolekan lengkuk tubuh serta keayuan paras wajah. Para perempuan seakan terbius konten-konten tiruan dimana ia dapat mengekspresikan dirinya dalam konteks yang sedikit menyimpang. Bagaimana tidak pada berbagai media sosial kebanyakan para perempuan tidak malu mengumbar tubuhnya demi mendapatkan followers, like serta komentar mendukung, yang padahal dari situ awal pemicu perusak citra diri. Masyarakat luas dapat dengan bebas melabeli para perempuan itu dengan label negatif, hanya karena melihat konten-konten yang ia sediakan. Miris bukan? Sebagian besar dari banyaknya perempuan pada semesta alam raya mulai mengikutri trend perusak moral bangsa, lantas akan dibawa ke mana generasi selanjutnya? Jika perempuan yang hidup saat ini hanya berlomba-lomba mengejar fantasi dunia. Mencoba segala daya dan upaya demi menaikkan standarisasi yang tiada bertepi.

Sepenuhnya memang bukan salah perempuan, banyak pemicu yang membuat para perempuan memilih jalan tersebut, pemicu dapat berasal dari dari faktor keluarga, lingkungan, status sosial, pendidikan bahkan sampai iming-iming yang disajikan dunia digital. Tidak sedikit yang beranggapan dengan membuat konten sama dengan jembatan untuk terkenal. Sehingga banyak yang mencoba jalur patas untuk meraup keuntungan tanpa segan mempertontonkan apa yang sebenernya tidak patut diperlihatkan.

Sementara norma sosial, budaya, ekonomi, serta politik yang berkembang di Indonesia semakin kusut, padahal banyak norma yang mengatur moral, disisi lain perempuan punya peran besar dalam membangun bangsa, seperti sabda Nabi Muhammad SAW bawasanya "Wanita itu tiang negara, baik wanita nya maka baik pula negara itu tapi bila rusak wanita nya maka rusak pula negara itu” sabda itu menunjukkan bahwa perempuan memiliki peran penting dalam membangun dan merawat sebuah negara. Namun hingga kini, gencaran media sosial dengan bujuk rayu iklan banyak membentuk persepsi bahwa “warna kulit putih sebagai standar kecantikan” sehingga tidak sedikit perempuan yang berlomba-lomba memborong produk pencerah kulit daripada mengupgrade skill dan kemampuan otak.

Terlepas dari kontroversi yang ada menurut saya perempuan sebagai pemudi harus meberikan pencerahan untuk mengubah persepsi konservatif tentang standar kecantikan karena sejatinya cantik itu relatif tidak semua perempuan cantik memiliki otak yang cantik pula. Pertanyaan pun muncul ditengah menyeruaknya kondisi semacam itu, bagaimana sebetulnya tren global dan perilaku masyarakat modern menempatkan kelompok perempuan dalam ruang global yang dalam banyak bentuk justru kelompok perempuan mengalami alienasi akibat perilaku kelompok lain (laki-laki utamanya) memanfaatkan ruang global tersebut untuk membully kelompok perempuan? Bukankah ruang global dan tren yang mengikutinya dimanfaatkan oleh semua pihak tanpa garis demarkasi, tetapi disisi lain justru kelompok perempuan terdegradasi dari ruang global tersebut? Di sini sebetulnya kemunduran peradaban semakin kencang dan gencar dialami kelompok perempuan. Meskipun pada permukaan kelompok perempuan belum merasakan secara langsung, namun pada aras bawah kondisi tersebut makin menguat. Anehnya, hal demikian malah absen dari logika banyak orang, terutama perempuan.

Sehingga penting bagi perempuan memahami eksistensi dan standarisasi cantik versi diri sendiri, cantik yang tidak hanya fisik namun juga akal, agar dinamisnya media sosial dapat diimbangi dengan hal-hal positif yang dimiliki perempuan. Agar semesta tetap cerah dengan hadirnya perempuan sebagai tiang peradaban.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image