Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image

Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Polis Asuransi Apabila Perusahaan Asuransi Dinyatakan Pailit

Edukasi | Tuesday, 28 Feb 2023, 17:51 WIB
photo by canva

Asuransi menjadi sebuah kebutuhan bagi seseorang dalam menghindarkan dirinya dari sebuah risiko. Dengan menjadi seorang pemegang polis asuransi kemudian meminimalisir serta mencegah akan datangnya sebuah musibah maupun risiko yang tidak diinginkan kedepannya. Perusahaan asuransi kemudian berperan besar dalam memberikan perlindungan bagi para nasabahnya dengan membuat perjanjian di antara kedua belah pihak, antara nasabah dan perusahaan asuransi tersebut. Apabila hak-hak dari pemegang polis seperti tanggungan dan penggantian atas suatu kerugian terabaikan serta tidak terpenuhi maka kepailitan akan terjadi bagi perusahaan asuransi nantinya.

Perlindungan hukum terhadap pemegang polis asuransi telah lebih lanjut diatur oleh berbagai peraturan perundang-undangan seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang otoritas Jasa Keuangan, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang perasuransian, dalam peraturan otoritas jasa keuangan serta dalam Undang-Undang nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Adapula dikarenakan pemegang polis yang umumnya bersifat perorangan dan tidak sedikit dari mereka yang kemampuan ekonominya lemah dibandingkan dengan kedudukan perusahaan asuransi yang kuat, maka peraturan tersebut lebih menaruh perhatian pada perlindungan hukum kepada pemegang polis asuransi dan apa saja kemungkinan dari pelanggaran hukum yang dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi.

Apabila terjadi persengketaan antara para pihak dikarenakan proses pengurusan klaim asuransi yang sulit serta terlalu berbelit hingga ditolak oleh perusahaan asuransi dengan berbagai alasan, maka dapat dibilang bahwa sengketa nantinya dapat menjadi akar dari sebuah wanprestasi atau ingkar janji. Adapula ketentuan di dalam pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perusahaan asuransi yang mana sebagai debitur wajib membayar ganti rugi setelah dia dinyatakan lalai karena tidak dapat memenuhi suatu kewajiban atau prestasi. Ganti rugi kemudian lebih menekankan pada ganti kerugian karena tidak terpenuhi suatu perikatan di antara kedua pihak, yakni kewajiban perusahaan asuransi untuk memberikan ganti atas kerugian yang dialami pemegang polis asuransi akibat perusahaan asuransi melakukan wanprestasi. Wanprestasi yang dimaksud yakni dalam bentuk tidak dibayarnya klaim asuransi yang telah diajukan oleh para pemegang polisnya.

Tidak menutup kemungkinan bagi suatu perusahaan asuransi dapat mengalami kepailitan apabila perusahaan tersebut tidak dapat membayar klaim asuransi yang telah diajukan oleh para pemegang polis hingga menimbulkan utang. Bilamana perusahaan asuransi memiliki dua ataupun lebih kreditur piutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, maka kreditur dapat menyampaikan permohonan pailit terhadap perusahaan asuransi tersebut kepada Menteri Keuangan untuk kemudian dapat mengajukan kepada Pengadilan Niaga apabila tidak kunjung dapat membayar atas klaim asuransi yang telah diajukan oleh pemegang polis tersebut. Dalam kasus ini Menteri Keuangan berperan sebagai Pembina serta pengawas dari usaha perasuransian di Indonesia yang bertujuan untuk melindungi kepentingan dari pemegang polis secara menyeluruh serta menjaga kestabilan industri perasuransian demi melindungi kepentingan dari pemegang polis dan pemilik perusahaan asuransi.

Menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian bahwa asuransi adalah perjanjian di antara kedua belah pihak, yakni perusahaan asuransi dan pemegang polis yang kemudian menjadi dasar bagi suatu penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai penggantian kepada tertanggung polis karena adanya kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan ataupun tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita oleh tertanggung polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti ataupun memberikan pembayaran yang didasari pada meninggalnya seorang tertanggung atau pembayaran yang hidupnya tertanggung dengan adanya manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. Dibalik perlindungan serta rasa aman yang telah diberikan oleh perusahaan jasa asuransi, perusahaan asuransi yang tidak berbeda dengan perusahaan lain pada umumnya pun tidak terlepas pula dari adanya ancaman kepailitan.

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit uang pengurus dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dengan begitu, sejak pernyataan pailit diputuskan, perusahaan asuransi demi hukum akan kehilangan haknya dalam menguasai dan mengurus harta kekayaan yang masuk dalam harta pailit. Hal ini pun memunculkan kekhawatiran bagi para pemegang polis dalam mendapatkan hak-haknya dari perusahaan asuransi yang telah dinyatakan pailit. Bilamana terjadinya kepailitan perusahaan asuransi, seperti halnya kreditur pada umumnya akan dilakukan pembayaran utang berdasar pada besar kecilnya piutang masing-masing. Pembayaran utang tersebut kemudian dilakukan menurut pada prioritas kedudukannya masing-masing sebagai kreditur separatis, kreditur preferen ataupun kreditur konkuren.

Perusahaan asuransi yang diwakili oleh kurator harus melunasi atas utang perusahaan yang pailit kepada kreditur diurutkan melalui tingkatan prioritas. Adapula sesuai dengan yang ditentukan di dalam pasal 69 UU Kepailitan bahwa tugas kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Saat melaksanakan pengurusan harta pailit debitur, kurator kemudian menginventariskan harta pailit debitur, sedangkan ketika kurator melakukan tugas pemberesan harta pailit, utang utang perusahaan asuransi akan dibayar dari hasil penjualan harta pailit debitur.

Dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, pemegang polis adalah pihak yang mengikatkan diri berdasarkan perjanjian dengan perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah untuk mendapatkan perlindungan atau pengelolaan atas risiko bagi dirinya, tertanggung, atau peserta lain. Pasal 52 menyebutkan bahwa ketika perusahaan asuransi dipailitkan, hak pemegang Polis atas pembagian harta kekayaannya mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak para pihak lainnya. Hal ini berarti haknya diutamakan dan bisa dikatakan pemegang polis mempunyai posisi sebagai kreditur preferen, yaitu kreditur yang kedudukannya didahulukan daripada kreditur lain dalam hal pembagian harta pailit suatu perusahaan asuransi. Saat di dalam pembagian harta pailit, pemegang polis mempunyai hak untuk menuntut pembayaran haknya didahulukan sesuai dengan perjanjian yang telah disetujui sebelumnya.

Kemudian pemegang polis asuransi mendapat perlindungan hukum atas terjadinya kepailitan menurut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU serta di dalam Undang-undang Perasuransian agar pemegang polis terlindungi sekaligus memperoleh haknya secara merata dan proposional. Apabila kemudian terjadi kepailitan, kedua UU ini memberikan perlindungan hukum berupa penunjukan kurator dan hakim pengawas yang kemudian akan melakukan pengurusan serta pemberesan terhadap harta pailit menurut UU Kepailitan dan PKPU, sedangkan UU perasuransian kemudian memberikan perlindungan hukum pemegang polis melalui penentuan kedudukan hukum pemegang polis menjadi kreditur preferen, kreditur konkuren, atar kreditur separatis.

Pemegang polis dapat menempuh upaya hukum dengan menuntut hak-hak berupa Pembayaran dari piutangnya apabila perusahaan asuransi nantinya telah dinyatakan pailit. Hak-hak ini yaitu hak yang menyangkut kepada harta pailit serta mengajukan klaim asuransi kepada kurator dikarenakan segala hak maupun kewajiban perusahaan yang telah mengalami pailit telah berpindah dan diambil alih oleh kurator.

Penulis: Ade Puspa Anggraini (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image