Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Imron Samsuharto

Musim Durian dan Uji Keimanan

Sastra | 2023-02-24 17:51:04
MUSIM durian telah tiba. Buah yang dijuluki "king of fruit" itu merebak di mana-mana, tergelar di tepi jalan yang ramai dilalui lalu lintas transportasi. Deretan buah durian ditata rapi untuk menarik pembeli. Ada yang bergelantungan, berderet membentuk barisan yang teratur, ada pula yang ditata laksana kerucut perbukitan mini. Ciri khas aromanya menusuk dan menggugah selera. Penyuka buah durian pasti berhasrat menikmatinya begitu hidungnya menangkap aroma menggugah itu.

Pada musim durian kali ini, terpetik kisah unik yang bisa dijadikan cermin introspeksi. Tokoh cerita yang menghiasi adalah Imami, Khadiri, Tholibi, dan Dakiri. Keempat tokoh ini hidup bertetangga, sebut saja satu lingkungan ke-RT-an.

Alkisah, di lingkungan tersebut terdapat hamparan tanah kosong tak seberapa luas, yang besar kemungkinan kelak di atasnya dibangun rumah hunian atau bisa pula perkantoran kecil. Namun, ada pemandangan mencolok di tengah hamparan tersebut, yakni pohon durian yang tengah berbuah. Tak terlalu banyak jumlah buah durian yang tengah berproses menuju matang. Hanya saja buah yang bergelantungan di ranting pohon menjulang, itu cukup menggoda. Membikin air liur menderas dan bergelora.

Suatu malam yang cukup hening usai rinai gerimis membasahi bumi, mengendap-endaplah dua sosok yang kemudian diketahui bernama Imami dan Khadiri. Waktu itu malam minggu sekira pukul setengah dua belasan, Imami yang ditemani Khadiri ketangkap basah menenteng beberapa buah durian segar. Endapan langkahnya diduga kuat berasal dari pohon durian yang tengah berbuah itu.

Tholibi yang memergoki Imami dan Khadiri itu tak serta-merta menuduh keduanya habis memetik buah durian bukan miliknya itu. Namun, dari sinar matanya yang tajam, Tholibi seperti melempar tanya, "Kalian mencuri durian, ya?" Pertanyaan itu sama sekali tak terucapkan, dan bergegaslah Imami dan Khadiri memeragakan bahasa tubuh yang menandakan rasa bersalah kalau mereka telah berbuat yang tak semestinya.

"Ini kukasih durian, ambil ini yang hampir matang, ya!" ujar Imami seraya menyodorkan durian pada Tholibi. Secara psikologis, reaksi Imami merupakan upaya suap kepada Tholibi yang kebetulan memergoki langsung perbuatan yang usai ia dilakukan bersama Khadiri itu.

"Terima kasih, ya!" ujar Tholibi seraya menerima sebiji buah durian. Sejurus kemudian, Imami dan Khadiri berlalu. Agaknya keduanya menuju pos kamling yang biasa untuk tongkrongan orang-orang di malam hari. Di tempat itu beberapa orang tengah asyik bermain kartu sambil "udud-udud" atau merokok menghabiskan malam panjang.

Asal tahu saja, Tholibi dikenal religius di lingkungan kampung itu, bahkan kadang memimpin jamaah sholat sebagai imam di langgar. Tapi, kenapa ia mau menerima pemberian buah durian dari Imami yang asal-muasalnya diduga kuat hasil dari mencuri? Sementara di sisi lain, orang-orang yang berkerumun di pos kamling menertawakan perilaku Imami dan Khadiri yang ketangkap basah langsung, begitu berhasil menggondol durian dari pohon yang bukan miliknya itu.

Tak cukup menertawakan perilaku Imami dan Khadiri tersebut. Rasa heran sekaligus mata terbelalak, ditunjukkan sebagian orang yang berkerumun di pos kamling itu. Kenapa Tholibi mau menerima durian pemberian Imami? Padahal ia dikenal berperilaku agamais sehari-harinya. Seperti dimafhumi, Imami dan Khadiri langsung nyerocos menceritakan kronologi kejadian dari awal hingga akhir, termasuk saat menenteng beberapa buah durian dan tanpa diduga kepergok Tholibi.

Kenapa Tholibi memergoki Imami dan Khadiri di tengah malam itu? Tak ada yang tahu persis kenapa bisa terjadi demikian. Jika ditelisik, terdapat jejak petilasan yang tanpa diduga bisa menjadi alat bukti pendukung telah terjadi pencurian durian. Di teras rumah Tholibi yang tak berpagar, bertengger sebuah alat panjat berupa tangga besi lipat. Tampaknya Tholibi belum selesai mempergunakan tangga itu, sehingga ditaruh begitu saja di pojok teras. Padahal alat panjat itu milik tetangga sebelah. Tholibi dua hari lalu meminjamnya dan belum sempat mengembalikannya karena belum tuntas menggunakannya.

Malam itu, tangga yang teronggok di teras rumah Tholibi diambil dan dipinjam Imami tanpa izin siapa pun. Dimaklumi, tengah malam seperti itu mau minta izin pinjam pada siapa, sementara rumah Tholibi sepi tak ada tanda-tanda kehidupan. Tanpa diketahui Imami, ternyata di dalam rumah yang lampunya sudah digelapkan, Tholibi masih terjaga dan baru siap-siap berangkat tidur. Mendengar bunyi gemeretak yang tak begitu keras, sesaat kemudian Tholibi mengintip dari balik gorden, dan tak mendapatkan tangga ada di tempatnya.

Sekira seperempat jam berikutnya, Tholibi keluar rumah mengenakan sarung dan kaos oblong. Maksudnya menyusuri kemana arah tangga dan digunakan siapa, sekaligus sebagai bentuk pertanggungjawaban atas peminjaman alat panjat itu yang belum sampai pada akad dikembalikan kepada pemiliknya.

Penelusuran spontan Tholibi menguak aksi yang dilancarkan Imami dan Khadiri. Diangkatnya tangga besi oleh Imami dari teras rumah Tholibi, kemudian dibawa ke arah pohon durian yang tengah berbuah itu. Alat panjat yang dipergunakan Imami dan Khadiri itu untuk mempermudah menjangkau buah durian yang bergelantungan, supaya tidak terlalu sulit memetiknya. Tangga besi inilah yang menjadi bukti tak terbantahkan sebagai alat bantu memperlancar pemetikan durian bukan milik, yang dilakukan oleh Imami dan Khadiri.

Ketika Tholibi mencari jejak ke arah mana tangga itu, bertemulah ia dengan Imami dan Khadiri yang baru saja tuntas memetik durian. Tangga besi tadi telah dipakainya untuk memanjat pohon hingga berhasil mengambil buah durian lima hingga enam biji. Imami dan Khadiri terperanjat kaget. Spontan disodorkannya satu biji kepada Tholibi oleh Imami seraya menahan rasa malu. Spontan pula Tholibi menerimanya, dengan maksud sedikit menetralkan rasa malu yang dirasakan Imami.

Sejurus kemudian, usai Imami dan Khadiri berlalu, Tholibi menuju teras rumah. Tangga lipat yang tak sempat dikembalikan Imami ke tempat semula, telah dipanggulnya dan disandarkan ke tembok di teras itu. Sejenak Tholibi berpikir merenung, pangkal persoalannya adalah tangga besi yang berpindah tempat dan sebiji durian yang tadi diterimanya dari Imami.

"Andai aku tak melacak tangga besi itu, takkan kupergoki Imami dan Khadiri," benak Tholibi. "Tapi, kenapa aku menerima pemberian durian Imami yang tak halal itu, ya?" lanjutnya dalam hati. Setelah sejenak merenung, Tholibi bergegas menenteng buah tak halal itu ke arah pohonnya, dan menaruhnya di dekat pohon durian tersebut. Andai saja buah itu bisa ditempelkan kembali ke ranting pohon tadi, Tholibi akan melakukannya. Menaruh atau membuang durian di dekat batang pohonnya, dianggap sebagai langkah terbaik Tholibi.

Seandainya Tholibi mengembalikan kepada Imami dan Khadiri di pos kamling, ia berpikir, jangan-jangan malah ditertawakan, dikatakan sok suci, dan seterusnya. Di sisi lain, langkah Tholibi yang telanjur menerima pemberian sebiji durian itu, seolah telah dianggap sebagai dukungan atas perbuatan Imami dan Khadiri. Itu semua tak begitu meresahkan hati Tholibi, yang jelas dan pasti durian itu telah dikembalikan ditaruh di dekat batang pohonnya. Masalah durian tersebut nanti ditemukan oleh seseorang, itu persoalan lain.

Hati Tholibi yakin, tak turut memakan atau menikmati durian itu merupakan langkah terbaik. Uji keimanan dilaluinya dengan tidak ikut-ikut menikmati durian yang dipetik dari pohon bukan hak milik. Penerimaan durian oleh Tholibi tadi, itu reaksi spontan saja. Sekaligus sedikit mengurangi rasa malu Imami dan Khadiri yang ketangkap basah. Andai saja Imami dan Khadiri serta orang-orang yang nongkrong di pos kamling itu menuduh Tholibi turut menikmati durian tak halal, teserah saja mereka beranggapan seperti itu. Yang penting, meskipun tanpa diketahui siapa pun, durian itu telah ditaruh kembali di dekat pohonnya oleh Tholibi.

Malam berlalu sudah, berganti dini hari menyongsong pagi. Hati Tholibi sedikit lega karena tak terjebak menikmati buah durian tak halal. Meskipun demikian, ia tak henti beristighfar karena terciprat perbuatan melanggar norma. Sesaat kemudian Tholibi pun terlelap. Keesokan paginya, terpetik kabar kalau Dakiri menemukan sebiji buah berduri di bawah pohon durian. Berita itu sampai ke telinga Tholibi. Ia pun menyahut dalam hati, "Itulah buah durian yang aku buang (kembalikan ke dekat pohon - pen.) tadi malam."

Tentu saja Dakiri tak terciprat kesalahan sedikit pun. Ia menikmati durian tersebut dengan lahap karena tak tahu persis duduk persoalan di balik kisah buah durian itu. Untung saja, pemilik pohon durian tak bersumpah serapah sesiapa yang makan durian itu akan mencret dua hari dua malam. Dakiri terimbas efek dari langkah penyelamatan diri yang dilakukan Tholibi. Sementara Tholibi yang sedikit terseret kisah durian tak halal itu, segera menyadari kekeliruannya. Ia teringat intisari surat Al-Zalzalah, bahwa sekecil apa pun kebaikan akan ada balasannya (pahala), dan sekecil apa pun perbuatan jelek juga ada balasannya (dosa).

Sebaik-baik orang yang bersalah adalah mereka yang mengakui dan menyadari kesalahannya dan segera bertaubat (tidak mengulangi) kesalahannya itu. Kisah durian tersebut menjadi pembelajaran bagi kita. Aroma durian sungguh menggugah selera, tapi berhati-hatilah dengan seluk-beluk jalurnya hingga tersaji di depan mata. Maka, pilihlah yang "halalan thoyyiban".

===@@@===

*) Penulis adalah peminat religi, mantan pekerja perbukuan, lulusan Fakultas Sastra (kini FIB) Universitas Diponegoro Semarang

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image